Pada Juli tahun ini, Presiden Joko Widodo mengumpulkan jajaran kabinetnya di Istana Bogor, Jawa Barat guna membahas asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sekaligus prakiraan sampai dengan pengujung tahun.
Di dalam rapat tersebut diputuskan untuk meniadakan APBN Perubahan pada tahun ini. Pemerintah menilai bahwa postur APBN 2018 relatif terjaga, baik dari sisi penerimaan, belanja, maupun defisit anggaran.
APBN 2018 mematok pertumbuhan ekonomi 5,4%. Sampai dengan pertengahan tahun, realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,27 %. Lembaga riset Institute of Development of Economics and Finance (Indef) menyebut realisasi ini mengejutkan karena menunjukkan kenaikan drastis dari 5,06 % pada triwulan pertama.
“Capaian pertumbuhan ekonomi itu cukup mengejutkan di tengah kelesuan sektor riil,” tulis tim ekonom Indef. Hal ini diutarakan melalui kajian berjudul "Ekonomi Tumbuh: Temporer atau Berlanjut" yang dipublikasikan pada awal Agustus 2018.
Sejumlah momen rutin menjadi penggerak perekonomian sepanjang semester I/2018. Sebut saja periode puasa Ramadan yang berlanjut ke Idulfitri, ajang pemilihan kepala daerah serentak di 171 daerah, belum lagi percepatan realisasi belanja pemerintah.
Namun Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus berpendapat, peningkatan belanja pemerintah 5,26 % tidak menunjukkan fungsinya sebagai stimulus penggerak sektor produksi. “Investasi (PMTB) dan industri pengolahan melambat lalu ekspor turun dibandingkan dengan triwulan pertama,” katanya.
Sektor produksi memang mengalami penurunan dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya. PMTB pada triwulan pertama tahun ini tumbuh 7,95% (yoy) dengan kontribusi 32,12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Per triwulan kedua tumbuh melambat jadi 5,87%, andilnya juga susut ke posisi 31,15%.
Dengan kata lain, kenaikan belanja pemerintah hanya mendorong konsumsi rumah tangga hingga menyentuh 5,14%. Pertumbuhan konsumsi inipun lebih banyak untuk beli barang-barang impor terindikasi dari perlambatan pertumbuhan manufaktur antartriwulan, tetapi impor meningkat.
Per Juni tahun ini, industri manufaktur nonmigas hanya tumbuh 4,41% padahal pada triwulan pertama menyentuh kisaran 5%. Alhasil, pertumbuhan industri secara umum sampai dengan pertengahan tahun baru di level 3,9%.
(Baca juga: Menanti Reaksi Obat Penguat Rupiah Racikan Pemerintah)
Pertanyaan selanjutnya; apakah pertumbuhan ekonomi yang mengejutkan per akhir Juni berlanjut ke bulan-bulan berikutnya? Atau, cuma sampai di sana saja. Jawabannya tentu harus menunggu 2018 berakhir karena ilmu ekonomi tidak menggunakan prinsip 'cocoklogi'.
Yang pasti, pada separuh kedua tahun ini tak ada lagi momen musiman yang lazim melesatkan laju roda perekonomian, seperti puasa dan Idulfitri. Ekonom pun meragukan stimulus fiskal yang diberi pemerintah mampu memberikan efek pengganda secara efektif. Alasannya, rangsangan yang ada kurang menyentuh sisi produksi alias lebih menyasar konsumsi, contohnya bantuan sosial.
Jangan lupa pula tetap ada kerikil lain harus dihadapi, yakni gonjang-ganjing perekonomian global. Kompleksitas yang ada merupakan hasil percampuran sejumlah isu, semisal tren penaikan suku bunga acuan Amerika Serikat, perang dagang antarnegara, hingga krisis di Turki dan Argentina yang berimbas ke negara berkembang seperti Indonesia.
(Baca juga: Perang Dagang hingga Krisis Argentina Menekan Rupiah Mendekati 14.900)
Berusaha bersikap realistis maka tim ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 5,16% dari 5,3%. Asumsi utama mereka adalah dinamika perkonomian internasional yang berefek kepada sikap regulator di dalam negeri.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mencontohkan, kenaikan suku bunga acuan 7-day (Reverse) Repo Rate (7DRRR) menjadi 5,5% merupakan bentuk penyesuaian yang dilakukan Bank Indonesia terhadap gejolak yang ada.
"Kebijakan suku bunga acuan berpengaruh (ke pertumbuhan ekonomi). Dulu kami lihat ke arah 4,75% tetapi ternyata itu berubah cukup cepat," katanya.
Suku bunga acuan 7DRRR sudah naik 150 basis poin sejak awal tahun. Kenaikan ini merupakan respons terhadap tren penaikan Fed Funds Rate yang dapat memicu arus keluar dana asing (capital outflow). Pasalnya, apabila pemodal asing berbondong-bondong keluar dapat menyebabkan defisit pada neraca pembayaran Indonesia (NPI).
Asumsi tersebut terbukti. Menukil data Bank Indonesia diketahui bahwa NPI pada kuartal kedua tahun ini defisit sebesar US$ 4,3 miliar. Jumlah ini membengkak dibandingkan dengan posisi kuartal sebelumnya US$ 3,9 miliar, bahkan yang terburuk dalam tiga tahun terakhir.
Dampak turunannya bakal kemana-mana, seperti kenaikan imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) serta nilai tukar rupiah yang semakin tertekan di hadapan dolar AS. Rentetan ini terpengaruh dari besaran komposisi kepemilikan asing di saham dan SBN.
(Baca juga: Rupiah Tembus 14.800, BI Borong Surat Berharga di Pasar Rp 3 Triliun)
Sebelum para ekonom Bank Mandiri mengoreksi targetnya, revisi lebih dulu dilakukan Bank Dunia yakni dari 5,3% menjadi 5,2%. Argumen World Bank tak lain ialah mempertimbangkan kinerja perdagangan global yang turun plus tren pengetatan moneter.
Lantas bagaimana sikap pemerintah? Tentu mereka tidak tinggal diam. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga melihat kemungkinan target pertumbuhan ekonomi 2018 meleset.
Versi Perry, ekonomi tumbuh di level 5,2%. Tapi dari hitungan Sri kenaikan akan di kisaran 5,17% - 5,4%. Menkeu memang berharap adanya dorongan dari konsumsi rumah tangga untuk mencapai angka ini. Merujuk kepada data makroekonomi sampai pertengahan 2018 menunjukkan, pengharapannya terkabul.
Apabila yang dibahas adalah pertumbuhan ekonomi maka konsumsi selayaknya tak melulu jadi tumpuan. Pasalnya, di dalam formula penghitungan Y = C + I + G + (X-M) jelas mengkalkulasikan fungsi konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan net ekspor (ekspor dikurangi impor).
Menkeu Sri sempat menyoroti salah satu komponen pertumbuhan ekonomi, yakni investasi. Pasalnya, penanaman modal hanya tumbuh 5,87%. Angka ini menunjukkan perlambatan karena pada kuartal pertama tumbuh mencapai 7,95%.
(Baca juga: Peringkat Layak Investasi Tanda Ekonomi Indonesia Baik)
Kemenkeu menyatakan akan mencermati penyebab tertekannya penanaman modal. "Apakah karena ada libur panjang, jadi (kinerja) industri manufaktur rendah. Mungkin saja (pertumbuhan investasi) munculnya di semester kedua," tuturnya.
Selain itu, diamati pula pertumbuhan ekspor 7,7% yang lebih kecil ketimbang impor 15,1%. Kinerja ekspor yang lemah dapat menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran. Oleh karena itu, kenaikan impor bahan baku dan barang modal harus terkompensasi melalui realisasi investasi yang tinggi.
(Baca juga: Bertemu Jack Ma, Pemerintah Dorong Ekspor Lewat Alibaba)
Ada anggapan bahwa bicara ekonomi enggak lengkap tanpa angka. Padahal, pertumbuhan ekonomi selayaknya tak dimaknai sekadar rasio angka. Apalagi kalau yang diincar kesinambungan jangka panjang.
Jadi teringat Gubernur Federal Reserve Jerome Powell. Suatu ketika dia pernah berkata, "(Pertumbuhan) jangka panjang ditentukan faktor nonmoneter, seperti populasi penduduk, partisipasi angkatan kerja, serta keterampilan dan kemampuan tenaga kerja yang ada".
Tabik.