Ekonom Nilai Inflasi Rendah pada Desember 2024 Menandakan Pelemahan Daya Beli
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahun kalender (ytd) pada Desember 2024 sebesar 1,57%, yang merupakan angka terendah sepanjang sejarah penghitungan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran sejumlah ekonom mengenai lemahnya daya beli masyarakat.
Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menjelaskan bahwa harga pangan pada 2024 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan 2023. Pangan, sebagai salah satu komponen utama pembentuk inflasi, menjadi faktor yang menyebabkan inflasi pada 2024 mencapai rekor terendah sejak 1958.
Namun Yusuf menyoroti bahwa rendahnya inflasi saat ini mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat. Ia mencatat bahwa deflasi sempat terjadi selama lima bulan berturut-turut, yang menjadi salah satu tanda melemahnya aktivitas ekonomi.
Selain itu, Yusuf juga menyoroti kontraksi pada PMI manufaktur dan terjadinya gelombang PHK massal sebagai indikator tambahan yang memperkuat sinyal pelemahan daya beli. Kondisi ini menurutnya perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
“Pelemahan daya beli ini juga tercermin dari data pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang terus melambat sejak kuartal pertama hingga kuartal ketiga 2024,” ungkap Yusuf kepada Katadata.co.id, Rabu (8/1).
Yusuf menyoroti rendahnya inflasi pada Desember 2024 yang tercatat lebih rendah dibandingkan saat pandemi Covid-19. Data BPS menunjukkan inflasi tahun kalender dan tahunan pada Desember 2020 mencapai 1,68%.
“Rendahnya inflasi ini, bahkan lebih rendah dari kondisi krisis pandemi, menjadi sinyal waspada bagi pemerintah terkait melemahnya daya beli masyarakat,” ujar Yusuf.
Inflasi Rendah Saat Nataru Sebagai Anomali
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut rendahnya inflasi pada Desember 2024, yang bertepatan dengan libur Natal dan Tahun Baru (Nataru), sebagai anomali.
Ia menilai kondisi ini mencerminkan daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya. “Daya beli belum dalam track normal. Bahkan momen Nataru tidak menimbulkan hype seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Wijayanto.
Ia memperkirakan tren ini dapat berlanjut hingga 2025 tanpa adanya momentum pemulihan daya beli. Senada dengan Wijayanto, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga melihat inflasi Desember 2024 sebagai anomali.
“Ini berarti ada penurunan sisi permintaan yang membuat harga barang jasa tidak alami kenaikan berlebihan,” ujar Bhima.
Ia menyoroti sektor transportasi yang mengalami deflasi 0,3% secara tahunan pada Desember 2024, yang mencerminkan lemahnya aktivitas ekonomi. “Padahal penurunan harga tiket maskapai juga tidak banyak andilnya ke seluruh moda transportasi,” kata Bhima.
Bhima juga melihat masyarakat cenderung menahan belanja pada akhir 2024 karena khawatir terhadap kebijakan ekonomi dan tekanan daya beli pada 2025. “Ada juga yang menyimpan uang untuk persiapan mudik Lebaran karena hanya beberapa bulan lagi,” kata Bhima.
Rendahnya inflasi ini, yang bahkan lebih rendah dibandingkan dengan masa pandemi Covid-19 pada 2020, menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah bahwa daya beli masyarakat yang masih melemah.