Pelajaran dari Pemulihan Krisis 1998/1999
Pengalaman Indonesia menghadapi krisis terburuk adalah pada 1998/1999 atau kerap disebut sebagai krisis moneter. Saat itu menurut data Bank Indonesia pada 1999, akibatnya pendapatan per kapita terpuruk dari US$ 980 pada 1997 menjadi sekitar US$ 500 pada 1999 atau setara pendapatan per kapita sekitar tahun 80-an. Laju pertumbuhan ekonomi -13,4% di akhir 1998 dibandingkan pada 1995 yang sebesar 8,2%. Pada kuartal I 1999 juga masih terkontraksi sebesar 6,13%.
Krisis saat itu dipicu oleh efek domino kondisi ekonomi negara ASEAN, yakni Thailand dan Malaysia yang mata uangnya melemah pada 1997 akibat ulah para spekulan menarik uang. Pertengahan 1997 Indonesia akhirnya ikut terdampak. Spekulan menarik uang dan kurs rupiah mulai mengalami depresiasi dan semakin diperparah dengan gejolak politik pemilu saat itu. Januari 1998 depresiasi rupiah sebesar 265% dibandingkan bulan sebelumnya. Akhirnya pada Juni 1998 mata uang dalam negeri menyentuh Rp 15.000 per US$ atau tujuh kali lipat dari sebelum periode krisis.
Perbankan pun akhirnya terpukul saat itu. Banyak bank mengalami kekurangan likuiditas dan tutup karena banyak nasabah menarik uang atau rush money. Ditambah pula beban utang luar negeri yang besar. Per Juli 1999 jumlah utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 150 miliar, salah satu yang terbanyak dibandingkan negara dunia ketiga lainnya.
Data Bank Dunia pun menyatakan pada 1999 utang per kapita rata-rata US$ 377, sedangkan pendapatan per kapita di periode sama US$ 425. Hal ini membuat rasio pembayaran utang atau debt service ratio (DSR) Indonesia saat itu mencapai 54%.
Guna melakukan pemulihan ekonomi saat itu pemerintah melakukan beragam kebijakan yang tertuang dalam paket reformasi ekonomi, yakni penyehatan sektor keuangan, pembenahan fiskal dan moneter, serta penyesuaian struktural yang mencakup penurunan tarif beberapa sektor industri dan pertanian.
Realisasinya adalah dengan penerbitan sejumlah peraturan, di antaranya SK Menteri Keuangan Nomor 15/KMK.017/1998 tentang pencabutan pembatasan pembukaan cabang bank campuran dan cabang pembantu bank asing, SK Menteri Keuangan Nomor 16/KMK/01/1998 tentnag penurunan bea masuk beberapa produk pertanian, menurunkan tarif seluruh produk makanan maksimal 5%, dan SK Nomor 17/KMK/01/1998 tentnag penurunan bea masuk atas impor produk tertentu.
(Baca: Jalan Panjang dan Berliku Memburu Pajak Digital Asing)
Bhima menyatakan skema pemulihan saat krisis 1998/1999 tak bisa digunakan untuk saat ini karena kondisinya berbeda. Krisis saat ini menurut mereka lebih rumit, yakni ditambah kesehatan dan pengalaman untuk itu. Namun, pelajaran yang bisa diambil dari pemulihan krisis moneter adalah kebijakan harus dilakukan secara luar biasa dan tepat sasaran. Dua hal itu yang belum terjadi saat ini.
“Yang paling penting, 1999 kenapa bisa kembali pulih, ada perombakan di tim ekonomi. Untuk meningkatkan trust. Termasuk melakukan perbaikan komunikasi publik,” kata Bhima.
(Baca: Utang Jumbo Pemerintah Buntut Stimulus Pandemi Corona)
Kebijakan yang tak tepat sasaran menurut Bhima salah satunya stimulus ke UMKM yang berkontribusi besar ke perekonomian dan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Subsidi bunga kredit yang mencapai Rp 35,28 triliun kepada 60,66 juta rekening belum sepenuhnya bisa dinikmati UMKM.
Data INDEF menyatakan, dari 64.194.057 pelaku UMKM baru 12.673.609 atau sekitar 19,74% yang berpotensi mendapatkan bantuan. Hal ini karena akses untuk mendapatkan permodalan dari bank, KUR, dan lain-lain selama ini masih diprioritaskan kepada UMKM yang telah terbukti performanya. Sehingga, yang mendapat akses permodalan itu-itu saja. Dari bahan Kemenkeu juga terlihat progres stimulus ke UMKM dari total anggaran Rp 123,46 triliun masih 0,06%.
Selanjutnya adalah bahaya terbelit utang jumbo luar negeri yang bisa mengembalikan masalah krisis moneter akibat pemenuhan sumber stimulus. Data Bank Indonesia pada April 2020 mencatat posisi utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 400,2 miliar atau tumbuh 2,9% yoy dan lebih tinggi 0,6% dibanding Maret 2020. DSR terhadap PDB pada kuartal I pun mencapai 27,6% dibanding kuartal IV 2019 yang sebesar 18%. Angka DSR tersebut sudah setengah dari saat krisis moneter.
“Selain utang publik juga utang swasta karena ada gelombang default yang harus diantisipasi. Waktu itu kami rekomendasikan belanja negara yang tak penting. Ini banyak kementerian yang jumbo dipotongnya kecil,” kata Bhima.
Bahan Kemenkeu APBN KiTa per 31 Mei menyatakan kontrak belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 87,06 triliun. Menurun dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 159,81 triliun. Penurunan ini karena pemangkasan anggaran di Perpres 54/2020, misalnya Kemenhan yang semula Rp 131,18 trilun menjadi Rp 122,45 triliun. Sementara Kemenkes bertambah menjadi Rp 76,55 triliun dari Rp 57,40 triliun.
DPR Dorong Pemerintah Evaluasi Stimulus
Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin terkait kondisi saat ini mendorong pemerintah terus mengevaluasi stimulus yang terlah diberikan. Khususnya kepada UMKM yang berpeluang membangkitkan perekonomian nasional.
“Hasil evaluasi ini penting bagi kelangsungan dak efektivitas segala bentuk stimulus yang akan berlangsung pada triwulan III dan IV,” kata Puteri kepada Katadata.co.id, Rabu (17/6) malam.
Politikus Golkar ini pun meminta kepada pemerintah tetap menggenjot percepatan penanganan pengendalian di bidang kesehatan. Karena, kesehatan adalah paling penting dalam pemulihan krisis saat ini yang diakibatkan pandemi covid-19. Terlebih saat ini pemerintah sudah menetapkan kenormalan baru dan terdapat potensi gelombang kedua pandemi.
Potensi gelombang kedua pandemi memang nyata. Sejak pemerintah berangsur melakukan kenormalan baru atau new normal awal bulan ini, angka kasus positif corona harian belum menunjukkan melandai, bahkan menyentuh seribu orang seperti pada 10 Juni yang mencapai 1.240 orang dan pada 18 Juni menyentuh 1.331 orang. Total kasus corona saat ini 42.762 orang dengan 16.798 orang sembuh dan 2.339 meninggal dunia.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin menyatakan, pemerintah tetap optimis pertumbuhan ekonomi akan meningkat di kuartal III dan IV. Alasannya karena PSBB sudah mulai dilepaskan dan aktivitas ekonomi sudah berjalan.
“Memang tidak akan kembali seperti sebelum covid dalam satu kuartal, akan tetapi kami melihat mulai berangsur-angsur membaik kalau dibandingkan kuartal II,” kata Masyita kepada Katadata.co.id, Rabu (17/6).
(Baca: Keraguan Kucuran Aneka Bansos Bisa Meredam Kemiskinan)
Masyita pun mengimbau kepada masyarakat agar lebih disiplin menjalankan protokil covid-19 demi mencegah potensi gelombang kedua pandemi. Sehingga, perekonomian Indonesia bisa cepat lepas dari kondisi buruk saat ini. Pemerintah pun, kata dia, akan terus mengoptimalkan stimulus UMKM, bantuan sosial, dan penanganan kesehatan.
“Apakah menambah utang? Tentu, tapi kami melihat debt ratio Indonesia masih cukup sehat. Pemerintah dalam UU 2/2020 juga bisa melebihi defisit 3% hanya 3 tahun ini. Ini pemerintah betul-betul berkomitmen kembali ke disiplin fiskal,” kata Masyita.