Indonesia dipercaya memegang Presidensi G20 tahun 2022 yang salah satunya fokus terkait isu penanganan krisis iklim dan mendorong ekonomi hijau. Pendanaan menjadi salah satu poin penting yang dibahas ketika mempertanyakan komitmen dan upaya setiap negara untuk melakukan transisi ke arah yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Merujuk pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi anggaran kementerian/lembaga untuk menangani perubahan iklim di Indonesia menurun, setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Pada 2018, pemerintah menganggarkan Rp 132,47 triliun (6% dari APBN) untuk perubahan iklim. Angka ini turun menjadi Rp 97,66 triliun (4% dari APBN) di 2019, dan kembali berkurang menjadi Rp 77,71 triliun (2,8% dari APBN) pada 2020.
Pemerintah tentu tidak bisa selalu mengandalkan APBN untuk membiayai upaya transisi menuju ekonomi hijau. Namun, ada cara yang bisa dimaksimalkan untuk menambah anggaran. Studi yang dilakukan International Institute for Sustainable Development (IISD) pada September 2021, menunjukkan reformasi subsidi energi dan perpajakan bahan bakar fosil bisa menghasilkan pendapatan bagi pemerintah untuk membantu masyarakat miskin dan mempercepat transisi energi.
Studi itu mengungkapkan lima rekomendasi yang dapat dijalankan pemerintah untuk memastikan anggaran negara digunakan untuk program yang berdampak positif bagi masyarakat, ekonomi, dan bumi.
Pertama, mereformasi subsidi bahan bakar minyak khususnya di sektor transportasi darat, sembari memberlakukan pajak yang tidak terlalu tinggi. Faktanya, pajak terhadap BBM ini dapat dilakukan sebelum menghapus subsidi BBM. Pajak yang lebih tinggi membuat harga energi lebih tinggi sehingga meningkatkan pendapatan dari pajak.
Menurut laporan IISD, total nilai penghematan subsidi BBM transportasi darat dan pendapatan yang dapat dihasilkan dari pajak tambahan terhadap BBM ini, dapat mencapai Rp 104 triliun per tahun. Pemerintah sebaiknya menggunakan pendapatan ini untuk memperkuat program perlindungan sosial.
Kedua, menghapus subsidi batu bara dan menerapkan pajak batu bara, sambil menargetkan pajak karbon di masa mendatang. Pajak batu bara lebih mudah dijalankan ketimbang pajak karbon. Pemerintah juga tidak perlu bernegosiasi dengan semua pelaku industri tinggi karbon kecuali yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi primer.
Tarif pajak batu bara dalam kajian IISD setara dengan tarif pajak karbon yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 30.000/ton ekuivalen emisi CO2 (Rp78.700/ton batu bara). Dengan menerapkan pajak batu bara ini, pemerintah dapat menghasilkan tambahan pendapatan sebesar Rp 49 triliun per tahun. Selain itu, pajak batu bara juga akan mendorong industri agar mengganti batu bara dengan sumber listrik yang bersih dan terbarukan.
Ketiga, pemerintah perlu bersiap mengambil kesempatan untuk mereformasi subsidi BBM ketika harga minyak internasional rendah, sehingga tidak berdampak signifikan terhadap harga jual di konsumen. Harga minyak internasional yang rendah akan menurunkan biaya pokok produksi BBM sehingga pemerintah dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan subsidi BBM tanpa mempengaruhi harga BBM yang berlaku.
Sebagai ilustrasi, ketika harga minyak internasional tinggi, maka pemerintah memberikan subsidi BBM yang dijual kepada masyarakat sehingga harga BBM dapat terjangkau. Namun, ketika harga minyak internasional turun, pemerintah menetapkan harga BBM tanpa memberikan subsidi karena harga BBM masih dapat terjangkau oleh masyarakat. Pada saat yang sama, pemerintah harus mengkomunikasikan kepada publik untuk menjelaskan reformasi harga dan manfaatnya, demi meminimalisasi protes ketika harga kembali naik.
Keempat, mempertimbangkan kembali kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara. Kebijakan DMO batu bara saat ini yang dipatok dengan harga US$ 70 per ton menyembunyikan harga listrik sesungguhnya. Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA) 2021, biaya untuk menghasilkan listrik per kWh (levelized cost of electricity/LCOE) dari panel surya dan pembangkit tenaga angin di tingkat global sudah jauh lebih rendah yakni hanya US$ 0,03/kWh.
LCOE ini lebih rendah dibandingkan PLTU batu bara bersubsidi di Indonesia, yakni US$ 0,08/kWh. Sementara itu di Indonesia, biaya energi terbarukan masih cukup tinggi. Tarif PLTS di bawah 10 MW misalnya kini dipatok US$ 0,1015 per kWh.
Mereformasi kebijakan DMO bisa mengungkapkan biaya sesungguhnya dari PLTU, menyediakan arena persaingan yang setara dengan energi terbarukan, dan mengakselerasinya sebagai bagian dari pemulihan ekonomi Indonesia.
Kelima, menggunakan uang yang didapat dari pajak dan reformasi subsidi untuk membantu orang miskin, mempercepat pemulihan ekonomi, dan membiayai transisi energi. Harga energi yang lebih tinggi akan berdampak langsung kepada konsumen miskin dan industri. Pemerintah dapat menggunakan uang yang dikumpulkan tersebut untuk merumuskan kebijakan mitigasi bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan yang menderita akibat kenaikan harga dengan cara memperkuat sistem perlindungan sosial.
Pemerintah juga dapat mempromosikan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan sekaligus memastikan transisi energi dilakukan secara adil. Pemerintah perlu mempertimbangkan kepentingan masyarakat serta para pekerja yang ada di industri fosil. Transisi ini harus melibatkan seluruh pihak sehingga tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal.
Menjadi penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan berbagai opsi dalam meningkatkan pendapatan negara dalam rangka pencapaian target iklim. Langkah kebijakan yang diambil pemerintah saat ini menjadi sorotan dunia internasional mengingat Indonesia sedang memegang jabatan sebagai Presiden G20.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.