Sri Mulyani Peringatkan Risiko Besar Banjir Stimulus dan Insentif

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dampak dari kebijakan countercylical.
12/3/2021, 18.14 WIB

Pemerintah akan melanjutkan kebijakan countercyclical alias memperbesar pengeluaran dan menebar insentif untuk menjaga perekonomian tahun ini akibat tertekan pandemi Covid-19. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, kebijakan tersebut memiliki risiko dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Kebijakan countercyclical dalam APBN dilakukan melalui penyesuaian belanja yang belum mendesak. Dengan kebijakan tersebut, defisit anggaran pun melebar hingga 6,09% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2020 dan rencananya akan kembali mencapai 5,7% PDB pada tahun ini. Umumnya, defisit APBN hanya berkisar di level 3%.

"Setiap langkah kebijakan tidak hanya memberi manfaat, tetapi ada konsekuensinya," kata Sri Mulyani dalam acara Pelantikan Pejabat Eselon I Kemenkeu, Jumat (12/3).

Mengutip buku berjudul "Global Risk Report 2021 " oleh World Economic Forum, Sri Mulyani membeberkan beberapa risiko yang akan dihadapi Indonesia maupun dunia karena kebijakan fiskal yang countercyclical di tengah pandemi. Dalam tiga sampai lima tahun ke depan, risiko yang kemungkinan terjadi yakni adanya penggelembungan aset atau asset bubble, ketidakstabilan harga, gejolak komoditas alias commodity shock, krisis utang, bahkan risiko geopolitik.

Sedangkan untuk lima sampai 10 tahun ke depan, risiko yang dihadapi akan lebih rumit lagi. Konsekuensi yang perlu diwaspadai yakni perubahan iklim, konsentrasi daya digital, ketidaksetaraan digital, dan kegagalan keamanan siber.

Bendahara negara ini menuturkan, di Indonesia sendiri, amanat kebijakan countercylical APBN di tengah pandemi diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020. Adapun terdapat dua tugas utama untuk Otoritas Fiskal dalam beleid itu yakni membantu dan melindungi perekonomian RI dan masyarakat namun di sisi lain harus mulai menjaga APBN dalam jangka menengah.

"Sebuah tugas yang saling berlawanan namun tetap harus dilaksanakan secara seimbang, tepat waktu dan tepat ukuran," kata dia.

Sebagai gambaran, kebijakan countercyclical artinya mengurangi pengeluaran dan menaikkan pajak selama ekonomi sedang booming. Sebaliknya, ketika ekonomi sedang resesi dan kontraksi seperti saat ini, pemerintah akan memperbesar pengeluaran dan memangkas pemungutan pajak dalam berbagai bentuk insentif.

Ekonom Senior Center Of Reform On Economics Yusuf Rendy Manilet berpendapat pemerintah perlu mempersiapkan strategi dini dalam proses konsolidasi fiskal nantinya. "Dalam krisis utang misalnya, Indonesia merupakan negara dengan tren peningkatan rasio utang bahkan sebelum pandemi terjadi," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Jumat (12/3).

Maka dari itu, strategi dalam mempersiapkan  pembiayaan dari dalam negeri dengan denominasi rupiah perlu terus diintensifkan pemerintah. Menurut ia, hal ini masih bisa dilakukan mengingat porsi penduduk muda Indonesia yang besar sehingga pemerintah bisa mengeluarkan obligasi ritel dengan target investor muda tersebut.

Terkait ketidakstabilan harga, Yusuf menilai perlu diantisipasi dengan menjaga alur distribusi komoditas yang bisa berpengaruh terhadap ketidakstabilan harga. Komoditas tersebut utamanya pangan seperti cabe rawit, beras, daging, hingga bawang. "Memantau produksi dalam negeri juga penting akhirnya dalam menjaga stabilitas harga di dalam negeri," ujar dia.

Di sisi lain, guna memitigasi risiko commodity shock, dia menekankan agar hilirisasi beragam komoditas di Tanah Air perlu didorong. Salah satunya seperti memperbaiki langkah kebijakan hilirisasi nikel dengan membatasi ekspor untuk produk tersebut.

Tak hanya WEF, sebelumnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional telah memperingkatkan pandemi Covid-19 dapat memicu krisis utang di negara-negara miskin. Kedua lembaga tersebut pun mendesak para kreditor untuk memberikan penundaan hingga pembatalan pembayaran utang. Namun, restrukturisasi dinilai lembaga pemeringkat utang global dapat berdampak negatif bagi akses pasar pembiayaan.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir Januari 2021 mencapai Rp 6.233,14 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari 38,68% pada Desember 2020 menjadi 40,28%. Namun, apabila dibandingkan dengan negara lain, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN maupun G-20 lainnya.

Pada Januari 2021 saja, pemerintah tercatat menarik utang Rp 165,83 triliun. Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam proses pemulihan akibat pandemi Covid-19 menjadi penyebab pemerintah menarik utang besar-besaran.

Berdasarkan komposisinya, utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan surat berharga negara (SBN), yaitu sebesar Rp 5.383,55 triliun atau 86,37% dari total komposisi utang per akhir Januari 2021. Sedangkan utang dalam bentuk pinjaman tercatat Rp 849,59 triliun atau 13,63%.

Reporter: Agatha Olivia Victoria