Advertisement
Analisis | Mengukur Monopoli Bisnis Digital Facebook dan Google - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengukur Monopoli Bisnis Digital Facebook dan Google

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Facebook tersandung praktik monopoli karena gemar mengakuisisi media sosial lain. Persoalannya bukan ukuran perusahaan atau pangsa pasarnya, tapi sebeberapa banyak pengguna platform media sosial tersebut.
Andrea Lidwina
17 Desember 2020, 08.32
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Facebook tersandung praktik monopoli akibat gemar mengakuisisi platform media sosial dari perusahaan lain.

Komisi Perdagangan Federal (FTC) Amerika Serikat dan Jaksa Agung dari 46 negara bagian, Washington dan Guam menggugat kegemaran Facebook tersebut pada 9 Desember lalu. Facebook digugat karena melakukan monopoli dan antipersaingan dalam industri teknologi.

Akusisi dianggap sebagai “penghindaran persaingan,menyulitkan platform media sosial lain untuk memperluas jangkauan, dan hanya memberikan sedikit pilihan bagi pengguna”. Salah satu tuntutannya adalah mendesak Facebook melepas Instagram dan WhatsApp yang telah diakusisi pada 2012 dan 2014 lalu.   

Facebook memang tak mau setengah-setengah bermain di bisnis teknologi digital. Dalam satu dekade (2009-2019) saja ada 65 perusahaan teknologi yang telah diakuisisinya. Pembelian ini memungkinkan perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg tersebut mengembangkan berbagai layanan selain media sosial.

Misalnya saja, dompet digital Facebook Pay yang bisa digunakan untuk berbelanja produk di Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Kemudian Facebook menerbitkan mata uang kripto (cryptocurrency) Libra, meski kurs tersebut sulit berkembang lantaran terhambat regulasi.

Perusahaan juga meluncurkan aplikasi khusus gim online, Facebook Gaming, yang sebelumnya hanya menjadi bagian dari platform Facebook. Hasil survei YouGov menyebutkan sebanyak 46% responden di Indonesia menggunakan layanan ini, cuma kalah dari YouTube Gaming yang sebesar 72%.

 

Banyak memiliki anak perusahaan dengan berbagai layanan menyebabkan jumlah pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) Facebook menjadi yang tertinggi di antara platform lain. Total ada 2,7 miliar pengguna aktif setiap bulannya.

Tak hanya itu, berdasarkan laporan “Digital 2020: October Global Statshot Report” yang dirilis We Are Social, platform yang terafiliasi dengan Facebook juga menduduki peringkat teratas. WhatsApp dengan 2 miliar MAU, sementara Facebook Messenger dan Instagram masing-masing sekitar 1 miliar MAU.

Angka-angka itu pun bermuara pada pendapatan perusahaan. Setelah mengakuisisi Instagram, pendapatan Facebook naik 54,7% menjadi US$ 7,9 miliar pada 2013. Dua tahun kemudian, pasca-membeli WhatsApp, pendapatan Facebook meningkat 43,8% menjadi US$ 17,9 miliar. Facebook pun mengantongi US$ 70,7 miliar sepanjang 2019, yang 98,5% di antaranya berasal dari iklan.

Selain Facebook, gugatan serupa pernah dilayangkan Departemen Kehakiman AS terhadap Google pada Oktober lalu. Google dituduh memonopoli pasar mesin pencari dan iklan yang muncul bersama hasil pencarian.

Menurut perhitungan StatCounter, pangsa pasar Google memang mencapai 92,2% pada November 2020. Sedangkan, sisanya dibagi untuk lima mesin pencari lainnya. Namun, pihak Google menampik tuduhan monopoli. Besarnya pangsa pasar atau jumlah pengguna belum tentu mengisyaratkan adanya monopoli yang dilakukan sebuah platform atau perusahaan teknologi.

“Orang menggunakan Google karena mereka memilihnya, bukan karena mereka dipaksa atau tidak memiliki pilihan lain,” tulis Wakil Presiden Senior Google Kent Walker di blog Google pada 20 Oktober.

COO Facebook Sheryl Sandberg mengatakan hal yang sama. Melansir CNBC International, menurutnya para pengguna kini punya banyak pilihan platform atau media sosial, bahkan beberapa di antaranya berkembang pesat, seperti TikTok dan Snapchat.

Dalam artikel “Vital Signs: Google’s huge market share doesn’t automatically make it a monopoly” yang dimuat di The Conversation, profesor ekonomi di University of New South Wales (UNSW) Richard Holden menjelaskan media sosial, mesin pencari, dan platform serupa lainnya memiliki network externalities. Mereka menghubungkan setiap pengguna, penjual dengan konsumen, atau pengguna dengan pengiklan dan informasi.

Jaringan ini menentukan seberapa bernilainya suatu platform bagi para pengguna, yang berpengaruh pada pangsa pasar atau jumlah pengguna aktif. Namun, besaran indikator itu juga tidak bertahan selamanya. Holden mencontohkan, Internet Explorer yang mendominasi pasar mesin pencari pada awal 2000 pun kini tidak terdengar lagi gaungnya.

Karena itu, hal yang perlu diperhatikan oleh para pembuat kebijakan dalam industri teknologi bukan lagi soal ukuran perusahaan atau pangsa pasarnya, melainkan efek dari jaringan tersebut. Profesor media di Queensland University of Technology Amanda Lotz mencontohkan Google+ tidak mampu bersaing dengan Facebook karena orang umumnya menggunakan media sosial yang juga digunakan oleh teman-temannya.

“Membuat media sosial baru tidak membutuhkan infrastruktur yang mahal, tapi yang sulit adalah membangun jaringan yang membuat orang mau bergabung,” tulisnya seperti dikutip dari artikel “Amazon, Google and Facebook warrant antitrust scrutiny for many reasons – not just because they’re large” di The Conversation.

Editor: Aria W. Yudhistira