Terakhir, masalah struktur biaya. Biaya produksi produk di sini sangat mahal, bahkan lebih mahal dari Negeri Tirai Bambu setelah kena tarif perang dagang.
Hal ini, menurut Shinta, berbeda dengan India dan Vietnam yang diversifikasi industri dan produk ekspornya sudah lebih baik dari Indonesia. “Mereka lebih terbuka dengan investasi berbagai sektor industri dan regulasi pendukung ekspornya juga lebih sinkron dan mendukung,” katanya.
(Baca: Sejarah Perang Mata Uang, Sejak Depresi Besar hingga AS vs Tiongkok)
Karena itu, pemerintah dinilai sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun ini maupun tahun depan, tanpa perubahan kebijakan di bidang investasi yang signifikan. Sebelumnya, sejumlah menteri ekonomi mengaku pesimistis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% pada 2019 dapat tercapai.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah Redjalam menilai berbagai insentif pajak yang tengah digelontorkan pemerintah tak akan banyak mendorong investasi sepanjang tak ada perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan yang ia maksud mencakup pembebasan lahan, konsistensi kebijakan, koordinasi pusat dan daerah, serta terkait pengupahan.
Belajar dari Vietnam
Mau-tak mau sepertinya Indonesia perlu belajar dari Vietnam. Reformasi industri di negara itu berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sana.
Resepnya sederhana, bahkan sebenarnya mirip dengan visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pemerintahan keduanya nanti. Pengembangan sumber daya manusia dan menggenjot infrastruktur. Tapi Vietnam telah lebih dulu melakukannya.
Hal ini membuat ekonominya kinclong meskipun terjadi perang dagang. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonominya dapat mencapai angka 6,6%. Nilainya jauh lebih tinggi daripada kawasan Asia Timur dan Pasifik, bahkan Tiongkok yang diperkirakan hanya 6,2%.
Menurut laporan World Economic Forum 2018, beberapa tahun lalu Vietnam melakukan investasi besar untuk pendidikan dasar bagi penduduknya. Selain itu, aliran modal juga banyak masuk ke infrastruktur. Fokus utamanya, yaitu menyediakan akses internet yang murah.
(Baca: RI Kalah Saing dari Vietnam Gaet Peluang Perang Dagang AS-Tiongkok)
Vietnam juga melakukan perjanjian dagang dengan banyak negara. Yang paling menguntungkan adalah kerja sama dengan negara-negara Trans-Pasifik (TPP). Dengan mudah AS menjadi negara tujuan ekspor terbesar dari Vietnam.
Nike yang dulu lebih banyak diproduksi di Tiongkok dan Indonesia, posisinya telah bergeser. CNBC melaporkan pada pekan lalu, produksi dari Vietnam mendominasi penjualan sepatu berlogo centang itu pada tahun lalu.
Lokasi Vietnam yang dekat dengan Negeri Panda juga menjadi nilai plus. Ketika perang dagang terjadi, banyak perusahaan memindahkan lokasi pabriknya dari Tiongkok ke Vietnam. Selain jaraknya terjangkau, pajak dan upah buruh juga jauh lebih murah di sana.
(Baca: Imbas Perang Dagang, Pengusaha Khawatir Menghantam Ekspor Manufaktur)
Perusahaan elektronik Jepang dan Korea, seperti Samsung, LG, Olympus, dan Pioneer, beserta produk tekstil Eropa dan AS telah memindahkan pabriknya di sana. Pada 2017, Financial Times melaporkan, Vietnam menjadi negara pengekspor tekstil terbesar di ASEAN dan barang elektronik kedua terbesar setelah Singapura.
Perbandingan ekspor dan impor Indonesia dengan Vietnam bisa terlihat pada tabel berikut ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sempat menyinggung birokrasi Tanah air yang menjadi faktor pertimbangan investor datang ke sini. Upaya pemerintah dalam memperbaiki hal itu belum membuahkan hasil.
Apalagi perang dagang saat ini sangat mempengaruhi minat investor. “Jadi, kalau kondisi ekonomi dunia melemah, memang akan memperlemah minat investasi di mana-mana,” kata Sri Mulyani pada bulan lalu.
Kemudahan berusaha di Indonesia, menurut Bank Dunia, masih kalah dengan negara lain. Prosedur yang harus dilewati pengusaha mencapai 10 tahapan dengan estimasi waktu 19,6 hari. Sementara, di Singapura hanya perlu 1,5 hari. Vietnam sudah mempersingkat prosedur berusaha menjadi delapan tahapan dengan estimasi waktu 17 hari.
(Baca: Contoh Vietnam, Chatib Basri Dorong Reformasi untuk Pacu Ekonomi)