Tekanan Ringan Kurs Rupiah Jelang Keputusan Bunga AS

Arief Kamaludin|Katadata
25/9/2018, 17.04 WIB

Risiko pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membayangi seiring peluang besar kenaikan bunga dana bank sentral AS, Fed Fund Rate, pada September ini. Sejauh ini, tekanan terhadap nilai tukar rupiah sudah terlihat, namun tidak terlalu besar. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) dan Bank Indonesia (BI) punya pandangan berbeda soal tekanan yang tampak lebih ringgan saat ini.

Ekonom INDEF Eko Listiyanto menyebut investor sudah mengantisipasi kenaikan Fed Fund Rate sebesar 25 basis poin pada September ini. Alhasil, masih ada arus keluar modal asing dari pasar keuangan domestik, namun tidak terlalu besar. “Rupiah jadi melemah walau sedikit,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (25/9). Proyeksi dia, rupiah bakal bergerak di kisaran Rp 14.800-14.900 per dolar AS menjelang pengumuman Fed Fund Rate.  

Mengacu pada data Bloomberg, nilai tukar rupiah berada di level 14.917 per dolar AS saat berita ini ditulis, melemah 0,35% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. Meski pelemahan tidak terlalu besar, namun tercatat sebagai pelemahan terdalam di antara mata uang Asia lainnya. Rupee India, misalnya, mencatatkan pelemahan yang lebih kecil yaitu 0,07%, begitu juga dengan peso Filipina 0,22%.

Sebelumnya, pelemahan tajam nilai tukar rupiah terjadi pada akhir Agustus ke awal September yaitu dari kisaran 14.500-14.600-an ke kisaran 14.900-an. Setelah itu, nilai tukar rupiah melandai ke kisaran Rp 14.800-an, sebelum kembali melemah ke kisaran Rp 14.900 saat ini. (Baca juga: Istana Minta Masyarakat Tak Panik dengan Pelemahan Rupiah)

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sempat menyebut, pandangan terhadap dampak negatif perang dagang membuat para investor mulai berani masuk kembali ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi ini memberi sokongan terhadap kurs rupiah. Namun, Eko tidak sepakat dengan pandangan tersebut.

"Benar dana asing bisa kembali ke emerging market karena perang dagang tidak baik, tapi tidak masuk ke Indonesia. Kita ada masalah defisit transaksi berjalan," ujarnya. Adapun kondisi defisit transaksi berjalan membuat nilai tukar rupiah lebih rentan gejolak. Alhasil, jadi risiko investasi di dalam negeri. Adapun pemerintah tengah melakukan berbagai upaya jangka pendek untuk menekan defisit.

Meski begitu, bila mengacu pada data RTI, memang tampak adanya aksi beli yang cukup besar di pasar saham. Saat berita ini ditulis, investor asing tercatat membukukan pembelian bersih (net foreign buy) sebesar Rp 26,59 miliar pada perdagangan Selasa ini. Begitu juga dalam periode satu pekan perdagangan, terjadi pembelian bersih Rp 2,21 triliun.

Dari pasar Surat Utang Negara (SUN), kepemilikan asing tercatat sebesar Rp 843,82 triliun pada Senin (24/9), jumlah ini naik Rp 10,42 triliun bila dibandingkan posisi Kamis (13/9) atau satu pekan sebelumnya yang sebesar Rp 833,40 triliun. (Baca juga: Pembagian Dividen pada November Mengancam Pelemahan Rupiah)

Para petinggi bank sentral AS bakal bertemu dalam rapat Federal Open Market Commitee (FOMC) pada 25-26 September ini untuk memutuskan kebijakan Fed Fund Rate. Banyak pelaku pasar dan ekonom meyakini bakal ada kenaikan Fed Fund Rate 25 basis poin ke level 2,25%. Mengacu pada dot plot terakhir, mayoritas petinggi bank sentral AS melihat kenaikan dua kali lagi tahun ini yaitu September dan Desember.  

Di dalam negeri, banyak ekonom memperkirakan kenaikan Fed Fund Rate tersebut akan direspons BI dengan kembali menaikkan bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate. Hal itu untuk mempertahankan daya tarik penempatan dana dalam aset rupiah. Dengan begitu, harapannya, dana asing bisa kembali masuk ke dalam negeri atau setidaknya dana asing yang masih bertahan tidak ikut keluar, sehingga membantu stabilitas nilai tukar rupiah.