Advertisement
Analisis | Jejaring Dinasti Politik di Pilkada 2020 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Jejaring Dinasti Politik di Pilkada 2020

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Sejumlah kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangkan Pilkada 2020. Bagaimana penyebarannya di daerah dan partai politik pengusungnya?
Author's Photo
12 Desember 2020, 12.10
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 semakin menunjukkan penguatan dinasti politik. Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU), sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangi pesta politik lima tahunan tersebut.  

Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam deretan tersebut. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa unggul telak atas pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta. Pasangan Gibran-Teguh mengantongi 87,15% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika.

Menantu Jokowi, Bobby Nasution yang berpasangan dengan Aulia Rachman unggul atas pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi di Pilwalkot Medan. Pasangan Bobby-Aulia mengantongi 55,29% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika.

Kemenangan Gibran akan menjadikan Jokowi sebagai presiden pertama di Indonesia yang memiliki anak menjabat kepala daerah. Catatan sejarah baru ini, pun ditorehkan Jokowi hanya dalam waktu enam tahun kepemimpinannya. 

Namun, Gibran telah menampik keikutsertaannya dalam Pilkada 2020 merupakan bagian dari dinasti politik. Hal ini lantaran menurutnya tak ada kewajiban masyarakat memilihnya. “Yang jelas, kalau ditanya dinasti politik, ya dinasti politiknya sebelah mana?”, kata Gibran mengutip Kompas TV, Rabu (9/12).

Pembelaan Gibran berbanding terbalik dengan definisi dinasti politik menurut Pengamat Politik UIN Jakarta, Adi Prayitno, yakni upaya mengarahkan regenerasi kekuasaan oleh kelompok elite politik atau pejabat tertentu kepada keluarga intinya. Keluarga inti adalah yang memiliki garis keturunan ke samping, ke atas, dan ke bawah.

“Kalau dilihat semuanya (kandiat berafiliasi dinasti politik di Pilkada 2020) adalah keluarga inti, anak presiden, adik menteri, dan lainnya,” kata Adi kepada Katadata.co.id, Juli lalu.

Pemenang Pilkada 2020 lain yang masuk dalam kategori dinasti politik adalah Hanindhito Himawan Permana. Ia adalah anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Berdasarkan hasil sirekap KPU, ia dan pasangannya Dewi Mariya unggul telak atas kotak kosong dengan 76,8% di Pilkada Kediri.

Lalu, Pilar Saga Ichsan yang menjadi calon Wali Kota Tangerang Selatan mendampingi petahana Benyamin Davnie. Ia adalah kemenakan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany yang jabatannya akan habis tahun ini dan anak dari Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah.

Pasangan Benyamin-Pilar mengantongi 41,86% suara. Mereka unggul dari dua kandidat lain, yakni Muhammad-Saraswati Djojohadikusumo (34,42%) dan Azizah Ma’ruf-Ruhamaben (23,72%). Pilkada Tangerang Selatan 2020 adalah pertarungan antara dinasti politik nasional dan lokal. Mengingat, Saraswati kemenakan Menhan Prabowo Subianto dan Azizah anak dari Wapres Ma’ruf Amin.

Senasib dengan Pilar, ibunya pun sekali lagi memenangi Pilkada Serang. Ratu Tatu yang berpasangan dengan Pandji Tirtayasa mengantongi 62,56% suara berdasarkan hasil hitung cepat LSI Denny JA. Sementara lawannya, Nasrul Ulum-Eki Baihaki meraih 37,44% suara.

Kemenangan Pilar dan Ratu Tatu menunjukkan bahwa dinasti politik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah masih sangat kuat. Ratu Tatu adalah saudara kandung Atut. Artinya, Pilar adalah kemenakan Atut. Kini, Atut masih mendekam di penjara karena tersangkut kasus suap Pilkada Lebak yang juga menyeret Ketua MK Akil Mochtar.

Nagara Institute mengurutkan wilayah dengan dinasti politik terkuat. Berdasarkan potret Pilkada serentak pada 2015, 2017, dan 2018, Banten didaulat sebagai wilayah yang paling terpapar dinasti politik. Jumlahnya mencapai 55,6%. Kalimantan Timur menyusul dengan 33,4% wilayah yang terjerat trah politik keluarga.

Selain nama-nama yang telah disebutkan tersebut, masih ada 50 kandidat lain yang berkategori dinasti politik memenangi Pilkada 2020. Sehingga, total 55 kandidat atau setara 44% dari 124 kandidat berkategori dinasti politik yang bertarung dalam Pilkada tahun ini.

Menabrak Etika Politik

Dinasti politik juga marak dalam dua Pilkada serentak sebelumnya. Penelitian Yoes C Kenawas berjudul The Rise of Political Dynasties in a Democratic Society, terdapat 202 kandidat kepala daerah dalam Pilkada 2015-2018 yang terafiliasi dinasti politik. Lebih dari setengahnya atau 117 kandidat menjadi pemenang.

Dosen FISIP UNS Martien Herna Susanti dalam penelitiannya yang berjudul Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia menyatakan, penyebab dinasti politik terus bercokol dari Pilkada ke Pilkada adalah regulasi yang lemah. Pasal 7 poin (q) UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada yang mengatur tentang larangan dinasti politik, dibatalkan MK melalui putusan Nomor 34/PUU-XIII/2015.

MK, seperti dikutip Martien, dalam putusannya menilai alasan konflik kepentingan yang mendasari terbentuknya peraturan tersebut hanya bersifat politis dan asumtif, seolah-olah setiap kandidat yang terafiliasi darah dengan petahana akan membentuk dinasti politik. MK menilai hubungan darah adalah kodrat ilahi dan tak bisa menghalangi seseorang berkiprah dalam politik atau menjadi pejabat pemerintahan.

Sampai saat ini belum ada peraturan lain yang melarang dinasti politik. Hal ini menjelaskan “aji mumpung” para elite politik melakukan regenerasi melalui Pilkada, meskipun tak seluruhnya mulus seperti Wapres Ma’ruf Amin yang gagal memenangkan anaknya di Pilkada Tangerang Selatan.  

Pakar Politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai ketiadaan aturan bukan berarti praktik dinasti politik benar. Pencalonan kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat, seperti Gibran dan Bobby, telah menabrak etika. Pasalnya mereka terkesan karbitan atau dipaksakan.

“Jadi dipaksakan yang penting jadi, mumpung ayahnya (Jokowi) lagi punya jabatan,” kata Ujang kepada Katadata.co.id, Kamis (10/12).  

  Berakibat pada Oligarki, Korupsi, dan Rusaknya Demokrasi

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha menilai dinasti politik bisa mengarah kepada oligarki. Oleh karena itu, menurutnya, jika kerabat pejabat atau mantan pejabat ingin mencalonkan diri di pemilu setidaknya berjeda satu periode masa jabatan dari pendahulunya.

“Karena di situ anggota keluarganya bisa menggunakan kewenangan atau pengaruhnya, supaya bisa meloloskan anggota keluarga (lain) sebagai pejabat publik,” ujar Egi, Kamis (10/12).

Pandangan Egi tersebut selaras dengan Michels, seorang pemikir terkemuka terkait oligarki dalam bukunya, The Iron Law of Oligarchy. Michels berpendapat bahwa saat seseorang berkuasa akan cenderung membentuk kubu, termasuk apabila itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Sementara, oligarki dekat dengan korupsi. Hal ini sebagaimana pendapat Jeffrey A Winters dalam bukunya Oligarchy, bahwa seorang oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya. Upaya penguasaan sumber daya tersebut lah yang memungkinkan seorang oligark melakukan korupsi.

ICW pun mencatat enam kepala daerah yang melakukan dinasti politik tersandung korupsi. Salah satu di antaranya adalah Bupati Klaten, Sri hartini yang terjerat kasus suap promosi jabatan. Ia akhirnya digantikan oleh wakilnya, Sri Mulyani.

Dinasti politik pun berpotensi merusak demokrasi lantaran membuat masyarakat lain yang tak berasal dari lingkaran keluarga elite tertentu sulit berkontestasi dan menang dalam pemilu. Wujud nyatanya adalah fenomena melawan kotak kosong di daerah dengan kandidat terafiliasi dinasti politik, seperti di Pilkada Kediri 2020.  

Robert A Dahl dalam Dilemma of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control menyatakan, salah dua dari tujuh kriteria demokrasi bisa terkonsolidasi, adalah setiap warga negara yang dewasa berhak maju dalam pemilu dan setiap pemilih berhak mendapat informasi alternative dengan dilindungi hukum.  

Indonesianis Marcus Mietzner dalam penelitiannya berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System menyatakan, praktik dinasti politik di Indonesia tidak sehat bagi demokrasi. Alasannya bisa menyebabkan kontrol terhadap pemerintah melemah. Dengan begitu, kesewenangan dalam pelaksanaan kekuasan berpeluangan besar terjadi.

“Memang ini tanggung jawab kita bersama, agar warga benar-benar melihat demokrasi dari aspek substansial. Ketika melihat ada nilai demokrasi yang rusak, semestinya ini menjadi tanggung jawab bersama supaya warga sadar akan hal itu,” kata Egi.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi