Deflasi 5 Bulan Beruntun Bisa Ancam Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Beli Masyarakat

ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/wpa.
Calon pembeli memilih bahan kebutuhan pokok di Pasar Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (1/6/2024). Menurut pedagang, harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan seperti bawang merah dari sebelumnya Rp30 ribu per kilogram kini menjadi Rp45 ribu per kilogram, cabai merah Rp30 ribu per kilogram menjadi Rp50 ribu per kilogram.
1/10/2024, 19.33 WIB

Deflasi selama lima bulan beruntun sejak Mei 2024 diperkirakan bakal berdampak terhadap kondisi perekonomian. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi pada Mei hingga September 2024 masing-masing sebesar 0,12%, 0,03%, 0,18%, 0,08% dan 0,03%.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat tren deflasi pada saat ini sebagai indikasi pelemahan dari sisi permintaan. Lebih parahnya lagi, pelemahan permintaan ini terjadi secara berturut-turut.

“Ini bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi, melainkan tanda masyarakat sedang menahan belanja,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa (1/10).

Selain menahan belanja, ada kemungkinan uang masyarakat juga sudah mulai berkurang. Hal ini tercermin dari penurunan kelas menengah menjadi rentan miskin.

Kelas menengah rentan dan sulit mencari pekerjaan. Sementara kelas menengah atas memilih menahan belanja karena khawatir situasi ekonomi memburuk,” ujar Bhima.

Industri Waspadai Deflasi Beruntun

Dengan kondisi, Bhima memperkirakan pelaku usaha dan industri bakal merespons deflasi dengan merevisi target bisnis pada tahun ini. “Pelaku usaha khususnya industri makanan minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki hingga pelaku usaha properti akan merevisi rencana bisnisnya,” kata Bhima.

Terlebih, purchasing managers index atau PMI manufaktur pada saat ini tetap di bawah angka 50. Hal itu juga menunjukan industri manufaktur sedang menurunkan pembelian bahan baku. “Gejolak ini dapat berujung pada resesi ekonomi,” ujar Bhima.

PMI Manufaktur menjadi salah satu indikator kondisi industri manufaktur dalam sebuah negara. PMI ini memiliki nilai dasar 50. Jika angka PMI berada di atas 50, menandakan sektor manufaktur sedang ekspansif. Sedangkan di bawah 50 menandakan kontraksi. 

Menggerus Pertumbuhan Ekonomi RI

Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana menilai dampak deflasi beruntun ini bakal menggerus pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, pemerintah perlu mewaspadai dampak deflasi ke depan.

“Walaupun secara nominal pertumbuhan ekonomi lebih baik karena inflasinya turun, tapi di saat yang sama daya beli turun. Ini berarti permintaannya turun dan sektor manufaktur juga turun,” kata Fikri.

Jika deflasi hanya disebabkan harga turun, itu masih cukup baik karena daya beli masyarakat positif. Namun jika penurunan harga dibarengi dengan daya beli masyarakat perkotaan, ada risiko yang perlu diantisipasi pemerintah.

Untuk itu, pemerintah perlu menaikan daya beli masyarakat menengah di perkotaan. “Dengan menaikan gaji dan membuka lapangan kerja, pasti ini tidak akan secepat itu,” ujar Fikri.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong ekspektasi ekonomi yang lebih baik. Hal itu dapat dilakukan dengan mendorong ekspektasi pendapatan yang lebih baik.

“Jadi masyarakat punya ekspektasi, punya pendapatan lebih untuk masa depan, dengan mengeluarkan belanjanya pada saat ini. Yang artinya, inflasi bakal bisa lebih baik nanti,” kata Fikri.

Daya Beli Kelas Menengah Turun

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede belum bisa menyimpulkan deflasi lima bulan beruntun ini sebagai penurunan daya beli masyarakat secara umum. Namun jika mempertimbangkan data-data lain, menunjukan bahwa daya beli kelas menengah turun.

Dia mencontohkan data tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menunjukkan peningkatan sejak 2022 hingga Agustus 2024. Selain itu juga terjadi penurunan rasio disposable income (pendapatan yang siap) dibelanjakan terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam 10 tahun terakhir.

“Memang terdapat tren penurunan daya beli, khususnya kelas menengah,” ujar Josua.

Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky justru melihat ada indikasi pelemahan daya beli masyarakat yang dipengaruhi oleh inflasi.

“Dari permintaan agregat, nampaknya ada indikasi melambat yang berkontribusi terhadap inflasi. Apakah lebih bahaya? Sebetulnya tidak, karena inflasi yang terlalu tinggi atau deflasi yang terlalu dalam juga sama-sama bahaya,” kata Riefky.

Menurut Riefky, kondisi yang sehat jika pertumbuhan harga yang stabil dan terjaga. Namun adanya deflasi secara terus-menerus bukan merupakan indikasi yang baik.

Reporter: Rahayu Subekti