Tiga Skenario Pemerintah jika Tax Amnesty Gagal

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
8/6/2016, 10.50 WIB

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak masih dibahas oleh Panitia Kerja Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hingga kini perdebatannya masih alot antara Dewan dan pemerintah dalam menyusun Daftar Inventarisasi Masalah.

Padahal, target selesai pembahasan rancangan aturan tax amnesty ini pada pertengahan Juni. Harapannya bisa diterapkan mulai Juli dan berlaku selama enam bulan ke depan. Melihat perkembangan yang lamban ini, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mempersiapkan tiga skenario sebagai antisipasi jika kebijakan tersebut kandas dalam waktu dekat. (Baca: Gagal Selesai Bulan Ini, RUU Tax Amnesty Terhambat Empat Pasal).

Menurutnya, langkah-langkah yang disiapkan ini sebagai upaya menggenjot pemasukan. Sebab, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016 yang sedang dibahas dengan DPR, pemerintah memasukkan penerimaan hingga Rp 165 triliun yang berasal dari tarif tebusan tax amnesty. Artinya, jika pengampunan pajak tak direstui DPR, pemerintah mesti mencari penggantinya.

Bambang mengatakan langkah pertama yakni dengan menambah wajib pajak baru atau ekstensifikasi. Kebijakan ini seringkali didengung-dengungkan oleh kementeriannya, namun hasilnya belum juga maksimal. Tetapi dia menegaskan bahwa pada tahun ini instansinya akan benar-benar mendorong ekstensifikasi mengingat tantangan penerimaan 2016 cukup besar.

Kedua, penguatan pemeriksaan terhadap wajib pajak orang pribadi. Selama ini, pemeriksaan lebih fokus pada wajib pajak badan atau perusahaan. Alasannya, perusahaan memiliki data yang lebih lengkap mengenai laporan pendapatan dan pengeluaran sehingga lebih mudah bagi pegawai pajak untuk memeriksa.

Menteri Bambang Brodjonegoro
(ARIEF KAMALUDIN | KATADATA)

Berbeda dengan wajib pajak orang pribadi yang tidak memiliki neraca pendapatan dan pengeluaran, bahkan asetnya juga sulit dilacak. Meski begitu, Bambang menargetkan penerimaan dari wajib pajak orang pribadi meningkat dua kali lipat dari tahun lalu yang hanya Rp 9 triliun.

Ketiga, mengejar Penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak membayar pajak selama satu dasawarsa. Bambang mencatat ada 500 investor asing yang tidak membayar kewajiban pada negara selama periode tersebut. (Baca juga: Tarif Tax Amnesty Usulan Pemerintah Dinilai Terlalu Rendah).

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap PMA yang mengaku rugi ini, nantinya tidak hanya berdasarkan pada laporan keuangan tetapi juga berdasarkan logika. “Nggak usah fokus pada aturan berlebihan. Kalau perusahaan hidup 10 tahun, semestinya untung,” kata Bambang saat Rapat Kerja dengan Komisi Keuangan di DPR, Jakarta, Rabu, 7 Juni 2016.

Menurutnya, ketiga hal tersebut akan ditingkatkan pada bulan ini dalam rangka menjaga defisit anggaran tidak melebihi batas yakni tiga persen. Seperti diketahui, pemerintah mengajukan usulan defisit anggaran 2,48 persen terhadap Produk Domestik Bruto atau Rp 313,3 triliun dalam RAPBNP 2016. Usulan ini melebar dari target sebelumnya 2,15 persen atau Rp 273,2 triliun.

Pemerintah meningkatkan proyeksi defisit anggaran berdasarkan asumsi penerimaan tax amnesty Rp 165 triliun. Target itu diharapkan menjadi bagian dalam peningkatan Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas Rp 103 triliun menjadi Rp 819,5 triliun. (Baca: Menteri Bambang: Tax Amnesty Tak Jelas, Penerimaan Terganggu).

Atas dasar itu, pemerintah hanya mengurangi target pendapatan negara sebesar Rp 88 triliun menjadi Rp 1.734,5 triliun. Sementara itu, belanja negara dipatok Rp 2.047,8 triliun, atau hanya memangkas Rp 47,9 triliun dari APBN 2016.

Tax Amnesty (Katadata)

Oleh karena itu, pemerintah mempersiapkan langkah antisipatif jika tax amnesty gagal diterapkan agar defisit anggaran tidak melebihi batas tiga persen. Tentunya, pemerintah mau tak mau harus meningkatkan penerimaan pajak sesuai dengan yang ditargetkan. (Lihat pula: Tax Amnesty dan Keresahan Lapangan Banteng).

“Kami tetap commit menjaga keseimbangan fiskal, defisit tetap dijaga di bawah tiga persen. Ketiga program utama tersebut dari DJP (Direktorat Jenderal Pajak) untuk mengantisipasinya,” kata Bambang.