Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, jika pajak pertambahan nilai (PPN) resmi naik menjadi 12%, maka Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

"Artinya kalau (PPN) kita jadi di 12%, akan jadi yang tertinggi. Apalagi kalau menggunakan skema single tarif ya, ini yang tentu akan memberatkan konsumen yang 95% pendapatannya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok," kata Ahmad dikutip dari Antara, Jumat (22/3).

Adapun yang dimaksud single tarif adalah penerapan satu jenis tarif PPN yang berlaku bagi seluruh barang atau jasa.

Saat ini, negara Asia Tenggara yang mempunyai PPN tertinggi yakni Filipina sebesar 12%. Sedangkan negara lainnya seperti Kamboja sebesar 10%, Laos 10%, Vietnam dengan skema two tier system sebesar 10% dan 5%. Kemudian Malaysia yang menggunakan sistem pajak barang dan jasa (good and service tax/GST) sebesar 6%.

Ahmad menjelaskan, kenaikan PPN dengan menggunakan single tarif dapat menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi yang meningkat. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mempertimbangkan penggunaan skema multi tarif.

Kenaikan PPN akan Turunkan Daya Beli

Selain itu, secara makro, kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relatif lebih tinggi. Semakin melemahnya daya beli masyarakat, maka akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.

Tak hanya itu, dampak lain yang ditimbulkan dari adanya kenaikan PPN, yakni penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang terancam menurun.

Seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat, maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja.

Tujuan dari naiknya PPN 12% adalah untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Namun menurut Ahmad, pemerintah perlu melakukan kalkulasi dengan matang. Karena efek jangka panjang dan jangka pendek juga perlu dipertimbangkan.

"Saya sepakat, bagaimana pemerintah mengoptimalkan penerimaan negara, tapi juga harus mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan dan juga bagaimana memerhatikan masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah," ujarnya.

Pemerintah Diminta Optimalisasi Penerimaan Pajak

Lebih lanjut, Ahmad menilai pemerintah juga perlu mengoptimalkan ekstensifikasi atau perluasan penerimaan perpajakan termasuk ekstensifikasi cukai, serta optimalisasi penerimaan negara bukan pajak.

Sebagai informasi, kenaikan PPN 12% merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Berdasarkan pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan yang paling tinggi 15%.

Reporter: Antara