Advertisement
Analisis | Rentannya Nyawa Tenaga Kesehatan Seiring Lonjakan Kasus Covid-19 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Rentannya Nyawa Tenaga Kesehatan Seiring Lonjakan Kasus Covid-19

Foto:
Peningkatan kasus Covid-19 berbanding lurus dengan lonjakan kematian tenaga kesehatan di Indonesia. Data Amnesty Internasional per 4 September sebanyak 181 tenaga kesehatan gugur. 112 di antaranya adalah dokter.
Dimas Jarot Bayu
9 September 2020, 10.17
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Semakin banyak tenaga kesehatan di Indonesia yang gugur akibat Covid-19. Amnesty Internasional mencatat 181 orang meninggal sampai 4 September 2020. Terdiri dari 112 dokter dan 69 perawat. Meningkat dari pertengahan Juli lalu yang total sebanyak 89 orang.

Dalam data tersebut, Indonesia berada di urutan kesepuluh negara dengan kematian tenaga kesehatan tertinggi di dunia. Meksiko menempati urutan pertama dengan 1.320 orang. Disusul Amerika Serikat (AS) dengan 1.077 orang, India (573 orang), Brasil (324 orang), dan Afrika Selatan (240 orang). 

Jumlah kematian lebih besar bahkan dicatat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) yakni 209 orang sampai 7 September 2020.  Rinciannya, 107 dokter, 8 dokter gigi, 18 bidan, 70 perawat, 1 tenaga kesehatan masyarakat, 1 apoteker, 1 asisten apoteker, dan 3 tenaga laboratorium.

"Kalau kita persentase ada 2,6% angka kematian (dari total kematian akibat corona) di kalangan tenaga kesehatan," kata Ketua IAKMI Dedi Supratman kepada Katadata.co.id, Senin (7/9).

Sementara, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat 107 orang meninggal sampai hari ini (8/9). Meningkat 31% dibandingkan 4 Agustus lalu yang 74 orang. Rasio ini tak jauh beda dengan kasus Covid-19 nasional di periode sama. Per Selasa (8/9) total kasus mencapai 200.035 orang. Naik 42% dari 4 Agustus yang 115.056 orang.  

Sebaran asal tempat tinggal tenaga kesehatan yang meninggal, pun selaras dengan provinsi pemilik jumlah kasus tertinggi nasional. Data IDI menyatakan dokter meninggal terbanyak dari Jawa Timur dengan 28 orang. Sementara, provinsi tersebut kini menempati posisi kedua kasus terbanyak Covid-19 nasional dengan 36.342 kasus.

Hal itu menguatkan asumsi Juru Bicara IDI Halik Malik bahwa peningkatan kematian tenaga kesehatan seiring dengan semakin tingginya kasus Covid-19.   

Konsekuensi tingginya kasus adalah bertambahnya pasien rawat inap konfirmasi Covid-19 dari 17.821 pasien pada Juli, bertambah menjadi 18.727 pasien pada Agustus, dan 19.467 per 2 September 2020. Membuat tenaga kesehatan berpotensi lebih sering bersentuhan dengan penderita virus corona dan semakin rentan terpapar, khususnya yang telah berusia lanjut. Data IDI dan Pandemic Talks menyatakan 70 orang dokter yang meninggal berusia di atas 50 tahun. 

Ironisnya, provinsi dengan jumlah kasus tinggi justru kondisi layanan kesehatannya buruk. Data Katadata Insight Center (KIC) pada April lalu meyatakan Jawa Barat memiliki poin layanan kesehatan terendah, yakni 15,43 poin.  Artinya tidak siap menghadapi Covid-19.

"Ini yang kita rasakan kesiapannya bervariasi. Ada yang cukup antisipatif, ada juga yang sebaliknya tidak siap menghadapi situasi pandemi saat ini," kata Halik kepada Katadata.co.id terkait kesiapan fasilitas kesehatan menghadapi lonjakan kasus Covid-19.

Dengan kerentanan yang meningkat, alat pelindung diri atau APD yang didistribusikan pemerintah justru masih paling banyak berupa masker bedah, yakni  23.609.799 buah. Sedangkan masker N95 dan kacamata googles yang menjadi seragam APD level 2 justru lebih sedikit. Belum lagi kualitasnya masih dipertanyakan, seperti halnya disoroti Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid pada Jumat (4/9) lalu.

Made with Flourish

IDI dan IAKMI sempat menyoroti terkait kurangnya tes Polymerase Chain Reaction (PCR) berkala kepada tenaga kesehatan sebagai penyebab semakin bertambahnya kasus kematian. Hanya, sampai saat ini belum ada data pasti tingkat tes PCR terhadap tenaga kesehatan. Meski begitu, jika melihat tingkat tes nasional yang masih minim dan terkonsentrasi di Jakarta, sangat mungkin sorotan kedua organisasi itu benar.   

Pemerintah melalui Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pernah berjanji mengurangi jam kerja tenaga kesehatan yang menangani Covid-19. "Beban kerja dari tenaga kesehatan kembali perlu dirasionalisasi," kata Wiku di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (3/9).

Pemerintah pun akan melakukan penggolongan pasien di rumah sakit dan memastikan tenaga kesehatan mendapatkan cukup remunerasi. Khusus tenaga kesehatan yang memiliki penyakit penyerta, Wiku meminta mereka untuk tidak melakukan praktik yang berkontak langsung dengan pasien, tapi memanfaatkan layanan telemedisin.

Mungkinkah janji itu terpenuhi dan tenaga kesehatan bisa lebih terjaga? Mari kita buktikan bersama.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi