Jumlah kasus kejahatan di Indonesia terus menurun dalam rentang 2017-2020. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2017 jumlahnya 336.652 kasus, lalu menjadi 294.281 kasus pada 2018, dan menjadi 269.324 pada 2019. Dalam laporan tahunan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), jumlahnya turun lagi menjadi 238.384 kasus sepanjang 2020.
Meski demkian, rata-rata penurunan tahunan kasus kejahatan selama periode tersebut hanya 9%. Angka itu mengindikasikan Polri belum maksimal melakukan pencegahan yang menjadi salah satu fungsi mereka, seperti halnya termaktub dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
(Baca Juga: Ketimpangan Ekonomi Indonesia Ada di Berbagai Sisi)
Hal sama terlihat ketika kejahatan diklasifikasikan berdasar jenisnya dalam rentang 2017-2019. Kami mengambil rentang tersebut lantaran data untuk tahun 2020 tidak ditemukan dalam catatan BPS dan laporan tahunan Polri yang dibacakan Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis pada 22 Desember lalu.
Kejahatan terhadap nyawa seperti pembunuhan, berdasarkan data BPS, hanya turun 6% dari 1.024 kasus pada 2018 jadi 964 kasus pada 2019. Sepanjang 2019, kejahatan jenis ini paling banyak terjadi di Sumatera Selatan, yakni 136 kasus. Sebaliknya, paling sedikit di Kalimantan Utara dengan satu kasus.
Kejahatan lain yang tingkat penurunan kasusnya juga rendah dalam rentang waktu sama adalah narkotika, terhadap fisik/badan, dan kesusilaan. Jumlah kasus narkotika hanya turun 9% dari 39.588 kasus pada 2018 menjadi 36.478 setahun setelahnya. BPS bahkan mencatat kejahatan jenis ini meningkat 11% dalam rentang 2017-2018.
(Baca Juga: Potensi Bisnis Pesan-Antar Makanan Daring Makin Besar)
Masih tingginya kasus kejahatan narkotika di negeri ini patut menjadi catatan khusus bagi Polri. Mengingat narkotika termasuk ke dalam extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebuah kejahatan masuk kategori ini lantaran dampak buruknya multi aspek, seperti sosial, politik, dan keamanan.
Aturan terkait narkotika termaktub dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 yang juga menjadi dasar hukum pembentukan Badan Narkotika Nasional (BNN). Sepanjang 2019, kasus narkotika paling banyak terjadi di wilayah Polda Metro Jaya dengan 6.338 kasus.
BPS juga mencatat penyalahgunaan dan perdagangan narkotika telah merambah sampai ke desa di 34 Provinsi Indonesia pada 2018. Desa di Sumatera Barat paling banyak terpapar narkoba secara nasional. Tercatat kasus pernah terjadi di 37,73% dari total desa di provinsi tersebut.
(Baca Juga: Pandemi Mengubah Peta Masa Depan Pasar Tenaga Kerja)
Jumlah kasus kejahatan terhadap fisik/badan yang mencakup penganiayaan berat dan ringan serta kekerasan dalam rumah tangga hanya turun 1% dari 2018 ke 2019. Kejahatan jenis ini paling banyak terjadi di wilayah Polda Sumatera Utara, yakni 4.817 kasus.
Sementara, jumlah kasus kejahatan keasusilaan yang mencakup perkosaan dan pencabulan hanya menurun 0,5% dari 2018 ke 2019. Pada 2019, kasus kejahatan kesusilaan paling banyak terjadi di wilayah Polda Jawa Barat, yakni 465 kasus. Paling sedikit di wilayah Polda Papua Barat dengan 33 kasus.
Dua jenis kejahatan terakhir juga patut menjadi perhatian khusus bagi Polri untuk lebih giat melakukan pencegahan. Pasalnya, keduanya cenderung menimpa kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan.
Penggalakan pencegahan akan mengurangi risiko mereka menjadi korban dan menambah keberanian penyintas untuk melapor ke polisi. Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah kepada Katadata.co.id pada 18 September 2020 lalu menyatakan, salah satu masalah utama penindakan kejahatan asusila terhadap perempuan di Indonesia adalah minimnya keberanian korban melapor ke polisi.
“Itu tidak lepas dari perlindungan kepada korban yang masih minim,” kata Alimatul.
(Baca Juga: Jejaring Dinasti Politik di Pilkada 2020)
Terlepas dari tindak kejahatan keasusilaan, anak-anak dan perempuan memang rentan menjadi korban. BPS mencatat pada 2019 sebanyak 36,48% perempuan dan 6,86% anak-anak menjadi korban seluruh jenis kejahatan. Khusus anak-anak bahkan jumlahnya meningkat 0,29% dari 2018.
Polri ke depannya juga penting meningkatkan pencegahan tindak kejahatan terorisme. Situs nirlaba Ruangngobrol.id yang berkonsentrasi dalam isu terorisme dan deradikalisasi, mencatat 16 aksi terror terjadi di Indonesia sepanjang 2020. Separuh di antaranya dilakukan oleh anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Untuk terorisme, sepanjang 2020 Polri berhasil menangkap 228 terduga teroris sebagai bagian dari aksi pencegahan. Salah satunya adalah penangkapan Zulkarnaen, pentolan Jamaah Islamiyah (JI), yang telah buron selama 18 tahun.
(Baca Juga: Plasma Kovalesen, Alternatif Pengobatan Covid-19)
Belum optimalnya pencegahan lantaran selama ini menjadi fungsi yang kurang popular di internal Polri, sebagaimana pendapat Peneliti Madya Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sarah Nuraini pada 4 Juli 2019 lalu, melansir Tirto.id.
Alhasil, kata Sarah, perhatian Polri selama ini lebih banyak terhadap penyelesaian kasus-kasus besar atau fungsi penindakan.
Rabu (27/1) nanti, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melantik Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri baru. Maka, peningkatan fungsi pencegahan tindak kejahatan akan menjadi pekerjaan rumah Listyo.
Saat menjalani uji kelayakan di DPR pada 20 Januari 2021 lalu, pencegahan masuk ke dalam konsep kepolisian masa depan ala Listyo. Konsep itu ia beri nama Presisi yang merupakan kependekan dari prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan.
(Baca Juga: Susah Cari Kerja di Tengah Pandemi)
Salah dua tindak pencegahan yang akan dilakukan Listyo adalah pada pidana korupsi dan terorisme. Ia berjanji akan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah korupsi. Semetara untuk terorisme, ia berjanji akan bekerja sama dengan ulama.
“Kalau di wilayah Banten dulu dikenal sinergi umara dan ulama, kami akan melakukan itu,” kata Listyo yang merupakan mantan Kapolda Banten, Rabu (20/1).
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi