- Banyak produsen tambang belum menyelesaikan pengembangan smelter seperti yang diharapkan pemerintah.
- Penundaan larangan ekspor tembaga mengganggu program hilirisasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
- Produsen masing-masing bahan mentah tambang berpotensi menuntut kelonggaran serupa.
Pemerintah telah menunda penerapan larangan ekspor konsentrat tembaga dari Juni 2023 ke Juni 2024. Keputusan ini muncul di tengah lambatnya pengembangan fasilitas pemurniannya alias smelter komoditas tambang tersebut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pembangunan smelter dalam tiga tahun terakhir terhambat pandemi Covid-19. Ini meliputi fasilitas milik PT Freeport Indonesia (PTFI).
Kementerian ESDM tengah mempersiapkan peraturan menteri yang akan memfasilitasi ekspor tembaga oleh raksasa pertambangan PTFI dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara hingga Mei 2024. Langkah ini demi untuk melegalkan penundaan larangan ekspornya.
Menurut Arifin, peraturan menteri merupakan cara untuk menunda penerapan larangan ekspor tanpa harus mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Dalam Pasal 170A pada aturan ini tertulis produsen dapat menjual bahan mentah dalam jumlah tertentu selambat-lambatnya hingga tiga tahun sejak peraturan tersebut berlaku.
“Kami melihat jika larangan ekspor ini berlaku Juni 2023, maka Freeport (akan) terdampak. Sementara (itu) Freeport (dikuasai sahamnya oleh) Indonesia dengan porsi 51%,” kata Arifin di Jakarta Pusat pada Jumat (28/4).
Juru bicara PTFI Katri Krisnati menyebut, larangan ekspor tembaga berpotensi menghilangkan pendapatan negara sebesar Rp 57 triliun. Dampak lainnya operasional perusahaan terhambat dan pada akhirnya mengganggu penjualan.
Perusahaan tambang yang berbasis di Kabupaten Mimika, Papua, itu telah mengantongi izin dari pemerintah untuk menjual 2,3 juta ton konsentrat tembaga ke luar negeri hingga Juni 2023. Pengamat menganggap penundaan larangan ekspor tembaga diskriminatif, mengganggu hilirisasi, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Tebang Pilih Dalam Larangan Ekspor Bahan Mentah
Penundaan larangan ekspor produk tambang hanya berlaku untuk konsentrat tembaga. Larangan ekspor bijih bauksit tetap berlaku sesuai UU, yaitu pada Juni 2023. Di sisi lain, banyak produsen masing-masing bahan mentah belum menyelesaikan pengembangan fasilitas pemurnian seperti yang diharapkan pemerintah.
Kemajuan pengembangan fasilitas pemurnian PTFI di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, baru mencapai 54,5% hingga Januari 2023. Fasilitas senilai Rp 42 triliun ini rencananya akan mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun.
Direktur Utama PTFI Tony Wenas mengatakan smelter baru yang berlokasi di kawasan industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) itu targetnya beroperasi pada Mei 2024. “Konstruksi smelter bisa selesai tepat waktu atau paling enggak lebih cepat,” katanya usai ia mengunjungi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta Pusat pada 12 April 2023.
Jadwal operasi tersebut lebih lambat kira-kira lima bulan dari yang seharusnya. PTFI seharusnya menyelesaikan pengembangan fasilitas tersebut pada Desember 2023 atau lima tahun sejak izin usaha pertambangan khususnya (IUPK) terbit pada Desember 2018.
Arifin mengatakan keterlambatan pengembangan fasilitas tersebut terjadi sebagian karena pembatasan Covid-19 mencegah tenaga kerja asing di PTFI untuk bekerja. Karantina di Jepang, misalnya, membuat pekerjaan teknis (engineering) tertunda karena ada tenaga kerja asing yang berasal dari negara tersebut.
Kemunduran jadwal operasi juga terlihat di fasilitas senilai US$ 982,9 juta yang tengah dikembangkan oleh Amman Mineral. Fasilitas yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, ini rencananya mulai beroperasi pada Desember 2024. Target tersebut lebih lambat dari awalnya, yaitu Juli 2023.
Kemajuan pengembangan yang tidak sesuai harapan pemerintah juga terlihat di fasilitas pemurnian bijih bauksit. Dari delapan fasilitas yang diharapkan masuk pada 2023, kemajuan pengembangan semua fasilitasnya masih kurang dari 60% hingga awal 2023.
Penundaan ekspor tembaga, menurut ahli ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, menimbulkan diskriminasi terhadap produsen bijih nikel dan produsen bijih bauksit. Diskriminasi ini diperkirakan akan memicu produsen masing-masing bahan mentah untuk menuntut kelonggaran serupa.
Selain konsentrat tembaga dan bijih bauksit, pemerintah telah menutup keran ekspor bijih nikel sejak Januari 2020. Kementerian ESDM mencatat jumlah fasilitas pemurnian bahan mentah ini mencapai 11 saat larangan ekspornya berlaku.
“Kalau pemerintah memenuhi tuntutan tersebut, maka program hilirisasi akan porak-poranda. Padahal tujuan hilirisasi adalah menaikkan nilai tambah dan mengembangkan ekosistem industri,” kata Fahmy yang berbasis di Yogyakarta pada Selasa (2/5).
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso mengatakan pada Februari 2023, perusahaan di bawah pengawasannya belum sanggup untuk berhenti mengekspor konsentrat tembaga. Namun, mereka telah siap untuk berhenti mengekspor bijih bauksit. MIND ID merupakan perusahaan induk pertambangan pelat merah yang salah satunya membawahi Freeport Indonesia.
Hilirisasi Tambang Berjalan Tak Sesuai Rencana
Presiden Jokowi telah menyampaikan rencana larangan ekspor konsentrat tembaga secara eksplisit setidaknya sejak 2021. Hilirisasi di industri pengolahan sumber daya alam merupakan salah satu langkah prioritas untuk mendongkrak investasi dalam negeri.
Pemerintah menargetkan pengembangan fasilitas pemurnian untuk tembaga, nikel, bauksit, besi, mangan, dan timbal, serta seng hingga 2024. Harapannya, Indonesia memiliki dua fasilitas baru untuk tembaga dan delapan fasilitas baru untuk bauksit pada 2023. Dengan begitu, secara keseluruhan akan ada empat fasilitas untuk tembaga dan 11 fasilitas untuk bauksit.
Menurut analis industri pertambangan Bank Mandiri Ahmad Zuhdi, penundaan larangan ekspor konsentrat tembaga akan membuat hilirisasi berjalan tidak sesuai rencana, meskipun tidak menghambat. Pasar pun menjadi khawatir akan kepastian hukum di Indonesia karena alasan keadaan kahar (force majeure) bisa digunakan lagi ke depannya. “Pada akhirnya bisa menjadi disinsentif bagi investor yang bergerak di pengolahan mineral Indonesia,” kata Zuhdi pagi tadi.
Namun, penundaan larangan ekspor bisa mencegah munculnya guncangan di industri tembaga karena fasilitas pemurnian yang telah beroperasi hanya mampu menyerap 2,4 juta ton secara keseluruhan. Jika larangan ekspor berlaku, tembaga yang tidak terserap diperkirakan akan membebani pertambangan.
Zuhdi menambahkan, pertimbangan lainnya berkaitan dengan kapasitas terbatas penyerapan katoda tembaga yang diproduksi oleh fasilitas pemurnian. Indonesia hanya mengimpor kira-kira 70 ribu ton katoda tembaga, sehingga harus mencari pasar domestik atau luar negeri untuk menyerap ratusan ribu ton sisanya jika menutup keran ekspor bahan mentahnya.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mulyanto mengatakan penundaan larangan ekspor tersebut menandai pelanggaran oleh pemerintah karena bertentangan dengan UU Minerba Pasal 170A. Pemerintah telah melanggar undang-udangan ini sebelumnya sebanyak delapan kali karena telah mengizinkan PTFI mengekspor konsentrat tembaganya.
“Marwah undang-undang kalah dengan lobi. Bagaimana mungkin roda pemerintahan bisa tertib berjalan kalau regulasi setingkat UU saja dengan entengnya dilanggar pemerintah,” kata anggota Komisi VII dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu dalam siaran pers yang terbit pada Minggu (30/4).