Dalam kurun dua pekan, dua menteri di Kabinet Indonesia Maju menjadi tersangka kasus korupsi. Ini setidaknya menunjukkan pandemi Covid-19 tidak menghentikan upaya pmberantasan korupsi. Di sisi lain, praktik korupsi masih terjadi di tengah krisis kesehatan saat ini.
Pada 25 November lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Bandara Soekarno-Hatta atas kasus korupsi ekspor benih lobster. Dalam kasus ini lembaga antirasuah juga menangkap 16 orang lainnya, termasuk istri Edhy, Iis Rosita Dewi yang merupakan anggota Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra.
Selang sebelas hari, pada 6 Desember 2020, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, Juliari menggondol uang sebesar Rp 17 miliar dari kasus ini untuk keperluan pribadi.
“KPK menetapkan lima orang tersangka. Sebagai penerima JPB, MJS, dan AW. Kemudian sebagai pemberi adalah AIM dan HS,” kata Firli dalam konferensi pers, Minggu (6/12) dini hari.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat penegak hukum dari unsur KPK, Kejaksaan, dan Polri menindak total 169 kasus korupsi dengan 372 tersangka sepanjang semester I 2020. Angka ini lebih banyak dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang menindak 122 kasus korupsi dengan 250 tersangka.
Namun, jumlah penindakan pada semester I tahun ini masih lebih rendah dibandingkan periode sama pada 2017 yang sebanyak 266 kasus dengan 587 tersangka. Angka ini juga menjadi yang tertinggi selama lima tahun ke belakang.
ICW mencatat bentuk korupsi terbanyak sepanjang semester I tahun ini adalah penggelapan. Jumlahnya 47 kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 233,7 miliar dan melibatkan 83 orang dari berbagai latar belakang profesi.
Bentuk kasus korupsi baru dalam catatan ICW adalah manipulasi saham. Jumlahnya empat kasus dengan tersangka 14 orang dan 13 korporasi yang merugikan negara senilai Rp 16,9 triliun. Salah satunya adalah dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di perusahaan pelat merah PT Asuransi Jiwasraya.
Tujuh orang dan 13 korporasi sebagai manajer investasi terlibat dalam kasus korupsi Jiwasraya. Taksiran kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 16,81 triliun, menurut Badap Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kejaksaan menjadi lembaga yang paling banyak menindak kasus korupsi sepanjang semester I 2020. Totalnya 91 kasus dengan 198 tersangka. Lembaga ini pun berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 17,2 triliun.
Jumlah penindakan korupsi oleh Kejaksaan sepanjang semester I 2020 lebih tinggi dari periode sama tahun lalu yang 43 kasus dengan 84 tersangka. Namun, masih setara 16,1% dari target dalam Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) tahun ini yang sebanyak 566 kasus.
Padahal, menurut ICW, untuk mencapai target tersebut setidaknya perlu mencapai 50% atau sekitar 283 kasus sepanjang paruh tahun ini.
Kejaksaan paling banyak menangkap tersangka korupsi dari unsur Aparatur Sipil Negara (ASN), yakni 55 orang. Lalu, dari unsur swasta (51 orang), kepala desa (20 orang), korporasi (13 orang), dan direktur utama/karyawan BUMN (12 orang).
Kritik ICW terhadap kinerja Kejaksaan dalam memberantas korupsi adalah penindakan belum menyasar aktor strategis seperti pemegang kebijakan, tapi hanya aktor pelaksana. Hal ini karena Kejaksaan tidak memiliki kemampuan menelusuri pihak yang terduga terlibat dalan tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, Polri berhasil menindak 72 kasus korupsi dengan 136 tersangka. Jumlah kasus tersebut hanya setara 4,7% dari target tahunan Polri dalam DIPA 2020 yang sebanyak 1.539 kasus. “Artinya kinerja kepolisian dalam penanganan korupsi buruk,” tulis ICW dalam laporannya.
Nilai kerugian negara yang berhasil diselamatkan Polri pun hanya Rp 131 miliar. Hal ini tak lepas dari latar belakang tersangka korupsi yang ditindak mayoritas bukanlah aktor strategis. Polri tercatat menangkap 53 orang ASN, 27 orang kepala desa, 22 orang swasta, 9 orang direktur utama/karyawan BUMN, dan 8 orang aparatur desa.
Sementara KPK menjadi lembaga yang paling sedikit menindak kasus korupsi sepanjang semester I 2020, yakni 6 kasus dengan 38 tersangka. Hanya setara 5% dari total target 120 kasus per tahun dalam DIPA 2020. Jumlah ini pun lebih rendah dari periode sama tahun sebelumnya yang sebanyak 28 kasus dengan 61 tersangka.
Dari seluruh penindakan kasus sepanjang semester I 2020, KPK berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 805 miliar. Jumlah ini pun lebih rendah dari hasil penindakan selama periode sama tahun sebelumnya yang Rp 6,1 trilun.
ICW menilai penurunan penindakan kasus korupsi oleh KPK terpengaruh oleh pelemahan UU KPK. Peraturan tersebut direvisi oleh DPR RI pada akhir tahun lalu. Beberapa hal di dalamnya yang dianggap bisa melemahkan lembaga antirasuah adalah terkait pembentukan Dewan Pengawas dan izin penyadapan yang rumit.
“Selain itu, peran pimpinan KPK juga berkontribusi terhadap turunnya kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi,” jelas ICW dalam laporannya. ICW sempat melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewan Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik pada Oktober 2020.
Secara latar belakang tersangka, ICW menilai KPK telah berhasil menindak aktor strategis. Rinciannya, 15 orang anggota DPRD, 11 orang dari swasta, dan 6 orang dari ASN. “Tetapi perlu ditingkatkan hingga tahap penuntutan agar para pihak yang diduga terlibat dapat ditangkap,” tulis ICW dalam laporannya.
Selain itu, ICW menilai KPK masih memiliki pekerjaan rumah untuk menangkap Harun Masiku. Harun yang terindikasi terlibat dalam kasus suap penentuan kursi DPR RI dan telah menjerat Komisioner KPU sampai saat ini masih buron.
Peningkatan pengawasan dan penindakan kasus korupsi perlu ditingkatkan. Hal ini mengingat poin Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia dalam laporan Transparency International masih 40 pada 2019, hanya naik dua poin dari tahun sebelumnya.
Skor indikator ketiadaan korupsi di tingkat eksekutif, yudisial, polisi atau militer dan legislatif dalam Rule of Law Index pun hanya 0,39 pada 2020, meningkat 0,01 poin dari tahun sebelumnya. Skor ini menempatkan Indonesia di posisi ke-92 dari 128 negara.
Hasil survei The Global Corruption Barometer (GCB) Asia 2020 pun menunjukkan masyarakat Indonesia adalah yang terbanyak masih menganggap korupsi sebagai masalah serius. Dengan kata lain masih banyak masyarakat yang merasa penindakan korupsi di negeri ini belum efektif.
Upaya pemberantasan korupsi sangat penting juga karena beririsan dengan ekonomi negara. Menurut hasil Executive Opinion Survey oleh World Economic Forum pada 2017, korupsi adalah penghambat utama investasi di Indonesia.
Ekonom Faisal Basri pun menilai korupsi menggerogoti hasil investasi meskipun realisasinya terus meningkat. Pasalnya, uang hasil korupsi lari ke luar negeri dan digunakan untuk tujuan yang kontraproduktif dengan pembangunan ekonomi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja pun terhambat.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi