Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin meminta pemerintah mengelola APBN secara prudent dan akuntabel untuk meningkatkan kepercayaan kepada investor dan market di tengah tren pelemahan rupiah.
"Sejauh ini, kami melihat pemerintah terus menjaga kondisi makro fiskal secara baik, yang tercermin dari rasio perpajakan yang tumbuh dua digit, defisit yang terjaga di bawah 3%, hingga rasio utang yang terkendali dalam batas aman," kata Puteri dalam keterangan resmi, Rabu (26/6).
Ia juga mendorong pemerintah untuk memaksimalkan implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) untuk menambah pasokan cadangan devisa di dalam negeri.
Dengan demikian, rupiah bisa semakin kuat dalam menghadapi tekanan di pasar keuangan global saat ini. Karena itu, Puteri mendukung upaya pemerintah yang terus melakukan sosialisasi dan pengawasan terkait kebijakan DHE SDA agar terimplementasi secara maksimal.
"Kami juga mendorong pemerintah untuk terus bersinergi dengan Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah intervensi melalui likuiditas valuta asing, cadangan devisa, dan BI rate. Operasi moneter ini diharapkan dapat mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah," kata Puteri.
Kebijakan Fiskal dan Moneter
Anggota Komisi XI DPR RI Charles Meikyansah meminta pemerintah lebih berhati-hati untuk memitigasi dampak pelemahan rupiah. Untuk itu, pemerintah diminta melihat dari sisi fiskal dan moneter.
Charles juga mendesak kepada Bank Indonesia untuk tidak membiarkan nilai rupiah dalam kondisi yang terus melemah atau bergerak liar (volatile).
"Secara teknis, bisa dilakukan kebijakan intervensi misalnya di pasar non-deliverable forward (NDF), pasar spot, dan pasar surat berharga negara (SBN)," ujar Politisi Fraksi Partai NasDem itu.
Sehingga, perlu adanya penyesuaian kebijakan suku bunga acuan dan intervensi pasar secara langsung. Salah satunya dengan mengandalkan cadangan devisa sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Penyebab Pelemahan Rupiah
Charles juga menjelaskan penyebab terjadinya pelemahan rupiah seperti sentimen global, kuatnya perekonomian Amerika Serikat dan konflik Timur Tengah yang masih memanas.
Sedangkan dari dalam negeri, terkait pelemahan neraca transaksi berjalan karena surplus perdagangan barang atau ekspor impor barang turun signifikan dalam beberapa tahun terakhir setelah pandemi.
"Hal itu yang menjadi salah satu sinyal kondisi makro ekonomi yang kurang baik, sehingga mendorong pelemahan rupiah," kata Charles.
Selain itu, kata dia, ada sentimen market terkait isu presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan menaikkan rasio utang hingga 50% dari PDB untuk memenuhi janji kampanye, meskipun hal ini masih dugaan.