Penggemar gim online yang terus meningkat membuat Indonesia menjadi pasar potensial industri gim dunia. Terutama gim mobile atau permainan piranti bergerak, yakni permainan video yang dimainkan pada telepon seluler, komputer tablet, konsol, kalkulator, atau jam digital.
We are Social dan Hootsuite mencatat pengguna internet di Indonesia sebanyak 202,6 juta orang per Januari 2021. Sementara jaringan mobile aktif mencapai 345,3 juta, atau 125,6% dari total populasi. Angka yang lebih tinggi lantaran ada penduduk yang menggunakan lebih dari satu gawai saat beraktivitas di internet.
Mayoritas pengguna internet memang memanfaatkan gawainya untuk melakukan percakapan atau bermedia sosial. Namun bermain gim adalah salah satu yang sering dilakukan. Sekitar 60,2% pengguna internet menggunakan aplikasi gim di gawainya. Mayoritas gawai yang mereka pakai adalah telepon pintar (smartphone) sebanyak 88,9%.
Menurut Statista, jumlah pemain gim mobile di Indonesia mencapai 54,7 juta pada 2020. Jumlahnya naik 24% dibandingkan 2019 sebanyak 44,1 juta. Hal ini sekaligus membuat porsi unduhan gim mobile Indonesia yang terbesar di Asia Tenggara.
Berdasarkan data AppAnnie, 30% unduhan gim mobile di Asia Tenggara ada di Indonesia pada 2020. Posisi kedua ditempati Vietnam sebesar 22%, Filipina (16%), Thailand (15%), dan Malaysia (8%). Sedangkan, proporsi unduhan gim online dari Singapura di Asia Tenggara hanya sebesar 1%.
Seiring hal tersebut, pendapatan dari gim mobile di Indonesia pun mencapai sebesar US$ 1,3 miliar pada 2020, naik 10,8% dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 982 juta. Pendapatan tersebut diperkirakan meningkat menjadi US$ 1,5 miliar pada 2021.
Menurut Statista, nilai tersebut merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, mengalahkan Filipina (US$ 1,03 miliar), Thailand (US$ 286 juta), Malaysia (US$ 236 juta), Vietnam (US$ 205 juta), dan Singapura (US$ 114 juta).
Meski demikian, industri gim dalam negeri belum merasakan keuntungan tersebut. Mayoritas pendapatan diraup perusahaan gim luar negeri. Sementara pangsa pasar gim lokal masih sangat kecil.
Menurut CEO Agate, Arief Widhiyasa, sebanyak 68% pangsa pasar gim di tanah air dikuasai Tiongkok. Gim mobile asal Negeri Panda itu, antara lain PUBG, Game for Peace, Clash of Clans, dan lainnya.
“Pangsa pasar gim lokal hanya 0,4%,” kata dia dalam acara Next Gen Summit 2021 pada 6 April 2021 lalu. Arief mengatakan, salah satu penyebab industri gim lokal kalah bersaing lantaran minimnya investasi.
Dalam laporan bertajuk "Peta Ekosistem Industri Game 2020", sebanyak 67,5% perusahaan gim lokal menggunakan biaya personal sebagai pendanaan. Perusahaan yang mendapatkan pendanaan dari angel investment hanya sebesar 10,8%, venture capital investment 4,8%, incubator/accelarator 3,6%, dan crowdfunding 1,2%/. Sementara, ada 12% perusahaan yang mendapatkan sumber pendanaan dari lainnya.
Adapun, Arief memperkirakan modal yang masuk ke industri gim lokal hanya US$ 2 juta dalam setahun. Angkanya jauh dibandingkan investasi ke industri gim di Tiongkok, Korea Selatan, dan Vietnam yang masing-masing sebesar US$ 5 miliar, US$ 1 miliar, dan US$ 50 juta.
Minimnya investasi membuat biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi gim tak sampai Rp 10 juta per tahunnya. Hal tersebut membuat kualitas gim sulit bersaing dengan produk asing.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menambahkan, industri lokal kesulitan melakukan promosi lantaran tingginya biaya. “Ini yang membuat banyak (pengguna) yang lebih minati gim dari luar,” kata dia kepada Katadata.co.id pada Selasa, 1 Juni 2021.
Terhambat Pandemi Corona
Persoalan yang dihadapi industri gim lokal bertambah seiring pandemi Covid-19. Dalam laporan "Peta Ekosistem Industri Game 2020" yang disusun Kominfo, LIPI, dan Asosiasi Game Indonesia (AGI), sekitar 57% perusahaan mengalami penurunan produktivitas selama masa pagebluk.
Kondisi ini terjadi lantaran banyak perusahaan gim yang tidak bisa melakukan kegiatan produksi secara jarak jauh. Ditambah lagi, infrastruktur dinilai tidak memadai untuk karyawan bekerja dari rumah.
Perusahaan, khususnya yang berskala mikro, terkendala dalam pemasaran. Penyebabnya promosi gim selama ini lebih banyak mengandalkan acara fisik ketimbang virtual.
“Tidak ada event fisik seperti pameran. Sementara perusahaan klien cenderung berhati-hati mengeluarkan uangnya. Akibatnya lebih sulit mendapatkan klien,” kata Ketua Umum AGI Cipto Adiguno saat dihubungi Katadata.co.id pada Senin, 31 Mei 2021.
Berbagai kendala tersebut membuat waktu pengerjaan gim semakin panjang, sehingga biaya produksi dan operasional semakin membengkak. Sejumlah perusahaan pun terpaksa memundurkan jadwal rilis produknya atau memperpanjang masa produksi. Bahkan ada yang menghentikan produksi sehingga harus mengurangi tenaga kerja.
Atas dasar itu, pelaku industri berharap intervensi pemerintah, terutama dalam hal pendanaan yang selama ini mayoritas berasal dari kocek pribadi. Selain itu ada promosi yang intensif, baik secara offline maupun online.
Pemerintah juga diharapkan perlu mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM) dari berbagai macam kompetensi untuk menghasilkan produk gim. “Terlebih kesediaan dari universitas masih terbatas, karena banyak konsentrasi keilmuan yang tidak eksplisit memenuhi kebutuhan industri,” tulis laporan penelitian Kemenkominfo, Lipi, dan AGI tersebut.
Editor: Aria W. Yudhistira