Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta mengabulkan gugatan DH terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) . DH merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan disabilitas mental di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipecat saat sedang sakit.
DH menggugat Sri Mulyani dan BPASN ke PTTUN Jakarta pada 15 November tahun lalu. Ia menggugat surat pemberhentian dengan hormat, tidak atas permintaan sendiri yang dikirimkan kepada keluarganya pada Februari 2021.
Alasan pemberhentian karena DH dianggap mangkir dari pekerjaan. Padahal saat itu, dirinya tengah menderita skizofrenia paranoid.
"Dalam putusannya, Hakim mengabulkan seluruh gugatan DH," kata perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang menjadi pendamping hukum DH Charlie Albajili, dalam keterangan tertulis, Kamis (2/6).
“Hakim menyatakan, SK pemberhentian Menteri Keuangan dijatuhkan dengan cacat prosedur dan cacat substansi hukum. Hakim juga memerintahkan Menkeu dan BPASN untuk memulihkan hak DH sebagai ASN di Kementerian Keuangan,” tambah dia.
Ia mengatakan, dalam pertimbangan hakim, SK pemberhentian Menkeu cacat prosedur karena tidak didahului dengan pembentukan tim pemeriksa sebagaimana tertuang dalam PP No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. SK ini hanya didasarkan atas penilaian atasan.
Selain itu, SK Banding Administratif BPASN yang menolak permohonan banding DH terbukti cacat hukum. Hakim menilai, SK BPASN tidak diterbitkan oleh pejabat berwenang sesuai ketentuan PP no 79 tahun 2021.
Charlie menyambut positif hasil putusan sidang kemarin. Menurutnya, putusan ini menjadi preseden penting bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak disabilitas mental di Indonesia.
Ia juga meminta Sri Mulyani dan BPASN segera menjalankan putusan dan tidak mengajukan upaya hukum. Hal ini sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab negara terhadap hak-hak penyandang disabilitas.
Menanggapi hasil putusan tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kemenkeu Rahayu Puspasari mengatakan, pihaknya menghormati putusan dari PTTUN Jakarta. Ia memastikan, Kemenkeu berempati terhadap penyandang disabilitas mental dan menghormati hak-hak mereka sebagaimana diatur dalam UU.
"Saat ini Kemenkeu masih menunggu salinan putusan dan akan mempelajari lebih lanjut sebagai pertimbangan untuk langkah selanjutnya," kata Puspa dalam keterangan tertulis kepada Katadata.co.id, Jumat (3/6).
Puspa juga mengatakan, keputusan penjatuhan hukuman disiplin kepada DH karena melanggar presensi selama akumulasi 129 hari, terhitung Januari sampai September 2020.
Sampai keluarnya surat pemecatan tersebut, baik DH maupun keluarga disebut tidak memberitahukan kondisi sakitnya, baik secara tertulis maupun lisan kepada kantor atau atasan.
Oleh karena itu, SK Menteri keuangan dikeluarkan. Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa DH tidak melaporkan kondisinya.
"Seandainya kondisi sakit ini diberitahukan sejak awal, tentu akan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan oleh atasan langsung ketika pegawai yang sakit diberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku misalnya, konseling, pengobatan, atau cuti sakit," kata Puspa.
DH menggugat Sri Mulyani dan BPASN ke PTTUN Jakarta pada Novemeber tahun lalu terkait keputusan pemecatan secara sepihak. Alasan pemberhentian karena masalah presensi.
LBH menyebut bahwa DH tidak masuk kerja karena tengah mengidap skizofrenia paranoid yang saat itu tidak tertangani.
DH diberhentikan setelah 10 tahun lebih mengabdi di Direktorat Jenderal Pajak. Ia diketahui pernah memperoleh beasiswa master dari pemerintah Australia pada 2014.
Ia baru mendapatkan penanganan dan perawatan psikologis pada pertengahan tahun lalu. Setelah kondisinya dinyatakan membaik, DH sempat mengajukan permohonan untuk dapat kembali bekerja dengan menjelaskan kondisinya dilengkapi hasil diagnosis skizofrenia.
Namun, permohonannya ditolak dan disarankan mengajukan banding administratif melalui BPASN. Selain itu, kabarnya DH diminta membayar ganti rugi negara ratusan juta karena melanggar ikatan dinas.
DH kemudian mengajukan banding administratif kepada BPASN pada September 2021. Sebulan kemudian, BPASN menyatakan menolak permohonan itu karena dianggap telah lewat waktu alias kedaluarsa dan diminta menerima putusan tersebut.
Setelah itu, DH didampingi LBH Jakarta dan Perhimpunan Jiwa Sehat mengajukan gugatan ke PTTUN Jakarta.