Modal Asing Kabur dari Bursa Saham dan Surat Utang Rp 2,8 T Sepekan

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Pegawai menunjukkan mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (5/11/2021). Terdapat aksi jual neto sebesar Rp 2,79 triliun pada 8-12 November di pasar saham dan SBN.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Maesaroh
12/11/2021, 20.13 WIB

Investor asing masih melanjutkan aksi jual aset di pasar keuangan domestik di tengah kekhawatiran inflasi global yang terus meroket, terutama di Amerika Serikat dan Cina. Bank Indonesia (BI) mencatat dana asing kabur Rp 2,79 triliun dalam sepekan terakhir.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan terdapat aksi jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2,39 triliun. Jual neto di pasar saham Rp 390 miliar.

"Berdasarkan data setelmen sejak awal tahun ini sampai minggu kedua November 2021, terdapat nonresiden jual neto Rp 16,01 triliun," kata Erwin dalam keterangan resminya, Jumat (12/11).

Dana asing yang keluar pada pekan ini memang lebih kecil dibandingkan pada pekan lalu tetapi pada pekan ini aksi jual neto terjadi baik di pasar obligasi ataupun saham.

Pada pekan pertama (1-5 November), BI melaporkan modal asing kabur Rp 12,66 triliun. Jual neto di pasar saham sebesar Rp 13,08 triliun. Namun pada saat yang sama, terdapat aksi beli neto Rp 420 miliar di pasar SBN.

Pada pekan terakhir Oktober, secara keseluruhan tedapat modal asing keluar sebesar Rp 780 miliar. Terjadi jual neto di pasar SBN sebesar Rp 4,32 triliun, tetapi beli neto di pasar saham Rp 3,54 triliun.

 BI juga melaporkan tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun per 11 November naik ke level 84,27 basis poin (bps). Lebih tinggi dari 79,58 bps pekan lalu.

Imbal hasil atau yield SBN tenor 10 tahun terpantau naik pada 12 November menjadi 6,19%.

Kinerja ini menyusul yield US Treasury tenor 10 tahun yang juga naik ke level 1,55% sehari sebelumnya.

Sekalipun terdapat aliran modal asing, rupiah berhasil ditutup menguat ke level Rp 14.219 per dolar AS pada perdagangan pasar spot sore ini.

Kurs Garuda menguat 0,78% dibandingkan posisi penutupan pekan lalu Rp 14.331. Sentimen penguatan tampaknya didorong perbaikan ekonomi domestik sekalipun tekanan inflasi global masih memanas.

Rilis sejumlah data ekonomi pekan lalu tampaknya masih memberi optimisme terhadap fundamental ekonomi domestik.

 Sektor manufaktur di dalam negeri semakin ekspansif. Ini terindikasi dari Purchasing Managerss Index (PMI) Manufaktur bulan lalu yang menanjak 57,2 poin, dari kinerja 52,2 poin bulan sebelumnya.

Dari sisi konsumsi, terlihat dari Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mulai terungkit 0,12% secara bulanan, setelah deflasi 0,04% pada September 2021.

Dari sisi komponen inti juga masih berhasil inflasi 0,07% pada Oktober sekalipun turun dari 0,13% pada bulan sebelumnya.

Selain itu, optimisme perbaikan konsumsi juga tercermin dari indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang mengindikasikan optimisme.

IKK lompat ke posisi 113,4 pada Oktober 2021. Indeks bulan lalu juga tercatat sebagai yang tertinggi dalam 19 bulan terakhir.

Meski demikian, penguatan rupiah sebenarnya hanya terjadi pada awal pekan.

Tanda-tanda pelemahan mulai terjadi dalam tiga hari terakhir, terutama setelah tekanan inflasi global kembali memanas.

 Inflasi yang memanas menjadi tema utama kekhawatiran pasar sepekan terakhir.

Kekhawatiran pasar terutama pada kenaikan harga-harga di dua ekonomi terbesar dunia, AS dan Cina.

Indeks Harga Konsumen (IHK) AS bulan lalu tercatat 6,2% secara tahunan, lebih tinggi dari perkiraan Dow Jones 5,9%.

Kinerja ini sekaligus yang tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Sementara inflasi bulanan tercatat 0,9%, juga di atas perkiraan sebesar 0,6%.

Inflasi inti bulanan naik 0,6% dari perkiraan 0,4%. Inflasi inti secara tahunan mencapai 4,6%, juga lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.

 Lonjakan harga-harga di AS mendorong kembali menguatnya sentimen excit policy bank sentral AS (The Fed).

The Fed dalam rapat akhir bulan lalu sudah mempertegas belum mempertimbangkan kenaikan bunga acuan.

Namun, pasar mengantisipasi kenaikannya bisa dipercepat tahun depan. Ini yang kemudian ikut mendorong yield US Treasury terus naik dalam beberapa hari terakhir.

Sementara di Cina, IHK juga naik 1,5% secara tahunan, lebih tinggi dari 0,7% bulan sebelumnya. Laju inflasi bulan lalu tercatat sebagai yang tercepat sejak September tahun lalu.

 Meski inflasi konsumen cenderung masih rendah, pasar khawatir dengan inflasi di tingkat produsen yang meroket.

Indeks Harga Produsen (PPI) Cina mencata inflasi 13,5% pada Oktober. Ini naik dari 10,7% pada bulan sebelumnya, sekaligus tertinggi dalam 26 tahun terakhir.

Kekhawatiran inflasi di Cina bahkan tidak sebetas pada lonjakan harga-harga, melainkan menjurus pada ancaman stagflasi.

Ini merupakan kondisi yang menggambarkan adanya lonjakan inflasi, pada saat yang sama ekonominya tumbuh melambat bahkan kontraksi.

"Inflasi secara keseluruhan baik di AS dan di Cina berpotensi memperlambat perekonomian global," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Jumat (12/11).

Reporter: Abdul Azis Said