Purbaya Buka Opsi Pangkas PPN, Ekonom Ingatkan Risiko Defisit Fiskal Bengkak

Katadata/Fauza Syahputra
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan pemaparan pada konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/9/2025). Kementerian Keuangan mencatat defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) per Agustus 2025 mencapai Rp 321,6 triliun atau 1,35% dari produk domestik bruto (PDB).
17/10/2025, 16.31 WIB

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka peluang penurunan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, ia menegaskan keputusan tersebut akan bergantung pada kondisi ekonomi nasional dan realisasi pendapatan negara hingga akhir 2025.

“Kami akan lihat seperti apa akhir tahun. Uang saya yang saya dapat (dari perpajakan) itu seperti apa sampai akhir tahun,” ujar Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTA, Selasa (14/10).

Jika sudah memperoleh gambaran menyeluruh, Purbaya akan menilai peluang penurunan tarif PPN, terutama jika kebijakan itu bisa meningkatkan daya beli masyarakat.

“Nanti kita lihat bisa nggak kita turunkan PPN untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan. Tapi kita pelajari dulu hati-hati,” katanya.

Dalam beberapa tahun terakhir, tarif PPN telah mengalami kenaikan bertahap. Pada 2022, tarif naik dari 10% menjadi 11%. Selanjutnya, awal 2025 pemerintah berencana menaikkan PPN menjadi 12%, namun rencana tersebut menuai kritik. Akhirnya, tarif 12% hanya diterapkan untuk barang-barang mewah.

Di tengah wacana ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyarankan agar tarif PPN diturunkan untuk mendorong konsumsi domestik.

“Saya waktu itu mengingatkan supaya (kenaikan) PPN ini ditahan benar, kalau perlu PPN kita turunkan kembali ke 10% dan kalau perlu ke 8%,” kata Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun.

Misbakhun meyakini, dengan penurunan PPN menjadi 8%, daya beli masyarakat akan meningkat.

Daya Beli vs Defisit

Meski berpotensi mendorong konsumsi, wacana penurunan tarif PPN menimbulkan dilema antara menjaga daya beli dan risiko pelebaran defisit fiskal.

Dari sisi positif, tarif pajak konsumsi yang lebih rendah dapat mendorong permintaan domestik dan memberi ruang bagi masyarakat untuk berbelanja lebih banyak. Namun, di sisi lain, kebijakan ini berpotensi memangkas penerimaan negara di tengah beban belanja yang masih tinggi.

Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai penurunan PPN ke 8% akan langsung berdampak pada konsumsi rumah tangga.

“Apalagi konsumsi rumah tangga saat ini menjadi penopang terbesar pertumbuhan ekonomi, lebih dari 53% dari produk domestik bruto (PDB),” ujar Rizal kepada Katadata.id, Jumat (17/10).

Secara teori, penurunan tarif PPN dapat meningkatkan daya beli melalui harga barang dan jasa yang lebih murah. Kebijakan itu juga bisa mendorong aggregate demand jangka pendek serta memberi sentimen positif bagi sektor ritel, manufaktur, dan perdagangan.

Namun, Rizal mengingatkan efeknya bergantung pada sejauh mana produsen menyalurkan penurunan tarif ke harga jual. “Ini bukan hanya menambah margin keuntungan,” katanya.

Risiko ke Fiskal dan Defisit

Dari sisi fiskal, Rizal menilai penurunan PPN berpotensi menggerus penerimaan negara, terutama karena PPN merupakan salah satu kontributor utama pajak nonmigas.

“Jika tidak diimbangi oleh peningkatan kepatuhan pajak, perluasan basis pajak digital dan sektor informal, serta efisiensi belanja, maka risiko pelebaran defisit menjadi nyata,” katanya.

Ia memperkirakan, penurunan dua poin persentase PPN dapat menekan penerimaan hingga ratusan triliun rupiah per tahun.

Dorong Defisit Fiskal di Atas 3%

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menilai kebijakan penurunan PPN bisa mendorong defisit anggaran melebihi batas 3%. “Secara regulasi, hal tersebut tidak diperbolehkan,” ujar Yusuf.

Yusuf menyarankan pemerintah menyiapkan strategi mitigasi yang jelas, termasuk efisiensi dan realokasi anggaran, agar defisit tidak meningkat drastis.

Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memperkirakan pemangkasan tarif PPN dapat menurunkan penerimaan hingga 27,3%, atau sekitar Rp230 triliun.

“Ini sangat signifikan di saat kondisi fiskal kita sedang berat dan presiden mempunyai beberapa program strategis yang perlu dukungan APBN,” kata Wijayanto.

Wijayanto menegaskan, Kementerian Keuangan perlu mengkaji secara mendalam sebelum memutuskan penurunan tarif PPN agar tidak memperburuk posisi defisit fiskal negara.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti