Advertisement
Analisis | Lapas di Indonesia Menanggung Beban Berat - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Lapas di Indonesia Menanggung Beban Berat

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Katadata
Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang pada awal September 2021 lalu merupakan puncak gunung es dari pengelolaan penjara di Indonesia. Hampir semua lapas kelebihan kapasitas. Ini juga berhulu dari begitu mudahnya aparat hukum memidanakan seseorang.
Dimas Jarot Bayu
14 September 2021, 19.08
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Nahas bagi 46 narapidana di Lembaga pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang. Mereka menjadi korban tewas ketika si jago merah melalap tempat mereka menjalani masa hukuman pada Rabu, 8 September 2021, pukul 01.45 WIB.

Saat terjadi kebakaran, lapas dihuni oleh 2.072 narapidana yang kebanyakan adalah terpidana dalam kasus narkoba. Jumlah itu 3,5 kali lebih tinggi dibandingkan kapasitas idealnya, yakni sebanyak 600 orang tahanan.

Kelebihan kapasitas tersebut menyebabkan petugas kesulitan melakukan evakuasi saat terjadi kebakaran. Apalagi lapas merupakan lokasi yang rawan. Sejak 2019, tercatat 13 kasus kebakaran lapas di berbagai daerah. 

"Overcrowding tentunya akan mempersulit pengawasan, perawatan lapas, sampai dengan proses evakuasi cepat apabila terjadi musibah seperti kebakaran,” kata peneliti Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulisnya pada Rabu, 8 September 2021.

Kelebihan kapasitas lapas hampir terjadi di semua wilayah. Data menyebutkan, total penghuni lapas di seluruh Indonesia mencapai 265.915 orang per 10 September 2021. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari kapasitasnya yang sebesar 135.561 orang.

Hanya Kantor Wilayah (Kanwil) Yogyakarta, Gorontalo, dan Maluku Utara yang tidak mengalami overkapasitas lapas. Itu pun hanya terjadi di beberapa lapas saja.

Sebagai contoh, ada empat lapas yang masih mengalami overkapasitas di Yogyakarta. Keempatnya adalah Lapas Kelas II B Sleman (111%), Rutan Kelas II B Bantul (123%), Rutan Kelas II B Wates (120%), dan Rutan Kelas II B Wonosari (124%). 

Di Gorontalo, ada satu lapas yang mengalami kelebihan kapasitas, yakni Lapas Kelas II A Gorontalo (158%). Sementara, ada tiga lapas di Maluku Utara yang masih mengalami kelebihan kapasitas, antara lain Lapas Kelas II A Ternate (144%), Lapas Kelas II B Sanana (172%), dan Rutan Kelas II B Ternate (125%)..

Ada sejumlah sebab terjadinya overkapasitas lapas yang terjadi di Indonesia. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, hal tersebut karena Indonesia masih memidanakan para pengguna narkoba.

Dari 145.405 narapidana kasus narkoba hingga akhir Agustus 2021, sekitar 28.640 orang atau 24,5% merupakan pengguna. Total narapidana kasus narkoba tersebut, mencapai 54,6% dari total penghuni lapas di seluruh Indonesia.

“Permasalahan kita adalah pelanggaran tindak pidana narkotika yang mewakili lebih dari 50% overkapasitas di seluruh lapas di Indonesia," kata Yasonna di Lapas Kelas 1 Tangerang pada Rabu, 8 September 2021.

Di sisi lain, total peserta program rehabilitasi melalui Badan Narkotika Nasional (BNN) masih minim. Berdasarkan data BNN, terdapat 32.706 orang yang telah menjalani rehabilitasi narkoba sejak 2012. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan jumlah napi kasus narkoba yang berada di lapas pada saat ini.

Berdasarkan kondisi tersebut, Yasonna menilai perlu ada perubahan paradigma dalam penanganan kasus narkoba. Menurutnya, Indonesia tak bisa lagi menitikberatkan pemidanaan kepada pengguna narkoba.

Alih-alih dipenjara, dia meminta agar para pengguna narkoba menjalani rehabilitasi. “Kalau semua kita masukkan ke lapas nggak muat,” ujar Yasonna.

Hal senada disampaikan pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ma’ruf Bajammal. Menurut Ma’ruf, pemerintah dan DPR seharusnya mendorong reformasi pendekatan pidana penjara kepada pengguna narkoba dengan hukuman alternatif nonpenjara.

Sejauh ini, Ma’ruf menilai upaya tersebut mandek lantaran revisi Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tak kunjung dibahas. Padahal, revisi UU tersebut telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) sejak 2019.

“Ini menunjukkan tahapan revisi UU Narkotika dilakukan setengah hati,” kata Ma’ruf dalam konferensi virtual pada Minggu, 12 September 2021.

Selain mempercepat pembahasan revisi UU Narkotika, dia berharap pemerintah melakukan upaya asimilasi dan integrasi terhadap warga binaan, terutama yang terkait kasus narkoba dengan kualifikasi pengguna.

Adapun, Ketua Komisi III DPR Herman Herry menilai proses pembahasan RUU Narkotika sebaiknya ditanyakan kepada pemerintah. Pasalnya, RUU tersebut merupakan usulan dari pemerintah.

Di samping itu, Herman menilai RUU Narkotika tak cukup untuk mengatasi persoalan overkapasitas lapas di Indonesia. Menurutnya, perlu dipikirkan juga untuk melakukan revisi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

“Serta revisi KUHP untuk memberikan opsi pemidanaan berupa sanksi sosial,” kata Herman kepada Katadata.co.id pada Senin, 13 September 2021.

Editor: Aria W. Yudhistira