Advertisement
Analisis | Kelas Menengah Indonesia Terjepit Hingga Makan Tabungan - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Kelas Menengah Indonesia Terjepit Hingga Makan Tabungan

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani
Masyarakat kelas menengah Indonesia sedang terjepit. Mereka rentan terkena dampak perubahan ekonomi, serta kenaikan harga bahan pokok. Namun berbeda dengan kelompok miskin, mereka tidak memperoleh jaring pengaman sosial dari pemerintah. Indonesia akan merugi jika jumlah penduduk kelas menengah ini berkurang.
Leoni Susanto
26 Agustus 2024, 08.34
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Kelas menengah Indonesia terjepit. Mereka terkena dampak turunnya kondisi perekonomian dan kenaikan harga bahan pokok, tetapi tidak memperoleh insentif dari pemerintah. Alhasil salah satu cara bertahan adalah dengan menarik tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sebut saja Asta (30) yang membagikan cuitannya di platform X.

“Sebagai kelas menengah, gue merasakan semakin tua semakin downgrade. Kenapa? Lapangan pekerjaan susah dan pakai batasan umur. Usaha? Sudah pernah dan bangkrut. Gue bukan orang kaya yang punya relasi buat bantu masarin usaha gue atau nyari investor. Gue pun bisa kuliah hasil jerih payah sendiri,” tulisnya pada Rabu, 15 Agustus lalu.

November tahun lalu, Asta baru saja di-PHK dari salah satu perusahaan retail setelah tiga tahun bekerja sebagai supervisor di sana. Dia sempat mencoba membuka usaha warung makan lewat sisa tabungan yang dia punya, tetapi terpaksa tutup menjelang Ramadan lalu. Asta juga mulai putus asa setelah berulang kali gagal memperoleh pekerjaan baru.

Sekarang dia bekerja serabutan. Tidak lagi ada tunjangan seperti sebelumnya. Jika ditotal, rata-rata pendapatannya yang tidak menentu ini hanya mencapai setengah atau bahkan sepertiga dari pendapatannya sebagai supervisor. Padahal, Asta termasuk generasi sandwich yang harus menafkahi ibu dan adiknya yang masih kuliah.

“Itu tidak termasuk hitung (pendapatan) kecil-kecil dari misal permintaan ketik, karena pasti sudah langsung habis buat makan hari itu atau besoknya. Atau buat isi token listrik,” cerita Asta saat dihubungi Katadata.co.id pada Kamis, 22 Agustus.

Fenomena “makan tabungan” telah menjadi perbincangan di media sosial beberapa waktu terakhir. Kondisi ini akibat kemampuan untuk menabung menurun, sementara beban kebutuhan pokok semakin meningkat disebabkan inflasi. Mereka menggunakan tabungan, yang tadinya sebagai dana darurat dan kebutuhan lain, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jika melihat data 20 tahun terakhir, proporsi kelompok kelas menengah sebenarnya mengalami peningkatan yang signifikan dari 5% pada 2003 menjadi 23% pada 2018. Kenaikan ini seiring dengan semakin banyak penduduk yang keluar dari kelompok penduduk rentan dan miskin. Mereka naik tingkat menjadi calon kelas menengah atau aspiring middle class (AMC) dan kelas menengah. 

Jika melihat proporsi dari 2007 ke 2014 saja, ada 5,5% kelompok miskin naik tingkat menjadi kelas menengah, kemudian 10,2% kelompok rentan dan 23,2% kelas AMC naik menjadi kelas menengah. Meskipun sebanyak 37,9% kelompok menengah turun tingkat menjadi AMC, tetapi sebanyak 51,9% kelompok menengah masih bisa bertahan pada kondisi yang sama.

Menurut wawancara The Wall Street Journal dengan ekonom Bank Dunia dan Brookings Institution Homi Kharas, kelas menengah didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki cukup pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan begitu, mereka memiliki pilihan untuk menggunakan sisa uang untuk kebutuhan tersier seperti liburan, hiburan, dan sejenisnya.

Kelas menengah juga identik sebagai kelompok masyarakat yang menabung. Mereka berinvestasi pada perabotan rumah tangga, mobil, rumah, hingga tabungan pendidikan untuk anak-anak. Kelompok menengah juga memiliki karakteristik bisa menabung untuk masa pensiun.

Karenanya, kelas menengah digambarkan sebagai kelompok aktif yang akan menuntut hak, terutama ketika terjadi inflasi dan ketidaksetaraan lainnya.

Bank Dunia mengelompokkan kelas masyarakat berdasarkan pengeluaran untuk konsumsi. Kelompok menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran di kisaran US$7,75 sampai US$38 per kapita per bulan atau sekitar Rp1,2 juta sampai Rp6 juta. 

Namun, tren kenaikan proporsi kelas menengah di Indonesia berubah sejak 2018. Proporsi kelompok kelas menengah menunjukkan penurunan hingga mencapai 18,8% pada 2023. Lantas ke mana kelompok kelas menengah ini? 

Jika melirik ke kelompok kelas atas, proporsinya cenderung stabil di 0,4% dari total populasi. Artinya Indonesia tidak terjadi kondisi yang dialami rata-rata negara di Eropa, yakni proporsi kelas menengahnya berkurang karena naik tingkat menjadi penduduk kaya.

Sebaliknya, penduduk kelas menengah Indonesia ini turun tingkat menjadi kelas AMC, rentan, bahkan miskin. Walaupun kemungkinan untuk menjadi penduduk miskin lebih kecil karena proporsi kelompok miskin juga terus mengalami penurunan. Kemungkinan yang paling besar adalah kelompok menengah kembali masuk ke kelompok AMC dan rentan.

Turunnya jumlah kelas menengah ini, menurut mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, diduga lantaran tingkat penyerapan lapangan pekerjaan formal yang berkurang. Kondisi ini terjadi terutama pada periode 2014-2024. "Penting sekali diperhatikan, perbaikan nasib kelas menengah akan banyak tergantung dengan kemampuan menciptakan lapangan kerja sektor formal," kata dia melalui akun Facebook-nya pada 24 Agustus lalu.

Pentingnya Kelas Menengah 

Negara dengan proporsi kelas menengah yang lebih besar cenderung tumbuh lebih cepat. Dalam laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, disebutkan bahwa porsi kelompok menengah Indonesia harus mencapai 70% jika Indonesia ingin menjadi negara maju pada 2045.

Semakin kecil proporsi kelas menengah suatu negara, menunjukkan semakin tinggi ketidaksetaraan pendapatan di negara tersebut. Artinya, kelompok menengah adalah salah satu kunci penting pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Kelompok menengah adalah salah satu penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran konsumsi tertinggi dibandingkan kelompok masyarakat lain. Kontribusi pajak mereka mencapai 50,7% dari total penerimaan pajak, antara lain pajak penghasilan, properti, dan kendaraan bermotor. 

Namun, mereka juga yang paling rawan terdampak kebijakan ekonomi dan keuangan pemerintah. Kelompok ini adalah yang paling rawan jika terjadi inflasi, terutama inflasi bahan pangan. Ini berbeda dengan kelompok masyarakat bawah yang masih memiliki jaring pengaman dari pemerintah seperti bantuan sosial. 

Seperti terlihat dari data proporsi kontribusi konsumsi kelas menengah untuk nasional yang menurun dari 41,9% pada 2018 ke 36,8% pada 2023. 

Fenomena penurunan proporsi kelompok menengah tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dialami negara lain. Amerika Serikat (AS) misalnya, mengalami fenomena ini sejak 1970-an. Mereka memiliki istilah “disappearing middle class”. 

Kelas menengah di AS turun karena berkurangnya lapangan pekerjaan bergaji tinggi di sektor manufaktur, peningkatan ketidaksetaraan ekonomi, dan inflasi yang menyebabkan kenaikan harga barang-barang yang dalam beberapa kasus lebih tinggi dari kenaikan gaji. Menurut Pew Research Center, porsi kelas menengah AS pada 1971 masih 61%, tetapi menurun menjadi 50% pada 2022.

Sebuah penelitian di Denmark menyebut kelas menengah secara ekonomi memang semakin rentan. Kekayaan mereka tidak likuid, jumlah tabungannya terbatas, dan utang yang terus naik. Ketika terjadi gejolak ekonomi, mereka kesulitan untuk mengantisipasi, sementara tidak memiliki jaring pengaman. 

Di Tiongkok, kepemilikan piano adalah indikasi status “kelas menengah” sebuah rumah tangga. Namun saat ini, terjadi lonjakan rumah tangga yang menyerah dan menjual piano bekas ke inventori, sehingga harganya turun. Kelompok menengah ini memilih tetap di rumah, mengurangi pengeluaran, dan mencoba kembali menabung.

Salah satu penyebab utama berkurangnya kelas menengah di Tiongkok adalah krisis properti yang terjadi sejak 2021. Ini terjadi ketika pengembang real estate raksasa Evergrande mengumumkan tidak bisa melunasi kewajiban obligasinya. Hal ini mengakibatkan turunnya angka pembangunan rumah dan pembelian rumah.

Harga rumah yang terus turun menyebabkan kelas menengah yang menggantungkan kekayaannya pada properti ikut terdampak. Hal ini berdampak pada penerimaan pajak di Tiongkok, sebab semakin banyak masyarakat yang turun ke pendapatan di bawah 100 ribu yuan per tahun sehingga tidak masuk dalam golong wajib pajak.

Dalam diskusi publik “Warisan Kebijakan Ekonomi Jokowi: Kelas Menengah Terjepit, Utang Negara Melejit?” pada Rabu, 7 Agustus, ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri menyebut, negara-negara yang memiliki kebijakan untuk kelas menengah adalah Australia dan negara-negara skandinavia.

Tabungan Menipis, Terjepit Lapangan Kerja dan Inflasi

Chatib Basri menganalisis bahwa tren turunnya kelompok menengah di Indonesia seiring dengan menurunnya proporsi mereka dalam struktur tenaga kerja di Indonesia. “Mungkin ditengarai oleh turunnya ketersediaan pekerjaan untuk kelas menengah,” kata dia pada diskusi yang sama.

Kondisi industri manufaktur di Indonesia memang memburuk beberapa tahun terakhir. Pada Juli 2024 ini, indeks manufaktur atau Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia kembali pada zona kontraksi di level 49,3 setelah dua tahun berhasil masuk ke zona ekspansi. Padahal menurut Bank Dunia, sektor manufaktur adalah sektor yang bisa mendorong pertumbuhan kelas menengah di Indonesia.

 

Hal ini juga berkaitan dengan kebijakan dan relaksasi impor. Di AS, kelas menengah cenderung mendukung isu perdagangan bebas karena mereka sangat diuntungkan dengan barang-barang impor yang lebih murah. Dalam konteks Indonesia, banjir barang impor dari Tiongkok, menurut ekonom Homi Kharas, menjadi salah satu faktor pembentukan kelas menengah. 

Walaupun barang murah ini dapat menjaga inflasi, tetapi berdampak pada berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor-sektor tertentu yang menampung kelas menengah. 

“Kalau ada high-cost economy, sektor manufaktur tidak bisa membebankan kepada konsumen. Jadi yang terjadi adalah profit margin-nya dikecilkan. Kalau dikecilkan, tidak ada yang tertarik untuk investasi di sana,” kata Chatib Basri.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi melambat dan bisa mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama di industri padat karya, seperti tekstil. Pekerja kelas menengah bergeser ke sektor informal yang sarat ketidakpastian upah dan tanpa jaring pengaman sosial.

Padahal, kelas menengah sebagian bekerja di lapangan usaha formal yang digaji sesuai standar upah minimum atau di atasnya. Artinya, kelas menengah bisa dibilang bergantung pada kenaikan upah, tetapi tertekan oleh inflasi.

Porsi pengeluaran untuk makanan menjadi lebih besar untuk rumah tangga kelas menengah. Namun, kelas menengah tidak mendapat bantuan sosial dari pemerintah dan tidak cukup kaya seperti kelas atas. Ketika pendapatan turun, orang-orang cenderung mempertahankan tingkat konsumsi makanan mereka, sehingga proporsi pengeluaran untuk makanan pasti meningkat.

Di saat kelompok AMC, rentan, hingga miskin proporsi pengeluarannya untuk makanan berkurang dari 2018 ke 2023, sedangkan kelompok menengah cenderung stagnan dan naik tipis 0,2%. Kondisi ini diperparah dengan kenaikan suku bunga yang tinggi.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, kelas menengah banyak yang bergantung pada kredit untuk cicilan. Jika terjadi inflasi dan kenaikan tingkat suku bunga, maka kelompok ini yang paling merasakannya.

“Masyarakat menengah itu kebanyakan bergantung pada kredit, seperti kendaraan bermotor hingga KPR. Begitu suku bunganya meningkat, beban biaya cicilan menjadi besar. Ini mengurangi porsi biaya konsumsi lainnya,” kata Bhima saat dihubungi Katadata.co.id pada Jumat, 16 Agustus.

Akibatnya, masyarakat menjadi sulit menabung. Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), rata-rata saldo per nasabah dengan tabungan di bawah Rp100 juta turun signifikan setiap tahunnya. Pada 2014, rata-rata per nasabah masih memiliki tabungan di kisaran Rp4 juta. Saat ini, rata-rata tabungan hanya Rp1,8 juta. 

Merujuk data Mandiri Institute, rata-rata tabungan untuk kelompok menengah berada di kisaran Rp1 sampai Rp10 juta. Dalam riset tersebut, indeks tabungan kelompok menengah memang mengalami penurunan dari 100 pada Januari 2023 menjadi 96,2 pada Maret 2024.

Pentingnya Jaring Pengaman Kelas Menengah

Apa dampak terburuk yang terjadi jika kelompok menengah Indonesia turun menjadi AMC dan kelompok rentan?

Ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin yang semakin membesar. Menurut laporan LPEM UI, peran kelompok menengah sebagai kontributor pajak juga akan berkurang. Alhasil, pemerintah terpaksa harus memberikan dukungan fiskal. 

“Akibatnya, pemerintah akan menghadapi tekanan keuangan yang lebih besar dan mungkin perlu meningkatkan pengeluaran publik untuk subsidi,” tulis laporan LPEM UI.

Persoalannya, kelompok menengah di Indonesia adalah kelompok yang minim mendapat jaring pengaman sosial. Dalam hal penerimaan subsidi, kelompok yang paling banyak menerima subsidi adalah AMC (61,2%) dan kelompok rentan. Mereka mendapat jaring pengaman sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), hingga bantuan langsung tunai. Sedangkan penerima dari kelas menengah hanya 9%-nya saja. 

“Untuk kelas menengah-rentan, mereka yang sedikit saja di atas garis kemiskinan, itu tidak dilindungi dari program pemerintah. Mereka baru saja keluar dari garis kemiskinan, tidak lagi dapat bantuan sosial tapi terkena kondisi harga bahan pangan dan kesempatan kerja yang ketat,” kata Bhima Yudhistira.

Kelompok menengah juga berbeda dengan kelompok masyarakat kelas atas yang sudah menggunakan layanan swasta, misalnya untuk fasilitas kesehatan, pendidikan, hingga asuransi. Sebaliknya, kelompok masyarakat menengah masih banyak yang menggunakan layanan publik. 

Menurut riset Bank Dunia, kurang dari 1% kepala rumah tangga menengah-ke atas yang memiliki asuransi swasta. Sedangkan 12,69% kepala rumah tangga berpendapatan tinggi memiliki asuransi swasta.

Di Indonesia, kondisi ini berdampak pada tingginya masyarakat yang mencari pinjaman online (pinjol). Beban utang ini menyebabkan pada akhirnya memaksa mereka menjual aset. Ketika bonus demografi atau membesarnya porsi penduduk usia produktif berakhir, pemerintah bakal memiliki pekerjaan rumah jaring pengaman kelompok non-produktif yang membengkak. 

“Pasca-bonus demografi selesai, beban pemerintah dalam memberikan jaminan sosial pada kelompok non-produktif akan semakin berat. Secara kelas menengah tidak bisa menabung untuk usia tua. Jadi dependency ratio atau rasio ketergantungannya semakin berat,” kata Bhima.

Editor: Aria W. Yudhistira