Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada Juli 2024 masih mengalami surplus. Hanya saja surplus perdagangan tersebut menyusut dibandingkan bulan lalu dan pada periode yang sama tahun lalu.
"Pada juli 2024, neraca perdagangan barang tercatat surplus sebesar US$ 0,47 miliar atau turun sebesar US$ 1,92 miliar secara bulanan," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Kamis (15/8).
Amalia menjelaskan, surplus neraca perdagangan tersebut ditopang oleh surplus komoditas nonmigas yaitu sebesar US$ 2,61 miliar. Adapun komoditas penyumbang surplus, terutama dari bahan bakar mineral batu bara, lemak dan minyak nabati, serta besi dan baja.
Namun surplus neraca perdagangan nonmigas pada Juli 2024 lebih rendah jika dibandingkan bulan lalu maupun periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pada saat yang sama, neraca perdagangan komoditas migas defisit US$ 2,13 miliar.
BPS mencatat nilai ekspor Indonesia pada Juli 2024 mencapai US$ 22,21 miliar atau naik 6,65% secara bulanan. Dibandingkan Juli 2023, nilai ekspor tersebut naik sebesar 6,46%.
Sementara secara tahunan, nilai ekspor pada periode Juli 2024 meningkat 6,46%, Kenaikan tersebut didorong oleh peningkatan ekspor nonmigas terutama logam mulia dan perhiasan permata, biji logam terak, dan kakao serta olahannya.
Sementara nilai impor pada bulan Juli 2024 mencapai US$ 21,74 miliar. Angka tersebut meningkat 17,82% bila dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 18,45 miliar.
Proyeksi dari Ekonom
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal memproyeksikan neraca perdagangan Indonesia masih surplus pada Juli 2024. Meskipun begitu, surplus tersebut bukan berarti menunjukan hal yang bagus atau positif.
“Penyebab surplus sebenarnya masih sama. Jadi, ekspor sebetulnya melambat tapi impor lebih melambat lagi. Bukan hanya melambat lagi tapi kontraksi secara tahunan,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Kamis (15/8).
Dia menilai, penurunan dari impor itu tidak lantas bagus. Sebab, penurunannya terjadi untuk impor barang-barang produksi dan bahan baku penolong industri. “Hal ini sejalan dengan pelemahan daripada kinerja industri manufaktur kita yang terakhir malah kontraksi,” ujar Faisal.
Dari sisi ekspor, Indonesia masih lebih banyak bertumpu dari komoditas yang harganya masih bisa sedikit bertahan. Dia menyebut, ekspor manufaktur melemah sejalan dengan pelemahan ekonomi AS dan Cina. “Walaupun ekspor tadi melemah, tetapi masih surplus karena impornya terkontraksi,” kata Faisal.