Anak usaha Adaro Energy, PT Adaro Minerals Indonesia Tbk, resmi menjadi perusahaan pertama yang melantai di Bursa Efek Indonesia awal tahun ini. Adaro Minerals menawarkan saham perdana alias initial public offering (IPO) pada 3 Januari dengan kode saham ADMR.

Sejak ADMR dirilis di papan BEI, harganya sudah elonjak lebih dari 1.000 %. Berdasarkan penutupan perdagangan Rabu (9/2) harga saham ADMR naik 1.065 % dari harga IPO ke level 1.165 per lembar saham.

Namun, berdasarkan data RTI Business harga saham Adaro Minerals Rabu (9/2) justru ditutup koreksi 5,28 % dibandingkan perdagangan hari sebelumnya. Total kapitalisasi pasar saham ADMR pada penutupan yakni Rp 47,63 triliun. Level tersebut cenderung turun dibandingkan capaian per Jumat (4/1) di mana market cap  masih di level Rp 50,7 triliun. 

Antusiasme masyarakat akan kehadiran Adaro Minerals di papan bursa Tanah Air membuat emiten ini sempat disuspensi hingga beberapa kali. Pertama, pada 13 Januari 2022, kemudian 25 hingga 27 Januari 2022. Aksi suspensi tersebut dilakukan lantaran dalam dua minggu harga saham ADMR terus naik tanpa pernah turun.

Porsi kepemilikan ADMR terbesar dimiliki oleh induk usaha, yaitu PT Adaro Energy (ADRO) sebanyak 28 miliar lembar saham atau setara 68,5 %. Sementara kepemilikan publik 15 %, kemudian anak usaha Adaro Energy, PT Adaro Mining Technologies, menguasai 3,61 miliar saham atau setara 8,83 %. Adapun PT Alam Tri Abadi, anak usaha ADRO yang lain, menggenggam 2,6 miiliar lembar atau setara 6,46 %.

Prospektus perusahaan itu menyebutkan, saat melepas 15 % saham atau sekitar 6,04 miliar lembar saham ke publik, harga yang ditawarkan Rp 100 per lembar. Alhasil, perusahaan milik Garibaldi Thohir atau akrab disapa Boy Thohir mampu mengantongi dana Rp 604 miliar.

Sebanyak 58,8 % dari dana IPO Adaro Minerals Indonesia rencananya digunakan untuk pemberian pinjaman kepada perusahaan anak, yaitu PT Maruwai Coal (MC). Pinjaman tersebut, nantinya dialokasikan untuk belanja modal berupa perbaikan dan peningkatan infrastruktur pertambangan batu bara dan infrastruktur pendukung.

Dana IPO itu juga untuk membayar kembali sebagian pokok atas pinjaman dari perusahaan induknya, yaitu Adaro Energy. Tercatat jumlah utang ADMR kepada ADRO sebesar US$ 186,9 juta atau setara Rp 2,69 triliun (kurs Rp 14.400).

Adaro Minerals Hadir Berkat Akuisisi 

Batu Bara Kembali Diekspor Ssecara Bertahap (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.)

 

Semula, perusahaan tambang milik Adaro ini bernama PT Jasapower Indonesia dan berdiri sejak 25 September 2007. Tiga tahun sejak berdiri, lima perusahaan pemegang saham Jasapower yakni Lahai Coal (LC), Maruwai Coal (MC), Sumber Barito Coal (SBC), Kalteng Coal (KC), dan Juloi Coal (JC) melakukan divestasi kepada Jasapower. Sehingga, kepemilikan saham Jasapower menjadi 25 %.

Pada 2015, Jasapower melalui LC memproduksi batu bara jenis Semi Soft Coking Coal (SSCC) yang dikenal dengan nama Haju. Setahun kemudian, kelima perusahaan pemegang saham ini kembali melakukan divestasi, sehingga kepemilikan saham Jasapower menjadi 99 %.

Melalui aksi divestasi tersebut, MC mulai memproduksi batu bara jenis Hard Coking Coal (HCC) yang dikenal dengan nama Lampunut HCC dan Lampunut Green Coal. Batu bara jenis Lampunut HCC ini mulai dikirimkan pertama kali pada Mei 2020.

Nama Adaro Minerals Indonesia sendiri baru muncul pada Agustus 2021, ketika PT Alam Tri Daya Indonesia (ATDI) menyelesaikan akuisisi 99 % kepemilikan LC. Dengan akuisisi ini, nama perusahaan berubah dari Jasapower Indonesia menjadi Adaro Minerals Indonesia. 

Adaro Minerals Menambang Area Greenfields Terbesar di Dunia

Sebagai perusahaan pertambangan dan perdagangan batu bara, ADMR melalui lima perusahaan anaknya sudah memiliki lima konsesi tambang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Lokasinya berada di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dengan luas hingga 146.579 hektare.

Lima konsesi tambang tersebut diusahakan oleh masing-masing anak perusahaan. Meski begitu, baru dua perusahaan anak ADMR yang sudah beroperasi dan melakukan kegiatan pertambangan, yaitu LC dan MC.

Per tanggal 31 Agustus 2021, kelima PKP2B ini memiliki sumber daya sebesar 980 juta ton batu bara dan cadangan sebesar 170,7 juta ton. Dengan sumber daya tersebut, hingga Agustus 2021 ADMR berhasil menjual batu bara 1,43 juta ton yang dikirim ke Cina, India, Jepang, dan Indonesia. 

Dalam laman resmi perusahaan disebutkan bahwa kelima PKP2B ini merupakan bagian dari Cekungan Kutei Atas (Upper Kutei Basin) dengan endapan batu bara metalurgi dari area greenfields (tambang batu bara baru) terbesar di dunia. 

Berikut tabel wilayah kontrak PKP2B dari ADMR:

Perusahaan AnakLuas Area (ha)LokasiJenis Batu BaraStatus
PT Lahai Coal (LC)46.620Kalimantan Tengah dan Kalimantan TimurGreen coal (Haju)Sudah beroperasi sejak 2015
PT Maruwai Coal (MC)24.990Kalimantan Tengah dan Kalimantan TimurHard coking coal (HCC Lampunut) dan green coalSudah beroperasi sejak 2019
PT Kalteng Coal (KC)24.988Kalimantan Tengahbatu bara metalurgi (Luon)Belum beroperasi
PT Sumber Barito Coal (SBC)24.993Kalimantan Tengahbatu bara metalurgi (Dahlia Arwana)Belum beroperasi
PT Juloi Coal (JC)24.988Kalimantan Tengahbatu bara metalurgi (Bumbun)Belum beroperasi

Selain melakukan usaha tambang di salah satu area greenfields terbesar di dunia, Adaro Minerals tercatat sebagai produsen batu bara HCC pertama dan satu-satunya di Indonesia. Batu bara HCC ini adalah batu bara Lampunut yang ditambang PT Maruwai Coal.

Sebagai informasi, batu bara metalurgi yang telah diolah menjadi kokas merupakan komoditas utama dalam industri baja. HCC masuk ke dalam klasifikasi batu bara kokas keras premium yang memiliki nilai pakai lebih tinggi dibandingkan dengan jenis batu bara metalurgi lainnya.

Reporter: Amelia Yesidora