Badai Supersiklus Komoditas yang Picu Krisis Energi Dunia

123rf.com/pitinan
Ilustrasi krisis energi akibat kenaikan harga komoditas.
Penulis: Sorta Tobing
8/10/2021, 13.38 WIB
  • Krisis energi telah meluas dari Inggris, Tiongkok, Korea Selatan, hingga India.
  • Momentum pemulihan ekonomi di tengah pandemi diperkirakan akan terhambat.
  • Penekanan pada revolusi hijau dan transisi energi mendorong kenaikan bahan bakar fosil. 

Dunia sedang tidak baik-baik saja. Setelah pandemi, kini krisis energi besar pertama di era transisi dari bahan bakar fosil ke energi bersih datang. Kondisi ini diperkirakan baru permulaan dan bukan yang terakhir. 

Perdana Menteri Boris Johnson pada pertengahan bulan lalu sempat sesumbar di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Ketika Kermit Si Katak menyanyikan It’s Not Easy Being Green, saya ingin Anda tahu bahwa dia salah,” ucapnya, dikutip dari Reuters.

Kermit adalah karakter boneka kodok berwarna hijau yang muncul dalam serial televisi anak-anak, The Muppet Show. Konteks hijau dalam pernyataan Johnson adalah transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan (EBT). 

Beberapa hari setelah komentarnya tersebut, Inggris mengalami krisis. Pembangkit listrik hijaunya tidak bisa memasok maksimal kebutuhan setrum di sana. Di sisi lain harga gas sedang menjulang tinggi dan pasokannya berkurang.

Pemerintah di sana akhirnya memilih keputusan paling ekonomis, memakai lagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Inggris berjanji komitmen transisi energi tetap berjalan dengan pemakaian batu bara tidak lebih dari 3% dari jumlah pembangkit terpasang. 

Masalahnya, harga gas alam yang tinggi diperkirakan akan bertahan hingga tahun depan. Angkanya telah naik lima kali lipat dan kemungkinan akan terus naik hingga musim semi tahun depan. 

Sebagai informasi, sejak 2012 Uni Eropa memasukkan bahan bakar gas sebagai energi hijau. Gas dinilai menghasilkan lebih sedikit karbon dioksida dibandingkan batu bara dan minyak. The Guardian menulis, keputusan ini merupakan hasil 18 bulan lobi intensif para pelaku industri gas.

Melansir dari The Independent, Inggris sangat rentan terhadap lonjakan harga gas dibanding negara Eropa lainnya. Lebih dari 40% pembangkitnya memakai energi fosil tersebut. Di sisi lain, kapasitas penyimpanannya minim. Para ekonom menyebut masalah yang terjadi sangat akut. 

Sedangkan di Jerman hanya 17% pembangkitnya bertenaga gas dan Prancis 7%. Sisanya adalah pembangkit energi terbarukan, seperti tenaga angin, nuklir, dan matahari.

Rusia dan Amerika Serikat berjanji akan mengisi kekurangan gas di Inggris. Cadangannya kini sekitar 72%, jauh di bawah rata-rata lima tahun terakhir yang sebesar 88%.

Seluruh kondisi ini membuat harga listrik akan naik. Tagihan setrum di Inggris bisa naik 30% pada tahun depan jika harga gas  terus melonjak.

Para pelaku industri mendesak pemerintah dan regulator gas serta listrik Inggris, Ofgem, untuk menerapkan tindakan darurat pada musim dingin. “Masalahnya bukan hanya pasokan gas dan listrik tersedia, tapi juga harga,” kata Ketua Grup Pengguna Energi Intensif (EIUG) Dr. Richard Leese, Kamis (7/10). 

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Krisis Energi di Asia

Batu bara pun sepertinya tidak akan menutup celah kekurangan pasokan listrik di Inggris. Harganya telah naik menyusul sinyal dari Tiongkok yang akan melakukan impor lebih banyak.

Tak lama setelah Inggris, Negeri Panda menghadapi krisis energi karena pasokan batu bara yang menipis. Masalah muncul karena gangguan di pertambangan yang menyeret jumlah produksi ke bawah tingkat tahun lalu. 

Produksi yang rendah memicu kenaikan tajam harga batu bara. Dalam catatan Reuters, harganya telah mencapai rekor tertinggi. Lonjakannya mencapai lebih dari 80% pada tahun ini. 

Masalah lainnya, Beijing menetapkan harga listrik untuk warganya. Hal ini membuat pembangkit batu bara tidak dapat beroperasi secara ekonomis. 

Pemerintah di sana terpaksa melakukan pembatasan penggunaan energi. Aktivitas ekonomi menjadi menyusut. Goldman Sachs memperkirakan sebanyak 44% pelaku industri Tiongkok mengalami kekurangan listrik saat ini. Pemadaman listrik terjadi, terutama di wilayah timur laut negara tersebut.

Pemerintah Tiongkok pada Senin lalu mengatakan perusahaan listrik berbahan bakar batu bara sedang memperluas pengadaan pasokan dengan biaya berapa pun. Namun, para pedagang komoditas menyebut menemukan sumber impor lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. 

Masalah peningkatan harga komoditas untuk pembangkit mulai merembet ke negara lain. Korea Selatan dan India mulai mengalami kekurangan pasokan. Padahal, aktivitas ekonomi sedang naik seiring dengan pelonggaran kebijakan Covid-19. 

Perusahaan listrik terbesar di Negeri Ginseng, Korea Electric Power Corporation (Kepco), akan menaikkan harga. Kenaikan ini, melansir dari South China Morning Post, merupakan yang pertama sejak delapan tahun terakhir. Langkah tersebut untuk mengatasi lonjakan harga gas alam cair (LNG). 

Korea Selatan mengandalkan impor energi hampir 93,5% dari kebutuhan domestiknya. Bauran energinya saat ini terdiri dari LNG 17,7%, minyak bumi 38,7%, batu bara 27,1%, nuklir 10,3%, dan energi terbarukan 6,2%

Lalu, India juga mengalami kekurangan pasokan batu bara. Padahal aktivitas ekonomi di negara itu mulai pulih usai dihantam gelombang kedua pandemi corona pada pertengahan tahun ini. 

Para ahli mengatakan Eropa akan mengalami pemadaman listrik di bulan-bulan musim dingin. Pabrik-pabrik di Tiongkok dapat berhenti beroperasi. Semua skenario ini akan memperlambat momentum pemulihan ekonomi di tengah pandemi. Inflasi diperkirakan akan melonjak. 

Ekonom OCBC Bank Howie Lee mengatakan krisis energi akan memliki efek beriak di seluruh dunia. “Banyak negara sedang bergulat dengan biaya input yang lebih tinggi,” katanya. 

Singapura sejak Juli lalu telah menaikkan tarif listriknya sekitar 3,8%. Ini baru listrik. Belum lagi harga bahan bakar minyak atau BBM. Malaysia dan Singapura mulai mengalami peningkatan harga bensin. 

Era Supersiklus Komoditas

Kenaikan harga komoditas saat ini sudah terprediksi sebelumnya oleh para analis. Perusahaan investasi Goldman Sachs pada awal tahun ini memprediksi akan terjadi supersiklus (supercycle) baru komoditas.

Pandemi Covid-19 menjadi pemicunya. “Melihat yang terjadi pada 2020, kami percaya kekuatan struktural yang serupa dengan (kenaikan) harga komoditas pada 2000-an dapat terjadi,” tulis hasil analisis Goldman Sachs, dikutip dari Reuters

Pada awal abad ke-21 terjadi lonjakan harga logam karena naiknya permintaan. Beberapa negara sedang melakukan industrialisasi dan urbanisasi, terutama Tiongkok.

Tembaga menjadi pemimpin sektor logam industri. Kenaikannya dari di bawah US$ 2 ribu per ton pada 2000 menjadi US$ 10.190 pada Februari 2011. 

Tren supercycle mereda ketika pasar komoditas memasuki periode bear market selama empat tahun setelah itu. Banyak investor kemudian kecewa dengan sektor ini. 

Supercycle dapat didefinisikan sebagai kenaikan harga selama beberapa dekade yang berasal dari perubahan permintaan. Kejadian serupa pernah terjadi ketika AS masuk ke era industrialisasi pada abad ke-19. Eropa dan Jepang juga mengalaminya pada 1950-an pascaperang.

Pandangan Goldman Sachs ketika itu adalah dunia akan pulih dari krisis Covid-19. Penekanan pada revolusi hijau dan transisi energi akan mengubah sektor komoditas.

Di saat yang sama Tiongkok berkomitmen menjadi netral karbon pada 2060. Negara-negara di Eropa akan mencapai kondisi itu pada 2050. Begitu pula dengan negara maju di Asia. Dorongan dekarbonisasi seiring dengan isi Perjanjian Paris 2015 akan mengubah sektor energi secara global.

Menjadi hijau, Goldman Sachs berpendapat, akan menciptakan siklus belanja modal yang setara dengan kejadian pada 2000-an. Hal ini tidak hanya berdampak langsung pada permintaan komoditas, tapi juga pada pasar tenaga kerja dan negara produsennya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan pengembangan energi terbarukan menjadi awal krisis di Eropa. Indonesia dapat terpengaruh dari kondisi tersebut.

Positifnya, ada peluang bagi negara ini untuk mengekspor batu bara dan LNG dalam jumlah besar. “Negatifnya adalah banyak produk kita tidak bisa diekspor karena sektor industri di Tiongkok tersendat,” ujarnya. Banyak pabrik yang berhenti beroperasi menyebabkan suplai barang ke Indonesia pun terganggu.  

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyimpulkan krisis energi krisis energi saat ini sangat terkait dengan mahalnya energi fosil. Keberadaannya masih penting dan sangat dibutuhkan untuk pembangkit listrik.

“Cerita di Eropa dan Tiongkok itu benang merahnya sama. Keduanya tergantung terlalu tinggi ke pembangkit energi fosil di sistemnya,” ucap Fabby. 

Untuk meninggalkan ketergantungan tersebut tidak akan mudah. Tidak hanya soal waktu, implementasi energi terbarukan memerlukan investasi sangat tinggi. 

Krisis yang terjadi sekarang, menurut dia, seharusnya mendorong Indonesia untuk segera mempercepat transisi energi. Bukan justru menundanya. Pemerintah harus mengeliminasi hambatan dalam pengembangan EBT dan menciptakan iklim investasi yang aman.

Transisi ke energi bersih akan membuat sistem kelistrikan lebih tangguh. Namun, untuk menuju ke arah itu, dunia masih akan bergantung pada bahan bakar fosil. Jadi, benar kata Kermit Si Katak, tidak mudah menjadi hijau. 

Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)