Gelombang ketiga pandemi Covid-19 tengah membayangi dunia. Hal ini seiring terus bermutasinya virus tersebut menjadi varian baru berpenularan cepat. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mencatat setidaknya tiga varian baru virus corona sejak akhir tahun lalu.
Ketiganya adalah B117 di Inggris dan B1351 di Afrika Selatan yang diidentifikasi pada Oktober 2020, serta P1 dari Brasil yang terdeteksi pada awal Januari 2021. “Varian ini menyebar lebih mudah dan cepat dibandingkan varian lainnya sehingga menyebabkan lebih banyak kasus Covid-19,” tulis lembaga itu.
Pada Desember 2020 lalu, B117 telah menyebabkan 62% dari total kasus baru di London, Inggris. Akibatnya kasus Covid-19 di Inggris melonjak pada awal 2021. Pertambahan kasus di kisaran 59.660 per hari pada 3-9 Januari 2021 dan menjadi yang tertinggi sejak pandemi merebak di Inggris.
B117 juga telah ditemukan di Indonesia. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono mengumumkan dua kasus pertama dengan varian tersebut pada 2 Maret 2021, tepat satu tahun sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan. “Artinya, kita akan hadapi pandemi ini dengan tingkat kesulitan semakin berat,” katanya.
Enam sampel B117 lain juga ditemukan dari 539 sampel yang dikumpulkan pada Januari-Februari 2021. Tiga sampel ada di DKI Jakarta serta masing-masing satu sampel di Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.
Sementara, varian P1 telah menyebabkan kasus Covid-19 di Brasil melonjak. Rata-rata kasus barunya mencapai 66.869 kasus per hari pada pekan pertama Maret 2021, lebih tinggi dari puncak gelombang penularan sebelumnya. Jumlah kematian pun meningkat dua kali lipat menjadi 1.497 orang per hari pada periode waktu yang sama.
Peningkatan kasus Covid-19 akibat varian baru di sejumlah negara tersebut terjadi saat vaksinasi sedang berjalan. Khususnya di Inggris dan Brasil. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin bukan berarti senjata pamungkas untuk menyudahi pandemi. Pasalnya, vaksin akan efektif menghalau penularan saat herd immunity atau kekebalan komunitas telah tercapai.
Herd immunity tercapai apabila 70% dari populasi sebuah negara telah divaksinasi. Bloomberg memprediksi hanya Israel, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat yang bisa melakukannya kurang dari satu tahun. Indonesia bahkan diperkirakan butuh lebih dari 10 tahun untuk sampai pada target itu. Dengan estimasi waktu tersebut, pemberian vaksin tentu kalah cepat dengan tingkat penularan virus corona.
Melansir Reuters, Direktur Eksekutif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Michael Ryan mengatakan kehadiran vaksin bisa jadi momen hilangnya konsentrasi pemerintah dalam menghadapi pandemi. Maka, langkah 3T (testing, tracing, treatment) yang masif dan protokol kesehatan harus terus diterapkan.
Indonesia pun perlu lebih memerhatikan penerapan 3T dan protokol kesehatan, meskipun telah memvaksinasi 3,3 juta orang hingga 9 Maret 2021. Hal ini lantaran penularan Covid-19 masih tinggi. Tingkat kepositifan (positivity rate) harian, misalnya, masih di kisaran 20-30% selama tiga bulan pertama tahun ini. Angka ini jauh di atas ambang batas WHO yang sebesar 5%.
Data Satuan Tugas Covid-19 pun mencatat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih rendah. Baru 10 provinsi yang memiliki rata-rata kepatuhan menggunakan masker di atas 80% pada 22-28 Februari 2021. Sementara, hanya 11 provinsi yang memiliki rata-rata kepatuhan menjaga jarak di atas 80% pada periode sama.
Bila Indonesia ingin terhindar dari gelombang ketiga Covid-19, maka pemerintah tak bisa hanya berpangku tangan dan puas dengan proses vaksinasi. Virus akan bergerak lebih cepat dari vaksin dan cara yang ampuh menangkalnya adalah dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan mengoptimalkan 3T.
Pemerintah pun perlu mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang berpotensi meningkatkan penyebaran Covid-19, seperti membuka pariwisata untuk turis asing. Hal ini agar tidak mengulangi keterlambatan pencegahan penularan Covid-19 seperti pada awal 2020 lalu dan menyebabkan jutaan orang terinfeksi.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi