Pemerintah kembali menurunkan harga tes polymerase chain reaction (PCR). Harga eceran tertinggi (HET) dipatok sebesar Rp275.000 di Jawa-Bali dan Rp300.000 di luar Jawa-Bali. Harga tersebut turun drastis dibandingkan saat awal pandemi Covid-19.
Harga tes PCR memang kerap menimbulkan polemik. Masyarakat banyak yang mengeluhkan harga untuk pemeriksaan Covid-19 tersebut dinilai terlalu mahal. Salah satunya terlihat dari hasil survei Media Survei Nasional (Median) pada akhir Agustus 2021 lalu.
Ketika itu, sebanyak 91,8% dari 1.000 responden yang disurvei menganggap harga tes PCR dan antigen di Indonesia mahal. Keluhan tersebut merata di semua wilayah. Di Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi, dan wilayah Indonesia timur lainnya mencapai 100%. Sementara di Jawa dan Sumatra masing-masing 91,7% dan 83,3%.
Keluhan itu bukan isapan jempol belaka. Sky Trax Ratings sempat melakukan riset biaya untuk mengetahui perbedaan harga tes PCR di berbagai bandara seluruh dunia pada April 2021 lalu. Hasilnya, harga di bandara Indonesia masuk dalam daftar 10 besar termahal di Asia. Tercatat, Denpasar dan Jakarta menduduki peringkat keenam dan ketujuh masing-masing sebesar US$ 61 dan US$ 54.
Demi mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah tiga kali menurunkan harga tes PCR di Indonesia. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), evaluasi tarif pertama kali dilakukan pada 5 Oktober 2020 menjadi Rp 900 ribu.
Evaluasi kembali dilakukan pada 16 Agustus 2021 dan menetapkan tarif tes PCR menjadi Rp 495 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp 525 ribu di luar Jawa-Bali. Terakhir, tarif kembali diturunkan menjadi sebesar Rp 275 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp 300 ribu di luar Jawa-Bali pada 27 Oktober 2021.
Juru bicara vaksinasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, evaluasi terhadap harga tes PCR tersebut dilakukan secara berkala. Tujuannya memastikan masyarakat mendapatkan pemeriksaan sesuai dengan harga yang harus dibayarkan.
“Proses evaluasi harga ini tentunya dilakukan untuk menutup masuknya kepentingan bisnis dan menjamin kepastian harga bagi masyarakat,” kata Nadia dalam keterangan tertulisnya pada Minggu, 7 Oktober 2021.
Meski demikian, masih banyak pihak yang merasa tarif tes PCR bisa ditekan lebih murah. Direktur Business Development PT Daya Dinamika Sarana Medika (DDSM) Wahyu Prabowo mengatakan, harga tes PCR sekarang seharusnya dapat berada di kisaran Rp 175 ribu.
Bahkan, tarif tes PCR masih dapat turun di kisaran Rp 120 ribu-Rp 130 ribu. “Kenapa bisa berbeda harga PCR? Karena mengambil keuntungannya beda,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, harga tes PCR dapat lebih murah lantaran harga reagen kemungkinan turun dalam beberapa minggu ke depan menjadi Rp 90 ribu-Rp 110 ribu. Apalagi, sudah ada 200 reagen PCR yang masuk ke Indonesia dan mendapatkan izin edar dari Kemenkes.
Harga reagen merupakan komponen terbesar dari tarif tes PCR. Berdasarkan data Kemenkes, proporsi harga reagen dalam struktur biaya tes PCR mencapai 45%-55%.
Laporan Bio Farma juga mencatat, reagen yang masuk biaya produksi dan bahan baku memiliki proporsi sebesar 55% dari struktur tarif tes PCR. “Memang dari structure cost terbesar itu dari komponen reagen utamanya,” kata Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa, 9 November 2021.
Selain itu, Honesti menilai harga tersebut dapat diturunkan jika tes PCR menggunakan air liur atau BioSaliva. Selama ini, tes PCR lebih banyak dengan mengambil spesimen dari hidung dan tenggorokan (nasofaring).
Dengan menggunakan air liur, komponen biaya alat pelindung diri (APD) yang masuk dalam biaya operasional dapat dipangkas. Tercatat, proporsi biaya operasional dalam struktur tarif tes PCR mencapai 16%. “Karena tidak perlu APD, bisa dilakukan massal,” kata Honesti.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menambahkan, komisi yang didapatkan oleh perusahaan dan distributor tes PCR seharusnya juga dapat ditekan. Pada saat ini, proporsi keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan dan distributor masing-masing mencapai 10% dan 14%.
Bhima menilai, keuntungan dari tes PCR idealnya bisa di bawah 5%, khususnya bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Bio Farma. “Apalagi dalam situasi pandemi seperti ini, artinya memang tidak bertujuan mencari keuntungan,” kata Bhima kepada Katadata.co.id pada Senin, 15 November 2021.
Lebih lanjut, penurunan tarif bisa dilakukan dengan membebaskan biaya PPN dalam tes PCR. Berdasarkan data Bio Farma, pengenaan PPN masih diterapkan terhadap tes PCR, baik di harga publikasi maupun e-katalog.
Menurut Bhima, pemerintah dapat menanggung pungutan pajak lewat subsidi. Ini dapat dilakukan dengan merealokasi sisa lebih anggaran (Silpa) hingga Rp 169,9 triliun hingga September 2021.
Selain itu, pemerintah bisa menggunakan dana penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang masih belum terserap secara optimal. Realisasi anggaran penanganan Covid-19 dan PEN tercatat baru mencapai Rp 483,91 triliun atau 65% dari pagu Rp 744,77 triliun.
“Tes PCR ini seakan diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam situasi krisis ini tidak ideal, karenanya pemerintah sebaiknya merealokasikan anggaran eksisting yang belum optimal untuk menyubsidi tes PCR,” kata Bhima.
Editor: Aria W. Yudhistira