Rumitnya Menyambung Napas Industri Pariwisata saat Pandemi

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.
Ilustrasi wisata Kawah Putih, Ciwidey. Fase new normal belum berhasil menggerakkan industri pariwisata nasional karena beragam kendala. Masa depannya pun masih buram.
16/7/2020, 13.57 WIB

Pemerintah mulai menerapkan fase kenormalan baru atau new normal pada Juni lalu, termasuk secara berangsur membuka kembali destinasi wisata. Namun langkah ini belum sepenuhnya berdampak pada industri pariwisata nasional yang terpukul pandemi virus corona. Masa depan sektor ini pun masih buram.

Industri pariwisata sudah merasakan pukulan pandemi virus corona sebelum pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 1 April melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Hal ini terlihat dari data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang diterima Katadata.co.id pada 7 April, yakni sebanyak 10.946 usaha pariwisata telah terdampak dan 30.421 tenga kerja wisata kehilangan pekerjaan.  

Pukulan juga terlihat dari bisnis hotel yang menjadi bagian industri ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, okupansi hotel berbintang pada Mei sebesar 14,45%. Ini jauh lebih kecil dibandingkan bulan sama tahun sebelumnya yang sebesar 43,53%. Sementara Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat 2.000 hotel dan 8.000 restoran berhenti beroperasi selama PSBB.

(Baca: Turis Asing Anjlok Saat Pandemi, Bisnis Pariwisata Rugi Rp 85 Triliun)

Penurunan omzet maskapai penerbangan pun mempertegas pukulan terhadap industri pariwisata. PT Garuda Indonesia Tbk misalnya, dalam laporan keuangannya yang dirilis 1 Juli lalu mencatat penunuran pendapatan sebesar 30,1% pada kuartal I 2020 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Maskapai pelat merah ini hanya mencetak omzet US$ 768,12 juta pada triwulan pertama tahun ini, menurun dari US$ 1,09 miliar pada periode sama di 2019.

Turbulensi pendapatan Garuda Indonesia itu termasuk dipengaruhi segmen penerbangan berjadwal. Pendapatan segmen ini pada kuartal I 2020 sebesar US$ 654,52 juta atau turun 29,2% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Namun, fase new normal yang telah berjalan sebulan dengan pelonggaran pembatasan perjalanan dan pembukaan sejumlah destinasi wisata tak banyak mengubah kondisi tersebut.

Jubir Satgas Covid-19 Kemenparekraf, Ari Juliano pada 22 Juni lalu kepada Katadata.co.id justru menyatakan tenaga kerja pariwisata terdampak kian meningkat, mencapai lebih 200 ribu. Ini mengindikasikan lebih banyak pelaku usaha terdampak, meskipun Kemenparekraf mengaku belum bisa mendatanya secara pasti.

(Baca: Tiga Pekan Beroperasi, Pengunjung Lokasi Wisata di Jakarta Baru 30%)

Pedagang menunggu pembeli di Pasar Seni Kuta, Bali. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/aww.)

Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani pun menyatakan okupansi hotel di daerah yang telah melonggarkan PSBB masih rendah. Rinciannya di Jakarta dan Semarang okupansi hotel masih di kisaran 15%; Surabaya, Yogyakarta, dan Medan baru 10%; Makassar sekitar 6%; Batam sekitar 3%; dan Bali yang menjadi salah satu destinasi wisata utama Indonesia hanya 1%. Secara nasional rata-rata okupansi masih sekitar 10-20%.

“Data ini merupakan update sampai pukul 07.00 WIB pagi tadi,” kata Hariyadi dalam Rapat Dengar Pendapat virtual bersama Komisi X DPR RI, Selasa (14/7).

DKI Jakarta yang mulai membuka destinasi wisatanya pada 20 Juni juga belum mencatatkan peningkatan kunjungan wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta Cucu Ahmad pada 13 Juli menyatakan kunjungan wisatawan selama tiga pekan awal beroperasi baru mencapai 20-30%.

(Baca: Tumbangnya Bisnis Perjalanan dan Wisata Bali Terpapar Covid-19)

Taman Impian Jaya Ancol adalah salah satu tempat wisata yang belum banyak menerima kunjungan wisatawan. Cucu menyatakan lokasi ini baru menerima rata-rata kunjungan harian sebanyak 2.000 orang di hari biasa dan 4.000 orang di akhir pekan dari kapasitas maksimal 20.000 orang.

Belum bergeraknya industri pariwisata juga terlihat dari masih minimnya perjalanan dengan pesawat. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra pada 13 Juli lalu menyatakan peningkatan penumpang di masa new normal hanya 16%.

Sementara rata-rata penumpang per penerbangan belum juga mencapai 50%, meskipun Kemenhub telah mengizinkan mengangkut penumpang sampai 70%. “Rute yang biasanya ramai seperti Denpasar, kini sepi,” kata Irfan.

Terpengaruh Kondisi Buruk Perekonomian

Peneliti Senior INDEF, Nawir Messi menilai masih melempemnya industri pariwisata karena kondisi perekonomian secara umum belum membaik. Hal ini tercermin dari peningkatan jumlah pengangguran yang berbanding lurus dengan penurunan penghasilan dan konsumsi masyarakat.  

BPS pada Februari lalu mencatat angka pengangguran bertambah 60 ribu orang menjadi 6,68 juta orang. Sementara Kemenaker per 2 Juni merangkum tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan sebanyak 3,05 juta orang dan diproyeksikan mencapai 5,23 juta orang.

(Baca: Fase Rawan Baru Bagi Bisnis di Kala Pandemi Corona Makin Memburuk)

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memproyeksikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) akibat covid-19 pada perhitungan dasar sebesar 5,18%. Sedangkan pada perhitungan berat dan sangat berat masing-masing sebesar 7,33% dan 9,02%. Selengkapnya bisa disimak dalam Databoks di bawah ini:

Survei BPS yang dirilis pada 1 Juni terhadap 87.379 responden mendapatkan hasil 35,78% mengaku mengalami penurunan penghasilan. Penurunan pendapatan paling besar dirasakan responden berpenghasilan Rp 1,8 juta, yakni sebanyak 70,53%. Disusul responden berpendapatan Rp 1,8 juta-Rp 3 juta sebanyak 46,77%.

(Baca: Pakai Istilah New Normal, Masyarakat Justru Langgar Protokol Covid-19)

Menkeu Sri Mulyani pun pada 18 Juni lalu memproyeksikan konsumsi rumah tangga di kuartal II tahun ini hanya 0%. Angka ini jauh dari data BPS kuartal I sebesar 2,84% yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya 2,97% mengingat sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap PDB hampir 60%.

“Jadi kalau pendapatan Anda berkurang, yang akan Anda cut pertama adalah rekreasi. Kedua secondary need, lalu mengurangi konsumsi makanan,” kata Nawir kepada Katadata.co.id, Rabu (15/7).

(Baca: Pendapatan Anjlok 30%, Garuda Merugi Lagi Rp 1,7 Triliun di Kuartal I)

Sedangkan kelas menengah atas yang menurut data BPS pada 2015 mendominasi konsumsi kesenangan atau leisure seperti wisata memilih tetap berdiam di rumah demi menghindari tertular virus corona.

Hal sama dilakukan orang-orang yang masih memiliki pekerjaan. Ia menyebut perilaku ini sebagai wait and see.. Inilah yang membuat mobilitas masyarakat tak meningkat selama masa new normal, termasuk ke tempat wisata.

Pernyataan Nawir tersebut selaras dengan data Google Mobility Report per 10 Juli. Secara nasional, mobilitas masyarakat ke ritel dan tempat rekreasi -18%, ke taman -19%, ke tempat transit seperti terminal dan stasiun -36%, ke tempat kerja -22%, dan ke toko obat dan toko bahan pokok -4%.

Sebaliknya, mobilitas di wilayah hunian meningkat 12%. Peningkatan dan penurunan mobilitas dibandingkan baseline data pergerakan pada 3 Januari-6 Februari 2020.    

(Baca: Dampak Pandemi, Ekonom Nilai Indonesia Sudah di Ambang Resesi)

Di tempat wisata seperti Bali, peningkatan mobilitas juga hanya tercatat di wilayah hunian sebesar 16%. Mobilitas masyarakat ke ritel dan tempat rekreasi -36%, ke toko bahan pokok dan obat-obatan -29%, ke taman -47%, ke tempat transit -73%, dan ke tempat kerja -34%.

“Tapi saya yakin kalau stimulus ekonomi cepat terserap, maka akan semakin lekas pulih. Karena permintaannya akan tumbuh,” kata Nawir.  

Masalah Perjalanan Dinas Pemerintah 

Sekjen PHRI, Maulana Yusran menilai industri pariwisata bukan hanya seputar perjalanan ke tempat objek wisata, melainkan juga perjalanan bisnis. Dari perjalanan bisnis tersebut yang terbanyak menyumbang adalah perjalanan dinas pemerintah ke daerah, khususnya untuk okupansi hotel dan restoran.

Maulana menjelaskan biasanya okupansi hotel meningkat mulai memasuki semester kedua sampai akhir Desember. Sebab, pemerintah mulai mencairkan anggaran dan kegiatan di daerah yang mendorong pelaksanaan perjalanan dinas. Mereka menyewa hotel untuk menginap dan melakukan kegiatan seperti workshop dan seminar.

Berdasarkan data BPS pada 2019, rata-rata okupansi bulanan hotel berbintang pada periode Juli-Desember sebesar 56,55%. Sementara rata-rata okupansi di enam bulan sebelumnya sebesar 51,14%.  

“Okupansi kami di hari kerja paling banyak dari perjalanan dinas pemerintah, baru akhir pekan leisure,” kata Maulana kepada Katadata.co.id, Rabu (15/7) malam. “Ini yang tidak terjadi karena sempat dibatasi,” imbuhnya.

(Baca: Imbas Fase Normal Baru, Konsumsi BBM di Solo Raya Naik 20%)

Lombok masuk 10 pulau terbaik Asia. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww.)

Menurut Maulana, perjalanan dinas pemerintah belum maksimal dalam masa new normal.. Padahal, Menpan RB baru saja mengizinkan perjalanan dinas ASN pada 17 Juli lalu melalui Surat Edaran Nomor 64 Tahun 2020.

Persoalannya, masih ada kementerian dan lembaga yang tetap memangkas anggaran perjalanan dinasnya.  Katadata.co.id mencatat Kemendikbud adalah salah satu yang tetap memangkas anggaran perjalanan dinasnya.

Dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR RI, Rabu (15/7), Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan memangkas anggaran perjalanan dinas sebesar Rp 5 triliun untuk dialihkan kepada penanganan virus corona. Pemangkasan ini pun telah disetujui oleh Komisi X DPR yang membidangi pendidikan.

Maulana menyatakan, pebisnis hotel dan restoran memang tidak bisa menghalangi kementerian memangkas anggaran perjalanan dinasnya. Namun ia berharap dengan sisa anggaran yang tersedia bisa dimaksimalkan untuk membuat kegiatan di hotel dan restoran demi meningkatkan okupansi di masa new normal.

“Kalau itu semua dilakukan di sisa tutup tahun 2020 sangat membantu. Enam bulan bisa recovery,” katanya.

Strategi Pemulihannya

Kemenparekraf memandang belum pulihnya industri wisata saat new normal karena pembukaan tempat wisata masih bergantung kepada penetapan zonasi oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Hanya tempat wisata di zona hijau dan kuning yang boleh membuka destinasi wisata. Sementara, daftar zona tersebut terus berubah dari waktu ke waktu.

“Jadi sekarang sporadis. Ada yang sudah buka lalu tutup lagi karena daerahnya berubah dari zona kuning ke merah,” kata Jubir Satgas Covid-19 Ari Juliano kepada Katadata.co.id, Rabu (15/7) malam.

Ari memisalkan Kementerian KLHK yang sudah mengumumkan 29 taman wisata siap dibuka pada 23 Juni lalu melalui Keputusan Menteri LHK Nomor SK.261/MENLHK/KSDAE/KSA.0/6/2020. Keputusan tersebut tidak bisa berjalan karena lokasi taman wisata masih ada yang berada di zona merah.

“Seperti Jawa Timur itu beberapa kabupaten sudah masuk zona kuning, tapi secara provinsi masih merah. Banyuwangi siap, tapi kami masih lihat perkembangannya,” kata Ari.

Taman wisata yang berada di Jawa Timur antara lain: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Pasuruan, Taman Nasional Alas Purwo di Banyuwangi, Taman Nasional Meru Betiri di Jember, dan Taman Wisata Alam Kawah Ijen di Bondowoso.

(Baca: Pemerintah Buka Kembali Objek Wisata Alam, Ini Protokol Kesehatannya)

Lebih lanjut, Ari menyatakan Kemenparekraf juga telah menyusun strategi untuk menggeliatkan lagi industri pariwisata. Saat ini yang dilakukan adalah melakukan simulasi pelaksanaan protokol kesehatan di daerah-daerah wisata. Tujuannya agar pengelola wisata bisa bersiap lebih dini dan memancing kepercayaan publik untuk berkunjung.

Kemenparekraf juga akan lebih fokus menggarap promosi kepada wisatawan domestik sampai akhir 2020. Hal ini lantaran masih banyak negara yang mengalami gelombang kedua virus corona dan masih menerapkan pembatasan perjalanan. Begitupun Indonesia yang masih menerapkan pembatasan kedatangan, seperti dari Singapura.

“Promosi luar negeri dijadwalkan tahun depan dengan harapan vaksin sudah ditemukan dan kondisi negara lain membaik,” kata Ari.

Selain itu, kata Ari, pemerintah juga menyiapkan stimulus kepada industri pariwisata dengan total anggaran sebesar Rp 3,8 triliun. Angka ini pun masih bisa bertambah menyesuaikan kebutuhan di lapangan yang saat ini masih dalam pendataan oleh Kemenparekraf. Rincian stimulus bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

Pemerintah Harus Pikirkan Desain Ekonomi Baru

Wajar bila pemerintah menggelontorkan dana besar untuk menstimulus industri pariwisata. Pada 2018, menurut data Kemenparekraf, industri ini menyumbang Rp 270 trilun dan meningkat menjadi Rp 280 triliun pada tahun setelahnya kepada devisa negara. Peningkatan tersebut salah satunya dipengaruhi 16,3 juta kunjungan wisatawan asing pada 2019. Industri ini pun berkontribusi sebesar 5,5% terhadap PDB dan menyerap lebih kurang 13 juta orang tenaga kerja.

Sumbangan industri pariwisata terhadap devisa negara dari tahun ke tahun bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

(Baca: Menhub: Pelonggaran Transportasi Akan Jadi Stimulus Pariwisata)

Peneliti Senior CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam menilai pemerintah tak bisa menunggu dan berharap pada pemulihan industri pariwisata. Alasannya pemulihan pariwisata masih belum bisa diproyeksikan sampai beberapa tahun ke depan alias masih buram. Mengingat pariwisata berkelindan dengan perilaku pergerakan manusia yang juga belum dapat diprediksi usai pandemi covid-19.

“Sekarang kita berada di fase II, hidup dengan covid dan menuju fase III penyelesaian setelah vaksin. Tapi apakah masyarakat masih minat berwisata? Belum bisa diprediksi,” kata Piter kepada Katadata.co.id, Rabu (15/7).

Alih-alih berharap kepada industri pariwisata akan berjalan sama seperti sebelum pandemi dan memberikan stimulus keuangan, Piter menyarankan pemerintah memperbaiki desain ekonomi guna menambal devisa negara yang bocor. Pemerintah mesti mencari sektor lain yang lebih berpeluang pulih lebih cepat dan mencetak pendapatan besar setelah pandemi.

“Di bawah Kemenparekraf ada restoran dan perhotelan, harus ada produk baru. Harus mencari desain agar mereka bisa survive,” kata Piter.

Namun, Piter mengaku saat ini belum bisa mengungkap desain baru bagi industri pariwisata. Ia hanya mengatakan, “ini tantangan Kemenparekraf.”

Reporter: Tri Kurnia Yunianto