Kelompok masyarakat lanjut usia (lansia) mendapat tekanan ganda saat pandemi Covid-19. Mereka paling rentan terinfeksi demam jenis baru ini, sekaligus terdampak secara ekonomi lantaran kian sulit mendapat penghasilan.
Indonesia sedang bergerak ke arah penuaan penduduk (ageing population). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk lansia sebanyak 25,7 juta jiwa atau 9,6% dari total penduduk pada 2019. Dari jumlah tersebut, 10,10% perempuan dan 9,10% laki-laki. Sebuah negara masuk kategori berstruktur penduduk tua jika persentase lansia sudah mencapai 10% dari seluruh populasi.
Pada tahun lalu, lima provinsi sudah berstruktur penduduk tua, yakni DI Yogyakarta (14,50%), Jawa Tengah (13,36%), Jawa Timur (12,96%), Bali (11,30%), dan Sulawesi Barat (11,15%). Penuaan penduduk di negeri ini seiring dengan jumlah rumah tangga berpenghuni lansia, yakni 27,88%. Dari jumlah tersebut, 61,75% di antaranya dikepalai oleh lansia.
Angka kesakitan (morbidity rate) lansia Indonesia pun meningkat dari 25,99% pada 2018 menjadi 26,2% setahun setelahnya. Menunjukkan bahwa semakin banyak lansia di negeri ini yang sakit. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018 mencatat permasalahan kesehatan lansia tertinggi adalah hipertensi (63,5%), diabetes melitus (5,7%), dan penyakit jantung (4,5%).
Seluruh penyakit penyerta atau komorbid tersebut lah yang membuat lansia semakin rentan terserang Covid-19. Mengingat, Satgas Covid-19 mencatat 50,6% penderita corona di negeri ini memiliki riwayat hipertensi. Lalu, 35,2% beriwayat diabetes melitus dan 18,4% berpenyakit jantung.
Hingga 24 November 2020, persentase pasien positif Covid-19 meninggal dunia terbanyak kedua adalah dari kelompok umur di atas 60 tahun. Mencapai 35,3% dari total 16,1 ribu pasien meninggal. Di tempat pertama adalah kelompok umur 45-59 tahun atau menjelang kategori lansia dengan 37,2%.
Penduduk lansia juga tertekan secara ekonomi di masa pandemi. Misalnya terlihat dari kisah pasangan suami-istri Harun (75 tahun) dan Zahara (80 tahun) di pesisir Kota Tarakan, Kalimantan Utara yang sempat diangkat Liputan 6. Mereka tak bisa lagi bekerja dan hanya mendapat penghidupan dari pemberian nelayan di lingkungannya.
“Dari tetangga kadang ada yang bantu. Baznas juga biasanya antarkan sembako setiap bulan, tapi sekarang belum ada lagi,” ujar Zahara Sabtu, (9/5).
Banyak lansia lain yang rentan bernasib sama dengan mereka. Hal ini karena 43,8% atau sekitar 11,3 juta orang dari total penduduk lansia berasal dari rumah tangga kelompok pengeluaran 40% terbawah. Jumlah ini paling besar dari rumah tangga kelompok pengeluaran lain.
Secara status pekerjaan, BPS pada 2019 mencatat 84,29% lansia bekerja di sektor informal. Mereka sangat rentan karena tidak memiliki perlindungan sosial, dasar hukum pekerjaan, dan imbalan kerja layak. Lalu, 10,13% lansia termasuk kategori precarious worker atau pekerja tidak tetap yang berisiko tinggi kehilangan penghasilan sewaktu-waktu.
Hal itu berbanding lurus dengan status pendidikan lansia yang mayoritas SD ke bawah. Sebanyak 33,26% lansia tidak tamat SD dan 30,88% hanya tamat SD/sederajat. Sebuah hal yang mempersulit mereka mendapat pekerjaan layak di masa tua karena tak memiliki kemampuan memadai di tengah persaingan pasar tenaga kerja yang semakin ketat.
Lansia dengan tingkat pendidikan rendah pun lebih banyak dari status ekonomi 40% terbawah. Sebuah hal yang memperlihatkan pula bahwa ketiadaan akses ekonomi dan pendidikan di masa muda sangat memengaruhi kondisi seseorang di masa tua. Mereka yang tidak beruntung ini terus miskin seumur hidup.
Di masa pandemi banyak lansia kehilangan pekerjaan. Tercermin dari angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang meningkat menjadi 1,7% per Agustus 2020 dari 0,68% pada periode sama tahun sebelumnya.
Upah yang diterima lansia pun terendah kedua setelah penduduk berusia 15-19 tahun. Pada Agustus 2020, rata-rata upah lansia hanya Rp 2,2 juta dengan ketimpangan cukup jauh antara laki-laki dan perempuan. Rata-rata upah lansia perempuan Rp 1,3 juta dan laki-laki Rp 2,5 juta.
Maka dari itu, diperlukan perlindungan, baik kesehatan maupun ekonomi untuk lansia di masa krisis Covid-19 ini. Terlebih, 9,38% lansia tinggal sendiri yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat berisiko dan membutuhkan perhatian khusus.
Pemerintah telah memberikan bantuan sosial kepada lansia, yakni Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Bantu LU. Program Bantu LU untuk penduduk lanjut usia miskin di dalam rumah tangga bukan penerima PKH.
Namun, kajian dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan, cakupan kedua program tersebut masih sangat minim. Hanya sekitar 1,1 juta lansia dalam keluarga penerima PKH dan 25 ribu lansia dalam Program Bantu LU. Angka ini kurang 2% dari total lansia.
Kajian tersebut juga menyebutkan baru sekitar 12% dari total lansia yang memiliki perlindungan sosial. Dengan kata lain, masih sangat banyak lansia tak memiliki perlindungan sosial dalam jenis apapun atau masuk dalam golongan missing middle yang sangat rentan di masa pandemi.
TNP2K merekomendasikan perlunya memperluas cakupan penerima bansos yang menyasar lansia. Khususnya bagi yang belum memiliki perlindungan sosial. Sistem perlindungan sosial ini membutuhkan penyederhanaan mekanisme pelaksanaan program, mulai dari pendaftaran hingga penerimaan.
Agar terjaga dari Covid-19, penting bagi lansia untuk beristirahat dengan cukup, mengonsumsi makanan sehat, menghindari pertemuan dengan orang-orang berisiko tinggi terpapar virus, serta patuh terhadap protokol kesehatan. Hal ini sebagaimana anjuran Kementerian Kesehatan.
Lansia juga membutuhkan dukungan orang-orang di sekitarnya dan pemerintah agar mampu melewati masa pandemi dengan selamat. Sehingga, angka kematian lansia akibat Covid-19 tak semakin meningkat.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi