Imbas restrukturisasi kredit untuk pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), performa PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) sepanjang semester I 2020 turun. Pada paruh pertama tahun ini, BRI membukukan laba bersih sebesar Rp 10,2 triliun, turun 36,88% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo mengatakan, penurunan kinerja disebabkan karena perseroan melakukan restrukturisasi kredit terdampak pandemi virus corona atau Covid-19. Selain restrukturisasi, perseroan juga memberikan insentif penurunan suku bunga kredit kepada debitur terdampak pandemi corona.
"Dengan adanya restrukturisasi, maka tentu dampaknya adalah terlambat atau tidak diterimanya pendapatan bunga dari yang kontrak seharusnya," kata Haru dalam virtual conference, Rabu (19/8).
Ia menjelaskan hingga 31 Juli 2020 BRI sudah merestrukturisasi kredit dengan outstanding mencapai Rp 183,7 trilium atau setara dengan 21,3% dari total portofolio kredit. Nasabah yang direstrukturisasi oleh perseroan tercatat sebanyak 2,9 juta debitur.
Karena adanya restrukturisasi tersebut, pendapatan bunga BRI secara konsolidasi sepanjang paruh pertama tahun ini sebesar Rp 56,57 triliun. Raihan tersebut turun 5,7% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu sebesar Rp 60,02 triliun.
Penurunan pendapatan bunga ini berpengaruh pada turunnya rasio net interest margin (NIM) BRI, yang berasal dari pendapatan bunga bersih dibagi dengan rata-rata aktiva produktif. NIM perseroan per 30 Juni 2020 tercatat ada di level 5,63% turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu di level 6,79%.
Direktur Utama BRI Sunarso menjelaskan sejak awal pandemi corona perseroan sudah berkomitmen menyelamatkan, membantu dan membangkitkan kembali UMKM.
"Berbeda dengan sebelumnya, krisis kali ini memang sangat memukul pelaku UMKM," kata Sunarso.
Untuk itu, BRI juga berupaya mengakselarasi aktivitas ekonomi pelaku UMKM, di antara dengan menyalurkan pinjaman secara selektif. Sepanjang semester I 2020 perseroan menyalurkan kredit sebesar Rp 922,97 triliun, naik 5,23% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 877,07 triliun.
Dari total pinjaman tersebut, sebesar 78,58% atau senilai Rp 725,27 triliun disalurkan ke segmen UMKM. Perseroan menargetkan 80% portofolio pinjaman hingga 2022 merupakan pinjaman yang disalurkan ke segmen UMKM.
Dari sisi kualitas, BRI mencatat adanya peningkatan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL). Pada semester I 2020, NPL BRI ada di level 3,13% secara konsolidasi, naik dibandingkan level pada semester I 2019 sebesar 2,52%.
Berdasarkan segmennya, NPL paling besar disumbang oleh segmen korporasi di level 10,75%, padahal pada semester I 2019 tercatat hanya 4,83%. Penyumbang NPL terbesar pada segmen korporasi berasal dari perusahaan yang bergerak di bisnis manufaktur.
"Sektornya sendiri yang terbesar memang di sektor industri manufaktur, di mana ada satu debitur besar kami di sana yang sudah jadi NPL sejak September 2019," kata Direktur Manajemen Risiko Agus Sudiarto.
Meski NPL naik, biaya provisi yang dibentuk pada paruh pertama tahun ini turun 4,1% secara tahunan. Pada semester I 2020 provisi yang dibentuk sebesar Rp 9,89 triliun sedangkan pada periode sama tahun lalu mencapai Rp 10,31 triliun. Sementara NPL coverage ratio BRI ada di level 200,3%, naik dari 194,6%.
Dari sisi aset, dana pihak ketiga (DPK) BRI per 30 Juni 2020 tercatat sebesar Rp 1.072,50 triliun, yang didominasi oleh dana murah sebesar 55,81%. Jumlah DPK ini tercatat tumbuh 13,49% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, serta lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan industri perbankan, sebesar 7,95%.
BRI juga mampu menjaga loan to deposit ratio (LDR) secara ideal di angka 86,06%, atau lebih rendah dengan LDR BRI di akhir Juni 2019 sebesar 92,81%. Sementara, permodalan BRI mampu dijaga dengan optimal dengan level capital adequacy ratio (CAR) 20,15%.
Memasuki semester II 2020, BRI tetap fokus untuk membangkitkan kembali para pelaku UMKM, karena restrukturisasi kredit pada periode Juni-Juli 2020 sudah melandai dibandingkan dengan periode April-Mei 2020.
"Bagi kami, pertumbuhan yang sustainable dalam jangka panjang merupakan hal utama, oleh karenanya kami memastikan debitur UMKM BRI bertahan karena menjadi sumber penggerak pertumbuhan ekonomi di Indonesia serta tumpuan bisnis perseroan di masa depan," kata Sunarso.
Meski begitu, Sunarso mengaku bahwa perseroan melakukan revisi turun pada rencana bisnis bank (RBB) karena melihat situasi pandemi saat ini.
Kredit BRI yang sebelumnya ditargetkan mampu tumbuh dua digit hingga akhir tahun ini, direvisi menjadi hanya tumbuh 4%-5%. Sementara untuk laba, perseroan memperkirakan tidak akan mencapai angka Rp 20 triliun hingga akhir tahun ini.
Sunarso menilai bahwa ke depan risiko ketidakpastian masih sangat tinggi, sehingga jika BRI memiliki pendapatan tidak semuanya dijadikan laba bersih. Akan tetapi, perseroan bakal membuat bantalan berupa pencadangan yang cukup di sisa tahun ini.
"Pencadangan untuk mengantisipasi risiko ketidakpastian yang mungkin masih akan terjadi," ujar Sunarso.