Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat terdapat 245 kasus anak menderita gagal ginjal akut misterius hingga Senin, 24 Oktober 2022. Rasio kematian kasus tersebut tinggi, yakni mencapai 58% atau terdapat 141 kasus kematian akibat penyakit tersebut. Angka kasus ini kemungkinan masih akan terus bertambah.
Kasus pertama kali dilaporkan pada 2 Januari 2022. Namun, lonjakan kasus mulai terjadi pada Agustus. Sebagian besar terjadi pada kelompok usia 1-5 tahun yang mencapai 161 kasus atau 65%. Penyakit sudah menyebar di 26 provinsi dan DKI Jakarta yang terbanyak mencapai 55 kasus.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan penyebab merebaknya kasus gagal ginjal akut ini akibat mengonsumsi obat sirop yang mengandung senyawa kimia berbahaya. Senyawa kimia tersebut adalah etilen glikol (EG), serta turunannya seperti dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol mono-butyl ether (EGBE).
Kemenkes telah melakukan pengujian pertama kali ketika Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis empat obat sirop di Gambia yang mengandung senyawa tersebut. Di negara Afrika tersebut, tercatat sudah ada 70 anak yang meninggal akibat kontaminasi ini.
Sejak temuan itu, Kemenkes pun memeriksa kandungan EG beserta turunannya pada anak-anak penderita gangguan ginjal akut. Hasilnya, 7 dari 10 anak yang diperiksa menunjukkan ada kandungan senyawa tersebut di urin atau darahnya.
“Hasilnya kami simpulkan penyebabnya adalah obat-obat kimia yang merupakan cemaran dari pelarut obat itu,” ujar Budi di Istana Kepresidenan, Senin, 24 Oktober 2022.
Temuan ini lalu mendorong Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan surat edaran untuk menghentikan penjualan obat sirop sementara pada Selasa, 18 Oktober. Kemenkes mencatat, sejak penghentian tersebut jumlah kasus menurun.
Saat ini BPOM masih melakukan pengujian terhadap total 1.116 obat sirop yang beredar di Indonesia. Ada 971 atau 87% dari total obat sirop masih dalam tahap pengujian kandungan berbahaya.
Sementara, 133 obat dipastikan tidak mengandung propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin yang sering ditemukan terkontaminasi dengan EG dan turunannya. BPOM pun sudah merilis daftar 133 obat yang aman dikonsumsi tersebut.
Apa Itu Etilen Glikol?
Mengutip Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), etilen glikol (EG) adalah senyawa yang ditemukan di banyak produk konsumen. EG berbentuk cairan kental tanpa bau dan warna serta mudah terbakar.
Senyawa organik dengan rumus molekul C2H6O2 ini dihasilkan dari reaksi antara etilen oksida dan air. Adapun kombinasi dua molekul etilen glikol membentuk dietilen glikol (DEG).
EG, DEG, dan EGBE sama sekali bukan bahan baku dalam pembuatan obat karena sifatnya yang beracun. Kandungan EG dapat ditemukan dalam cairan antibeku, cairan rem hidrolik, tinta bantalan stempel, pulpen, pelarut, cat, plastik, film, dan kosmetik.
Ini pula yang membuat produsen EG di dunia didominasi perusahaan kimia industri, bukan perusahaan farmasi, seperti Shell Chemical (Singapura), Lotte Chemical (Korea Selatan), dan Petro Rabigh (Arab Saudi). Di Indonesia, dari penelusuran kami salah satu produsennya adalah PT Polychem Indonesia Tbk.
Indonesia juga melakukan impor EG untuk kebutuhan industri tekstil serta bahan baku tambahan pembuatan cat, cairan lem, solven (pelarut), tinta cetak, tinta pada pena, foam stabilizer, kosmetik, dan bahan anti beku.
Pada 2021, Indonesia mengimpor EG mencapai 438,2 ribu ton dengan nilai US$314,4 juta. Negara pemasok etilen glikol Indonesia terbesar adalah Arab Saudi yang mencapai 236,3 ribu ton dengan nilai US$164,6 ribu.
Menyebabkan Kematian Hampir 900 orang
Salah satu karakteristik EG dan turunannya seperti dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol mono-butyl ether (EGBE) adalah rasanya yang manis. Manisnya rasa senyawa beracun ini yang membuatnya berbahaya karena dapat dikonsumsi secara tidak sengaja oleh binatang atau anak kecil.
Jika dikonsumsi, EG dan senyawa racun yang dihasilkannya menyerang sistem saraf pusat, lalu hati, dan akhirnya menyerang ginjal.
Tidak hanya manis, harga EG atau DEG juga lebih murah dari gliserin yang dipakai oleh industri farmasi sebagai pelarut obat sirop. Investigasi New York Times pada 2007 menemukan harga senyawa beracun tersebut hanya sekitar sepertiga dari harga gliserin.
Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan, saat ini belum ada standar pengujian untuk kontaminasi DEG dalam obat-obatan, bahkan di dunia internasional.
“Itulah mengapa kami tidak pernah menguji, karena memang belum dilakukan di dunia internasional pun,” kata Penny dalam konferensi pers di Istana Presiden, Senin, 24 Oktober 2022.
Meski begitu, Food and Drugs Administration (FDA) atau BPOM-nya Amerika Serikat (AS) ternyata sudah memiliki panduan pengujian kontaminasi DEG dalam obat-obatan yang terbit sejak 2007.
Panduan ini berisi anjuran, bukan kewajiban, pada segala pihak industri farmasi untuk menguji kontaminasi DEG mulai dari bahan baku hingga bahan jadi. Setiap produsen obat juga harus mengetahui detail rantai pasok gliserinnya.
AS memang tidak asing dengan kontaminasi DEG dalam obat konsumen. Bahkan, kasus pertama kontaminasi ini ditemukan di sana pada 1937. Kasus tersebut menyebabkan 107 orang yang kebanyakan anak-anak meninggal.
Total sudah ada setidaknya 14 kejadian keracunan yang tersebar di 12 negara, termasuk yang baru-baru ini terjadi di Gambia dan Indonesia. Kebanyakan kasus substitusi gliserin dengan DEG ditemukan di penjualan obat batuk dan parasetamol sirop.
Tidak semua kasus ditelusuri asal bahan baku DEG-nya. Akan tetapi, beberapa kasus yang ditelusuri menemukan sumber DEG berasal dari Cina, India, dan Amerika Serikat.
Total ada 893 orang meninggal dalam kasus ini sejak 1937 hingga sekarang. Jumlah korban meninggal di Indonesia menjadi yang terbanyak kedua sepanjang masa.
Kemenkes dan BPOM saat ini masih belum menemukan sumber kontaminasi DEG di obat sirop yang beredar di Indonesia. Akan tetapi, BPOM sudah menemukan dua perusahaan farmasi yang obat produksinya memiliki kandungan DEG di atas normal.
“Dalam proses ini kami sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan kami tindak lanjuti menjadi pidana,” kata Penny.
Editor: Aria W. Yudhistira