Dunia digital memberi warna baru bisnis di sektor keuangan. Salah satunya adalah layanan keuangan berbasis teknologi (fintech) Peer-to-Peer Lending (P2PL). Fintech Lending ini menjembatani peminjam dengan pemberi pinjaman bertransaksi tanpa bertemu langsung.
Fintech pinjaman online (pinjol) ini pun termasuk yang tumbuh pesat. Hingga Februari 2021, tercatat total penyaluran dananya mencapai Rp 169,5 triliun. Jumlah peminjam melonjak 899% dari 4,36 juta nasabah pada 2018 menjadi 43,56 juta nasabah per Desember 2020.
Namun di balik pertumbuhannya yang pesat, fintech Lending menyimpan masalah. Terutama dari maraknya pinjol ilegal.
Dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat 1.026 fintech ilegal pada 2020. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 1.490 perusahaan. Padahal hingga saat ini OJK hanya memberikan izin usaha kepada 148 pinjol yang terdaftar.
Maraknya fintech ilegal sejalan dengan meningkatnya jumlah pengaduan ke OJK. Pada Desember 2020, misalnya, terdapat 6.787 aduan. Sementara pada Maret 2021, total pengaduan ke OJK mencapai 5.421 aduan.
Di luar OJK, tak sedikit nasabah fintech yang mengadukan masalahnya ke lembaga lain. Misalnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang pada Desember 2018 menerima 1.330 aduan. Jumlah aduan tersebut meningkat lebih tiga kali lipat menjadi 4.500 aduan pada Juni 2019.
Tirta Segara, Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen OJK, mengakui pertumbuhan pasar fintech Lending juga diiringi peningkatan kasus bermasalah. Diakuinya pula, sulit memberantas perusahaan-perusahaan ilegal tersebut. Hal ini lantaran aplikasi atau situs web yang ditutup dapat aktif kembali melalui replikasi.
“Banyak (fintech ilegal) yang tidak memiliki kantor fisik dan menggunakan server di luar negeri,” kata dia seperti dikutip dari Tempo.co.
Di sisi lain, masyarakat cenderung tidak berpikir panjang ketika memutuskan mencari pinjaman secara online. Apalagi karakter pinjaman ini lebih mudah diakses dengan teknologi. “Sepertinya mudah tiap saat (pinjaman) cair hanya disentuh dengan ujung jari, tapi menjebak,” ujar Tirta.
Padahal, tak sedikit kasus yang muncul akibat praktik fintech ilegal tersebut. Seperti yang dialami Rahayu ketika meminjam dana Rp 700 ribu dari salah satu aplikasi. Ketika akan melunasi pinjaman yang jatuh tempo sebesar Rp 1 juta, tiba-tiba aplikasi tidak dapat diakses sehingga dia kesulitan melakukan pengembalian pinjaman.
Tiba-tiba di hari ke-33 setelah jatuh tempo muncul pesan tagihan melalui Whatsapp, untuk membayar Rp 3,6 juta. Tak hanya itu, penagih pun mengancam menyebarkan foto dirinya lengkap dengan alamat dan nomor ponselnya ke sejumlah kontak yang ada di ponselnya.
Apa yang dialami Rahayu juga terjadi pada sejumlah nasabah. Selain penyebaran data pribadi, tak jarang mereka mengalami teror. Bahkan ada beberapa kasus yang mendorong nasabah melakukan bunuh diri.
Sardjito, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, mengatakan pihaknya telah memetakan sejumlah masalah dari keluhan terkait pinjaman online ilegal. Misalnya, terkait keberatan pemberian fasilitas (1.696 layanan), keberatan biaya tambahan/denda (1.725 layanan), keberatan atas tagihan (2.487 layanan), serta masalah legalitas lembaga jasa keuangan dan produknya (2.821 layanan).
Namun yang jadi persoalan, kendati banyak aktivitas fintech ilegal yang dilaporkan, tapi hanya sedikit kasus yang terselesaikan. Seperti dikutip dari Kontan, LBH Jakarta telah melaporkan puluhan kasus ke pihak berwajib pada 2019, tapi hanya tiga kasus yang diproses dan memasuki tahap penyelidikan.
Sementara OJK, tidak dapat berbuat banyak karena tidak ada payung hukum yang mengatur fintech ilegal. Selama ini OJK hanya berwenang mengatur aktivitas fintech yang sudah terdaftar.
“Dari sisi hukum, kalau ada perbankan atau manajer investasi yang beroperasi secara ilegal bisa dihukum, tapi kalau fintech ilegal belum ada ketentuan pidananya,” ujar Sardjito yang dikutip dari Bisnis.com, 13 April 2021 lalu.
Pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Sirait berharap pemerintah tidak lepas tangan terhadap maraknya aplikasi tidak terdaftar. “Seharusnya ada perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang layak bagi konsumen pengguna aplikasi pinjaman daring,” kata dia.
Editor: Aria W. Yudhistira