KATADATA ? Pemerintah mengkhawatirkan adanya penurunan pendapatan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas). Penurunan pendapatan ini akan terjadi karena produksi migas dan harga minyak yang terus menurun.

"Kami peringatkan prediksi kami dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2019 (produksinya) 500.000-600.000 bph," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (8/4).

(Baca: Lifting Rendah, Impor Minyak Diperkirakan Membengkak)

Dia mengakui bahwa target lifting minyak tahun ini sebesar 825.000 barel per hari (bph) lebih tinggi dari realisasi tahun lalu sebesar 794.000 bph. Namun, peningkatan ini hanya karena mengandalkan puncak produksi di Blok Cepu.

Dengan tambahan produksi di Blok Cepu, lifting minyak tahun depan diperkirakan bisa kembali naik mencapai 830.000-850.000 bph. Setelah itu akan terus turun, hingga mencapai 500.000 bph pada 2019.

(Baca: Hingga Maret, Lifting Minyak Hanya 764.000 Barel per Hari)

Sementara untuk gas, target liftingnya tahun ini sebesar 1,22 juta barel setara minyak per hari (barrel oil equivalent per day/boepd), lebih rendah dari tahun lalu yang sudah mencapai 1,25 juta boepd. Pemerintah memperkirakan produksi gas tahun depan akan kembali turun hingga 1,1 juta boepd.

Tahun ini perusahaan migas pun merevisi rencana bisnis dan investasinya. Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas mengurangi produksi dan melakukan pengurangan investasinya hingga 40 persen akibat harga minyak yang sedang rendah. Ada juga beberapa KKKS yang menutup kegiatan operasinya di Indonesia. Bahkan dari 21 wilayah kerja migas yang ditawarkan pemerintah, hanya 11 yang laku dilelang.

(Baca: Satu Dekade, Realisasi Lifting Minyak Selalu Meleset)

Di sisi lain harga minyak dunia juga menjadi ancaman bagi peningkatan penerimaan dari sektor ini. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada Maret 2015 sebesar US$ 53,66 per barel, memang lebih tinggi dari posisi Januari 2015 sebesar US$45,3 per barel. Namun, harga ini masih jauh dibandingkan periode yang sama tahun lalu di kisaran US$ 106 per barel.

Besarnya produksi dan turunnya permintaan minyak, yang diikuti adanya pengembangan sumber minyak alternatif yakni shale gas membuat harga minyak anjlok sejak pertengahan tahun lalu. Hal ini masih menjadi faktor yang berpengaruh terhadap penurunan harga minyak ke depannya.

Menurut Askolani, rendahnya produksi dan harga minyak ini berdampak negatif terhadap peneriman negara. Terutama pendapatan negara bukan pajak (PNBP) maupun bagi hasil ke pemerintah daerah (pemda). Akhirnya pemerintah hanya akan mengandalkan penerimaan pajak nantinya.

"Penerimaan pajak jadi kunci pembangunan. Kalau tidak tercapai, peningkatan pembangunan tidak bisa diwujudkan. Sebab, bagaimana mau belanja dan bangun (infrastruktur), kalau uang pajak tidak masuk," ujarnya.

Reporter: Desy Setyowati