Indonesia telah menjadi salah satu episentrum Covid-19 di dunia. Sepanjang Juni 2021, kasus harian Covid-19 mengalami lonjakan hingga empat kali lipat. Dari sekitar 5 ribu kasus per hari pada awal bulan menjadi 20 ribu kasus per hari pada akhir Juni. Hingga pertengahan Juli, lonjakan kasus makin berlipat mencapai 50 ribu kasus per hari.
Lonjakan kasus terjadi seiring tingginya mobilitas masyarakat setelah Idul Fitri. Pada waktu bersamaan, pemerintah mendeteksi adanya varian Delta di sejumlah wilayah di Jawa. Varian baru asal India ini memiliki daya tular yang lebih cepat dibandingkan varian lainnya. Akibatnya, tingkat keterisian ruang isolasi rumah sakit di sejumlah kabupaten dan kota terus merangkak, bahkan beberapa telah melampaui 90%.
Dengan latar belakang tersebut, Presiden Joko Widodo pada 1 Juli mengumumkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali. Kebijakan yang berlaku 3 sampai 20 Juli 2021 bertujuan menekan mobilitas masyarakat sehingga laju penularan virus varian baru bisa melambat.
Harapannya, pemerintah bisa melakukan sejumlah strategi lain untuk membentuk kekebalan komunitas. Strategi yang harus dicapai dalam PPKM Darurat, yaitu meningkatkan tes Covid-19 hingga 400-500 ribu per hari, pelacakan lebih dari 15 kontak erat tiap kasus terkonfirmasi, jumlah kasus di bawah 10 ribu per hari, tingkat kepositifan (positivity rate) di bawah 10 persen, vaksinasi 1 juta per hari, dan penurunan mobilitas masyarakat hingga 30%.
Belum Efektif
Persoalannya selama penerapan PPKM Darurat, target yang ingin dicapai pemerintah tidak terpenuhi. Jumlah kasus baru cenderung meningkat. Demikian pula angka kematian harian, dari kisaran 400-500 kasus pada awal Juli 2021 menjadi 800-900 kasus pada pertengahan Juli. Pemerintah pun mengakui jika PPKM Darurat belum optimal mengendalikan Covid-19.
“Sebagai koordinator PPKM Jawa-Bali, dari lubuk hati yang paling dalam saya ingin meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers virtual Evaluasi Pelaksanaan PPKM Darurat, Sabtu, 17 Juli 2021.
Belum optimalnya PPK Darurat juga tercermin dari tingkat kepositifan yang belum menunjukkan penurunan. Selama periode PPKM Darurat 3-20 Juli, rata-rata rasio positif nasional masih di angka 30%. Bahkan rasio positif mingguan di berbagai kabupaten/kota juga masih tinggi. Artinya, penularan virus corona masih tinggi selama PPKM berlangsung.
Berdasarkan data Kemenkes, rasio lacak mayoritas kabupaten/kota 1,0 poin selama PPKM Darurat berlangsung. Artinya, hanya satu orang terlacak dari tiap kasus yang terkonfirmasi. Rasio lacak tertinggi ada di Bali sebesar 2.8 dan Sumatera Utara dengan RLI sebesar 3.3 poin.
Dari sekian target yang belum terpenuhi, juru bicara vaksinasi COVID-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, PPKM telah menunjukkan hasil positif secara perlahan. Hal itu dibuktikan berdasarkan angka keterisian tempat tidur di rumah sakit atau Bed Occupancy Rate (BOR) di Provinsi Jawa-Bali yang menurun.
“Terkait keterisian tempat tidur di tingkat provinsi relatif menurun, walaupun sebagian besar provinsi di Jawa-Bali masih tingkat kapasitas respons yang sama," kata Nadia pada konferensi pers PPKM, Rabu 21 Juli 2021.
Nadia mengatakan, untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, angka BOR telah mengalami penurunan di bawah 80%. Hal ini juga terjadi di Bali.
Selain itu, data menunjukkan adanya perlambatan jumlah pada Senin 19 Juli 2021 dengan jumlah 34.257 kasus. Turun dari jumlah sehari sebelumnya yang mencapai 44.721 kasus, turun lebih dari 10 ribu kasus. Sayangnya, jumlah tambahan kasus harian tersebut masih melebihi target di bawah 10 ribu kasus yang ditargetkan pemerintah selama PPKM Darurat.
Pengamat kebijakan publik Yanuar Nugroho mengatakan, turunnya angka BOR dan kasus Covid-19 ini tentunya melegakan. Namun, pemerintah juga harus memperhatikan bahwa pemeriksaan Covid-19 di tengah masyarakat juga ikut turun.
Hal itu menurutnya, yang menjadi salah satu indikator belum optimalnya PPKM. Sementara, angka BOR turun di sejumlah daerah di Jawa, terutama karena adanya penambahan jumlah tempat tidur.
“Jadi, menurut saya, sebaiknya pemerintah tidak buru-buru menyatakan PPKM Darurat ini berhasil atau gagal hanya dengan melihat angka kasus harian dan BOR. Tanpa melihat apa di belakang angka-angka tersebut,” ujar Yanuar kepada Katadata.co.id, Rabu 21 Juli 2021.
Jumlah pemeriksaan Covid-19 pun jauh dari target 400 ribu per hari. Kemenkes mencatat, angka tes Covid-19 sempat mencapai 188.551 orang pada 17 Juli 2021, tetapi kemudian mengalami penurunan menjadi 116.674 pada 20 Juli 2021 yang menjadi hari terakhir pelaksanaan PPKM Darurat. Artinya, secara rata-rata, jumlah orang yang dites selama PPKM Darurat pada 3-20 Juli 2021 pun hanya sekitar 140 ribu orang per hari.
“Terkait capaian testing, tiga hari terakhir, hanya empat kabupaten kota yang mencapai target di atas 90%, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, DIY, Surakarta, Sumenenp,” ujar Siti Nadia.
Indikator lain belum optimalnya pelaksanaan PPKM Darurat, menurut Yanuar, adalah kurangnya dukungan pemerintah terhadap masyarakat. Terutama melalui skema perlindungan sosial.
Seharusnya perlindungan sosial untuk masyarakat, serta pemberian insentif untuk tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan diberikan bersamaan sejak awal PPKM Darurat diberlakukan.
“Tapi dari berbagai laporan masyarakat dan media, kita tahu bahwa banyak masyarakat yang seharusnya berhak mendapatkan perlindungan sosial ini tidak mendapatkannya,” kata Yanuar.
“Bukan hanya selama PPKM Darurat, bahkan sejak jauh sebelumnya. Demikian juga dengan insentif fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan telat berbulan-bulan.”
Yanuar berpendapat, jika situasi ini dibiarkan, maka akan memberi sinyal kepada masyarakat bahwa PPKM menyengsarakan hidup mereka. Padahal ini karena pemerintah terlambat menyalurkan bantuan sosial.
Senada disampaikan epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono, bahwa pemerintah perlu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menekan penularan. Sebab, partisipasi masyarakat saat ini masih rendah. "Yang penting implementasi PPKM darurat. Itu menjadi kunci perbaikan pandemi," ujar dia.
Perlu Pembatasan dari Hulu ke Hilir
Belum optimalnya pelaksanaan PPKM Darurat bukan berarti pembatasan mobilitas harus diakhiri. Justru implementasi PPKM lanjutan, yaitu level 4 perlu diperbaiki dengan monitor dan evaluasi.
Pandu mengusulkan agar pemerintah melakukan evaluasi PPKM secara rutin, setiap satu atau dua pekan. "Saat ini monitor dan evaluasinya belum ada. Ini pencegahannya lemah," katanya.
Yanuar pun setuju dengan perpanjangan PPKM level 4 sebagai upaya menekan aktivitas masyarakat. Khususnya di sektor formal seperti perkantoran dan sekolah, yang diharapkan mengurangi penularan virus varian baru. Meski dia pun tidak menampik, pembatasan sosial di sektor informal seperti pasar dan pengusaha UMKM lebih sulit dilakukan. Ini tidak lepas karena upaya masyarakat bertahan hidup.
“PPKM mesti diteruskan hingga kurva kasus pandemi sungguh terbukti melandai. PPKM ada di hulu untuk membatasi pergerakan, tetapi di hilir harus terus digenjot testing, tracing, treatment, prokes, dan vaksinasi,” ucap Yanuar.
Lebih lanjut, Yanuar menegaskan, agar pelaksanaan PPKM di daerah berjalan lancar, pemerintah daerah (pemda) harus mempunyai pemahaman yang substansial mengenai pandemi ini. Pemantauan dan evaluasi PPKM level 4 juga perlu dilakukan oleh pemda.
“Pemda harus memastikan warga mengurangi mobilitas seketat-ketatnya dan memastikan penyaluran berbagai skema perlindungan sosial tersebut secepat-cepatnya,” kata Yanuar.
Editor: Aria W. Yudhistira