Advertisement
Analisis | Mengapa Kasus Suspek Aktif Covid-19 di Indonesia Terus Meningkat? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Kasus Suspek Aktif Covid-19 di Indonesia Terus Meningkat?

Foto: 123RF
Jumlah kasus suspek aktif Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Penyebabnya, jumlah tes harian masih di bawah standar WHO. Selain itu, kesadaran masyarakat melakukan tes masih rendah karena biaya yang mahal dan takut terkena stigma.
Andrea Lidwina
2 November 2020, 10.37
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Total kasus suspek aktif Covid-19 di Indonesia masih terus meningkat. Dari 57.800 orang pada 1 Agustus menjadi 80.700 orang pada 1 September lalu. Jumlahnya terus bertambah menjadi 135.500 orang pada awal Oktober lalu. Hingga 26 Oktober 2020, jumlahnya pun telah tembus 170.000 orang.

Peningkatan tersebut menunjukkan adanya antrean tes yang panjang, padahal risiko mereka terpapar virus corona cukup tinggi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), suspek merupakan orang yang memiliki gejala, seperti demam, batuk, atau sesak nafas, dan riwayat perjalanan ke wilayah dengan transmisi virus secara lokal atau riwayat kontak dengan pasien positif.

Jika melihat data tes Covid-19 secara harian, jumlahnya memang masih di bawah standar WHO yang sebesar 38,7 ribu orang per hari. Dalam satu pekan terakhir (20-26 Oktober), rata-rata jumlah orang yang dites sebanyak 28 ribu orang per hari. Angka itu menurun dibandingkan pertengahan Oktober yang mencapai 33-34 ribu orang per hari.

Melansir Republika, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan, jumlah laboratorium untuk tes dan uji spesimen kini sudah cukup memadai, yakni 376 unit hingga 26 Oktober. Namun, jumlah petugas laboratorium terbatas dan menyulitkan peningkatan kapasitas tes.

Penyebab lain antrean tes Covid-19 adalah alasan pribadi. Misalnya, suspek aktif enggan melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) karena mahal. Tarifnya sempat bervariasi di kisaran Rp 1,5-3,5 juta di berbagai rumah sakit. Semakin cepat hasilnya keluar, harga semakin mahal. Namun, Kementerian Kesehatan telah menetapkan harga tes paling tinggi sebesar Rp 900 ribu mulai 5 Oktober 2020, yang mencakup pengambilan sampel dan pemeriksaannya.

Harga tes PCR itu masih di atas rapid test yang maksimal Rp 150 ribu. Penyebabnya, beberapa komponen dalam tes ini mahal dan pengujiannya menggunakan standar khusus.

“Faktor yang membuat tes PCR begitu mahal adalah ada dua tahap pemeriksaan, reagennya mahal, alat-alatnya mahal, harus di laboratorium dengan standar minimal BSL-2, SDM-nya harus terlatih, dan risiko kerja tinggi,” jelas Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS UNS dr. Tonang Dwi Ardyanto, seperti dikutip dari Kompas.com.

Suspek aktif virus corona juga enggan melakukan tes lantaran stigma negatif yang masih muncul terhadap pasien maupun penyintas Covid-19 di masyarakat. Hasil survei LaporCovid-19 menyebutkan, 55,3% responden menjadi buah bibir atau diperbincangkan. Lalu, 33,2% dikucilkan dan 24,9% dijuluki pembawa atau penyebar virus. Sebagian kecil bahkan harus kehilangan pekerjaan dan terusir dari lingkungan tempat tinggal.

Oleh karena itu, suspek aktif bisa jadi tidak mau dites untuk menutupi status kesehatannya dan menghindari stigma-stigma negatif tersebut terhadap diri mereka.

Infografik_Salah kaprah penyintas covid-19
Infografik_Salah kaprah penyintas covid-19 (Katadata)

Tren kenaikan suspek aktif Covid-19 kini semakin mengkhawatirkan. Mereka berpotensi sudah terinfeksi virus, tetapi tidak menunjukkan gejala. Dengan begitu, mereka bisa menularkan virus tanpa sadar pada orang-orang di sekitarnya. Hal ini pun dapat memicu munculnya klaster-klaster baru yang semakin memperlambat upaya menyudahi pandemi.

“Ada potensi bahaya (dari perbedaan jumlah suspek dan tes yang semakin jauh) karena jumlah orang yang bawa virus di masyarakat jauh lebih besar dan tidak terdeteksi. Inilah silent spreader, silent outbreak,” kata epidemiolog Universitas Griffith Dicky Budiman, seperti dikutip dari Republika.

Tak hanya itu, jika suspek ternyata positif dan terlambat memperoleh penanganan yang tepat, maka bisa berakhir dengan kematian. LaporCovid-19 mencatat ada hampir 11 ribu meninggal terduga virus corona per 18 September 2020. Umumnya berstatus orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP). Kedua status tersebut digabungkan menjadi kategori suspek sejak pertengahan Juli lalu.

Jumlah kematian pada kasus terduga itu pun jauh lebih banyak dibandingkan kasus terkonfirmasi positif yang meninggal pada periode sama, yakni sekitar 9,3 ribu orang.Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencegah penyebaran Covid-19 kian meluas, termasuk menurunkan total suspek aktif. Pemerintah meningkatkan kapasitas tes dan uji spesimen secara signifikan, sementara masyarakat menumbuhkan kesadaran untuk memeriksakan diri jika telah berkontak dengan pasien positif atau memiliki gejala virus.

Sebagai pencegahan terhadap infeksi virus corona, masyarakat mesti disilpin memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, serta menjaga jarak dan menghindari kerumunan (3M) ketika berada di luar rumah.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi