Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020 turut mempengaruhi kinerja pasar modal Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat merosot ke titik terendah sejak September 2015 ke level 3.937,6 pada 24 Maret 2020. Termasuk di sektor perbankan, terutama saham-saham bank berkapitalisasi terbesar. Kinerja saham bank dipengaruhi kekhawatiran investor terhadap rencana penerapan pembatasan sosial seiring meningkatnya kasus Covid-19.
Dalam kurun sebulan (Februari 2020-Maret 2020), saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) tercatat turun paling dalam sebesar 45,6% ke level Rp3.820 per lembar. Diikuti PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar 35,7% menjadi Rp4.680 per lembar, PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Tbk turun 27,9% ke Rp3.020 per lembar, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) 12,2% menjadi Rp5.525 per lembar saham.
Dua tahun pasca-pandemi Covid-19, kinerja saham-saham perbankan mulai kembali pulih. Bahkan mampu melewati harga sebelum pandemi. Meski harga saham BNI dan Bank Mandiri turun paling dalam saat pandemi, dari grafik di bawah terlihat bahwa saham keduanya mampu melesat paling tinggi.
Rata-rata harga saham BNI sepanjang Januari 2023 (1 - 31 Januari 2023) berada di level Rp9.150 per lembar saham, melonjak hingga 139,5% sejak Maret 2020. Sementara rata-rata harga saham Bank Mandiri tercatat Rp9.950 per lembar saham, naik hingga 112,6% pada periode sama.
Pertumbuhan Laba Bersih
Moncernya kinerja saham perbankan tidak lepas dari kondisi fundamentalnya. Bank-bank mencetak laba bersih yang sudah melampaui kondisi sebelum pandemi.
Berdasarkan laporan keuangan masing-masing perusahaan, BRI tercatat memperoleh laba tertinggi. Sepanjang 2022, laba bersih BRI menembus Rp51,4 triliun. Angka ini tumbuh 67% dibandingkan tahun 2021 atau secara year-on-year (yoy).
Bank Mandiri telah mengantongi laba Rp41,2 triliun sepanjang 2022 atau tumbuh 47% yoy. Sementara BCA membukukan Rp40,7 triliun atau meningkat 29,6% secara yoy.
Meski laba bersihnya terkecil di antara empat bank berkapitalisasi terbesar, pertumbuhan laba bersih BNI tercatat paling tinggi. Emiten berkode BBNI ini memperoleh laba bersih Rp18,3 triliun atau tumbuh 68% yoy. Pencapaian tersebut merupakan perolehan laba bersih tertinggi sepanjang sejarah BNI.
Pertumbuhan laba bersih ditopang oleh kinerja penyaluran kredit yang meningkat. Pada 2022, keempat bank berhasil mendongkrak penyaluran kreditnya. Bank Mandiri berhasil menumbuhkan kredit terbesar mencapai 14,5% menjadi Rp1.202 triliun.
Keempat bank juga berhasil menurunkan restrukturisasi kredit akibat Covid-19 yang sempat melonjak pada 2020. Restrukturisasi kredit adalah upaya bank membantu meringankan debitur yang kesulitan membayar angsurannya karena suatu alasan tertentu. Restrukturisasi kredit bisa berupa penurunan suku bunga ataupun penundaan pembayaran pokok atau bunga.
Dari keempat bank, nilai restrukturisasi kredit BNI tercatat paling kecil. Jumlahnya sudah menurun 51,5% sejak 2020 menjadi Rp 49,6 triliun. Sementara Bank Mandiri memiliki penurunan restrukturisasi kredit terdalam, yaitu turun 70,6% pada periode sama.
Kesehatan Bank Membaik
Rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) yang sempat meningkat selama pandemi juga kembali turun. BNI misalnya, sempat mencatatkan NPL sebesar 4,3% pada 2020 dibandingkan 2,3% pada tahun sebelumnya. Pada 2022, BNI berhasil menurunkan NPL ke 2,8%.
Direktur Finance BNI Novita Widya Anggraini memaparkan, debitur yang terdampak pandemi terus mengalami pemulihan. “Tahun 2022 kami sangat bergembira karena sebagian besar debitur yang terdampak Covid-19 sudah mulai pulih dan bersiap ekspansi,” katanya dikutip dari laman resmi BNI.
Rasio NPL Bank Mandiri juga mengalami penurunan pada 2022. Sedangkan BRI dan BCA meski sempat meningkat pada 2021, berhasil turun pada tahun lalu.
Membaiknya rasio kredit bermasalah juga terlihat dari tingkat dana pencadangan atau provisi yang semakin turun. Dana pencadangan adalah dana yang disiapkan untuk mengantisipasi kredit bermasalah.
Dilihat dari rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR), BCA memiliki CAR tertinggi sedangkan Bank BNI yang terendah. Meski demikian, keempat bank memiliki kondisi permodalan yang sehat dan semakin membaik sejak awal pandemi.
Menurut peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 Bank yang dianggap sehat adalah bank yang memiliki CAR di atas 8%, sehingga semakin tinggi CAR mengindikasikan semakin baik tingkat kesehatan bank.
CAR berfungsi menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh bank. Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit yang bermasalah.
Dari data-data ini menunjukkan bahwa meski sempat mengalami terpuruk pada awal pandemi, bank-bank ini mampu tetap tumbuh. Bahkan kinerja perbankan di Indonesia mencapai kondisi yang lebih baik dibandingkan awal pandemi.
Editor: Aria W. Yudhistira