Sunan Drajat terkenal sebagai penerus ajaran Islam yang penuh semangat sosial. Mulai dari memberi perhatian kepada yang kurang mampu hingga memprioritaskan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Ajarannya menekankan pentingnya etos kerja keras dan empati, termasuk dalam bentuk kepedulian kepada yang membutuhkan, upaya mengatasi kemiskinan, menciptakan kemakmuran, memperkuat solidaritas sosial, dan semangat gotong royong.
Tak hanya itu, ia juga mengajarkan keterampilan praktis seperti konstruksi rumah, serta pembuatan peralatan seperti tandu dan joli. Untuk semakin mengenal sosoknya, simak ulasan singkat berikut ini.
Biografi Sunan Drajat
Lahir sekitar tahun 1470 Masehi dengan nama Raden Qasim, Sunan Drajat adalah putra termuda dari Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila. Garis keturunannya dapat ditelusuri kembali ke Sunan Bonang, dengan silsilah yang meliputi keturunan dari Champa, Samarkand, hingga Jawa, karena ayahnya berasal dari keturunan Ibrahim Asmarakandi.
Menurut catatan dari Babad Tjirebon, Babad Risakipun Majapahit, dan Hikayat Hasanuddin, kakek dari Sunan Drajat berasal dari Negeri Tyulen, Kazakhstan. Dengan demikian, silsilah Raden Qasim dapat ditelusuri ke Tyulen di Kazakhstan dan Samarkand di Uzbekistan, di Asia Tengah, sebelum kemudian bermigrasi ke Champa.
Babad Tanah Djawi mengungkapkan bahwa sebelum menikahi Nyai Ageng Manila, Sunan Ampel pertama-tama menikahi Nyai Karimah. Dari pernikahan tersebut, lahir Dewi Murtosiyah yang menikah dengan Sunan Giri, dan Dewi Murtosimah yang menikah dengan Raden Patah. Oleh karena itu, Raden Qasim memiliki dua saudara tiri.
Diketahui bahwa Sunan Ampel memiliki sembilan anak, di antaranya Nyai Ageng Manyuran, Nyai Ageng Manila, Nyai Ageng Wilis, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Ki Mamat, Syaik Amat, Nyai Ageng Medarum, dan Nyai Ageng Supriyah.
Raden Qasim dibesarkan dalam lingkungan keluarga ibunya yang berakar dari Jawa, sehingga ia memperoleh pengetahuan yang luas tentang ilmu pengetahuan, bahasa, seni, budaya, sastra, dan agama yang khas Jawa. Sunan Drajat juga dikenal sebagai penyair yang telah menghasilkan beberapa karya dalam bentuk tembang macapat langgam Pangkur.
Sunan Drajat mendapatkan pendidikan agama langsung dari Sunan Ampel, sebelum akhirnya dikirim oleh ayahnya kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon. Menurut Babad Tjirebon, Raden Qasim juga dikenal dengan nama Masaikh Munat atau Pangeran Kadrajat.
Setelah menimba ilmu di bawah bimbingan Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat menikahi putri Sunan Gunung Jati bernama Dewi Sufiyah dan menetap di Kadrajat. Maka dari itu, ia dikenal dengan sebutan Pangeran Kadrajat atau Pangeran Drajat.
Dari pernikahan tersebut, mereka diberkahi dengan tiga anak, yaitu Pangeran Rekyana atau Pangeran Tranggana, Pangeran Sandi, dan Dewi Wuryan.
Kemudian, Sunan Drajat menikah dengan Nyai Kemuning, putri dari Kiai Mayang Madu, serta menambahkan pernikahan dengan Nyai Retna Ayu Candra Sekar, putri dari adipati Kediri, Arya Wiranatapada.
Dengan ilmu yang diperoleh dari Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat kembali ke Ampeldenta. Namun, atas perintah ayahnya, ia mengabdikan diri dalam menyebarkan ajaran Islam di pesisir barat Gresik.
Dalam perjalanan tersebut, perahu yang ia tumpangi mengalami kecelakaan, namun ia diselamatkan oleh ikan cucut dan ikan talang, hingga mendarat di suatu tempat yang disebut Jelag, Desa Banjarwati. Kedatangannya disambut baik oleh sesepuh kampung, yaitu Kyai Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Di Jelag, Sunan Drajat menikahi Nyai Kemuning, putri dari Kiai Mayang Madu, dan mendirikan sebuah surau untuk mengajarkan bacaan Al-Qur'an kepada penduduk setempat.
Juga disebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menjadi imam pelindung di Lawang dan Sedayu. Setelah itu, ia melakukan uzlah rohani selama tiga bulan di Ujung Pangkah, tanpa makan dan tidur.
Dakwahnya dikenal dengan pepali pitu atau tujuh prinsip ajaran. Dalam menyampaikan ajaran tersebut, ia kadang menggunakan seni, seperti menggubah tembang tengahan macapat pangkur.
Upaya Mengenang Sunan Drajat
Selama 36 tahun, Sunan Drajat mengabdikan sisa hidupnya untuk mengajarkan Islam di Ndalem Duwur. Ia meninggal sekitar tahun 1522 M dan dimakamkan di perbukitan Drajat, Paciran, Lamongan. Makamnya terletak di posisi paling tinggi dan berada di belakang.
Di sekitar makam, terdapat museum yang memamerkan peninggalan Sunan Drajat, termasuk kumpulan tembang pangkur, gamelan, dan dayung perahu yang pernah menyelamatkannya.
Kompleks pemakaman terbagi menjadi tujuh halaman yang secara keseluruhan terdapat di perbukitan. Berbagai pemugaran di komplek makan Sunan Drajat diberikan langsung oleh pemerintah setempat untuk mendukung pelestarian warisan sejarah tersebut.
Ada pintu Gapura Paduraksa dengan hiasan cungkup, serta pagar kayu bermotif sulur dan teratai yang mampu menguatkan kesan lambang sebuah gunung. Selain itu ada juga pembangunan kembali Masjid Sunan Drajat.
Selain melakukan pemugaran komplek makam, pemerintah setempat Kabupaten Lamongan juga mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat untuk mengenang jasa para wali dan Sunan Drajat yang menyebarkan agama Islam di Jawa khususnya Lamongan. Museum ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur pada tanggal 1 Maret 1992, dan letaknya di sebelah timur makam Sunan Drajat.
Dalam sejarahnya, para wali termasuk Sunan Drajat kerap sekali menggunakan kesenian tradisional untuk melakukan dakwahnya. Sunan Drajat sendiri terkenal sebagai wali Allah yang menjadi pelopor terciptanya tembang Mocopat seperti Pangkur. Selain itu, terdapat bukti lain seperti beberapa alat gamelan yang dinamai “Singo Mengkok” dan hanya tinggal kerangkanya yang tersimpan di museum.