Kelas Menengah Merosot, Lapangan Kerja Formal dan Upah Layak Bisa Jadi Solusi
Penurunan jumlah kelas menengah dalam 10 tahun terakhir menjadi tantangan bagi pertumbuhan ekonomi ke depan. Jika ini terus berlanjut, maka akan menghambat Indonesia sebagai negara maju dan bisa menekan daya beli masyarakat.
Maka itu, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi kelompok kelas menengah. Di antaranya dengan membuka lapangan pekerja di sektor formal seluas-luasnya serta menyediakan upah yang layak.
Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede mendorong peningkatan lapangan pekerjaan baru di sektor formal, terutama di bidang manufaktur.
"Yang kita inginkan sektor formal itu di manufaktur. Ini yang perlu menjadi motor perekonomian ke depan. Itu jawabannya," kata Raden dalam acara Investortrust CEO Forum di Jakarta, Kamis (29/8).
Dia menilai, jika Indonesia ingin terus tumbuh dan menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 20.000 (Rp 308 juta dengan kurs Rp 15.404 per dolar AS), maka seluruh pekerja tidak bisa lagi dengan pendapatan US$ 3.000 atau US$ 5.000 per kapita.
"Itu artinya seluruh sektor manufaktur yang dulu memperkerjakan orang dengan pendapatan US$ 5.000 dolar per kapita (sekitar Rp 77 juta) itu tidak akan masuk, nantinnya ke program visi Indonesia Emas 2045," ujar Raden.
Untuk itu, Raden menekankan pentingnya peningkatan kualitas dari sektor manufaktur. Dengan mendorong daya saing sektor manufaktur nasional di tengah banjirnya produk-produk dari luar negeri.
"Dulu kita menghasilkan garmen, dan hanya memproduksi handuk, baju, kaos, sarung maka tidak bisa lagi itu saja. Kita harus mampu memproduksi seperti Uniqlo sekarang, jadi pekerjanya tetap tapi kualitas produknya berbeda. Di situ peran kelas menengah penting sekali," kata Raden.
Dalam visi 2045, kelas menengah diharapkan bisa mencapai 80% sementara saat ini hanya sekitar 20% saja. Jika nantinya pendapatan per kapita mampu menyentuh US$ 30.000 maka mesin ekonomi akan bergerak sendiri.
"Karena dengan begitu dia punya daya beli sangat kuat maka produksi kita bsia meningkat. Itu yang akan memutar ekonomi," ujar Raden.
Penjualan Mobil Stagnan
Dalam kesempatan yang sama, Chief Economist Bank Central Asia David Samuel mengakui penurunan kelas menengah memang menjadi permasalahan. Hal ini mulai terlihat dari dalam lima sampai enam tahun terakhir penjualan mobil stagnan pada angka 1 juta unit.
"Penjualan ini tidak bisa tambah karena konsumennya tidak bertambah. Kelas atas punya dua atau tiga (mobil) sudah cukup, tapi tidak bisa membeli sampai 100 mobil," kata David.
Menurut David, peningkatan kelompok kelas menengah sangat erat kaitannya dengan startegi yang harus dilakukan. Terutama jika berkaitan dengan geopolitik.
David pun menghimbau agar Indonesia jangan menjadi negara konsumer. "Kita harus memanfaatkan investasi atau relokasi masuk ke Indonesia. Yang akhirnya, ada penyerapan tenaga kerja yang bertransformasi menjadi kelas menengah," ujar David.
Terlebih, kebanyakan pekerja di Indonesia sebanyak 37% dari sarjana berada di sektor formal. Seperti jasa pendidikan guru honorer hingga 25% dan sisanya 12% tersebar di jasa pemerintahan.
Struktur tersebut akan sangat memengaruhi upah pekerja. Jika lebih banyak pekerja di sektor pertanian dan manufaktur yang produktivitasnya tinggi, maka upah yang diterima akan lebih besar.
Kelas Menengah Turun Pascapandemi
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia merosot pada 2024. Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan jumlah dan persentase kelompok kelas menengah mulai menurun pascapandemi Covid-19.
“Sebelum Covid-19 atau pada 2019 memang kelas menengah berjumlah 57,33 juta orang atau kira-kira 21,5% dari total penduduk Indonesia tapi di 2024 turun,” kata Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Rabu (28/8).
Pada 2021, jumlah penduduk kelas menengah turun menjadi 53,83 juta orang dengan proporsi 19,82%. Penurunannya terus berlanjut pada 2022 menjadi 49,51 juta orang dan pada 2023 hanya 48,27 orang.
Tahun ini tren serupa terus terjadi. Angka kelas menengah saat ini menjadi 47,85 juta orang dengan proporsi 17,13%. “Memang kami identifikasi masih ada scarring effect (kecemasan) dari pandemi terhadap ketahanan kelas menengah,” ujar Amalia.
Dari sisi lapangan usaha dan status pekerjaan, sebanyak 57% kelas menengah bekerja di sektor jasa, 22,98% bekerja di sektor industri, dan 19,97% di sektor pertanian. Terdapat pula kenaikan proporsi kelas menengah yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan 10 tahun lalu.