Advertisement
Analisis | Kontroversi Obral Gelar Honoris Causa untuk Politisi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Kontroversi Obral Gelar Honoris Causa untuk Politisi

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Pemberian gelar honoris causa kepada politisi marak dilakukan perguruan tinggi. Sering kali penganugerahan gelar doktor kehormatan tanpa melalui pertimbangan kompetensi yang matang dan menerabas aturan. Hal ini dapat mengurangi marwah institusi pendidikan. Apalagi gelar diberikan menjelang tahun politik sehingga sarat dengan kepentingan.
Aditya Widya Putri
23 Maret 2023, 08.45
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Gelar honoris causa (HC) alias doktor kehormatan di Indonesia seolah barang obralan. Tak ada kualifikasi jelas kepada penerima, bahkan sarat muatan politik.

Sukarno, presiden pertama Indonesia, memiliki gelar HC terbanyak dalam sejarah negeri: 26 gelar. Bung Karno mendapatkannya dari berbagai universitas dalam dan luar negeri. Sekiranya ada 19 universitas luar negeri dan 7 universitas dalam negeri yang memberinya gelar kehormatan.

Anaknya, Megawati Soekarnoputri tak kalah, presiden ke-5 Indonesia itu terus-terusan membanggakan deretan gelar kehormatan yang dia terima: 9 gelar, plus 5 masih antre. Dia juga mempunyai dua gelar profesor.

“Masih menunggu lagi lima (gelar HC) karena kemarin pandemi,” kata Mega saat berpidato di HUT PDIP ke-50, pada 10 Januari 2023.

Supaya kiprah intelegensinya semakin tervalidasi, Mega tak lupa membuat perbandingan antara dirinya dengan ibu-ibu biasa. Dia yang produktif meski telah pensiun, dan para ibu yang cuma hobi mengaji.

Namun, pemberian gelar-gelar kehormatan di Indonesia dilakukan secara subjektif. Penerimanya belum tentu mumpuni dan betul berjasa di bidangnya.

Menurut Pasal 4 poin b Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan, syarat penerima HC mesti memiliki latar pendidikan minimal S1 atau setara dengan level 6 (enam) dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Ketentuan ini memang gugur oleh terbitnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Gelar Doktor Kehormatan. Tapi artinya, pemberian gelar HC sebelum tahun 2016 harus mengacu aturan sebelumnya.

Sedangkan Megawati selama ini belum pernah menyelesaikan pendidikan sarjana. Dia memang pernah terdaftar di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 1965 dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 1970, tapi tak sampai lulus.

Sebelum Permenristekdikti No 65 berlaku pada Oktober 2016, Megawati pernah mendapat gelar HC dalam negeri dari Universitas Padjadjaran Bandung pada Maret 2016.

Saat itu sempat muncul petisi di Change.org untuk membatalkan gelar kehormatan Mega, tapi tak berbuah hasil.

Syarat Dilanggar Demi Gelar Kehormatan

Selain syarat ‘sarjana’ yang diterabas, ada beberapa ketentuan lain yang lazim dilanggar pemberi gelar HC di Indonesia. Soal akreditasi misalnya, baik Permendikbud Nomor 21 Tahun 2013 maupun Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 turut mengatur universitas pemberi gelar harus memiliki akreditasi A.

Kenyataannya banyak universitas dengan akreditasi di bawah itu mengobral gelar kehormatan. Dalam kasus Mega, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang memberi gelar HC di bidang Politik Pemerintahan kepada Mega hanya berakreditasi B di BAN-PT.

Usut punya usut, Komisi Komponen Ahli IPDN yang berperan sebagai dewan pertimbangan pemberian gelar kepada Mega adalah AM Hendropriyono dan Da’i Bachtiar. Mereka masing-masing menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepala Polisi Republik Indonesia (Polri) ketika Megawati berkuasa. 

Selain itu ada nama Rokhmin Dahuri, Bungaran Saragih, dan Bambang Kesowo yang pernah menjadi anggota kabinet di era Presiden Megawati.

Ada lagi cerita soal Nurdin Halid, mantan narapidana korupsi minyak goreng Bulog, impor gula ilegal, dan pelanggaran kepabeanan impor beras. Dia mendadak ‘doktor’ di bidang industri olahraga pada 2021 lalu. Gelar doktor kehormatan Nurdin Halid didapat dari Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Pada tahun yang sama Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terlibat kontroversi pengajuan HC untuk Erick Thohir dan Ma’ruf Amin. Pengajuan gelar ini merupakan kali kedua sebelum 2020 yang sama-sama ditolak oleh Aliansi Dosen UNJ.

Salah satu poin penolakan merujuk pada fakultas yang mengusulkan gelar HC kepada Ma’ruf, mereka tak memiliki akreditasi A.

Problematis, bukan?

Deretan kisah tersebut belum menyoal kontroversi pemberian gelar saat tokoh menduduki jabatan publik. Meski tak ada aturan tertulis yang melarang, pemberian HC kepada pejabat publik dirasa kurang pas karena dapat dianggap sarat kepentingan politis.

Tapi obral gelar tetap terjadi.

Airlangga Hartarto misalnya, mendapat HC saat menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Abdul Halim Iskandar, saat menjabat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Puan Maharani pun masih memimpin kursi Ketua DPR RI. Pemberian gelar pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertepatan setahun sebelum masa jabatan sebagai presiden berakhir. Atau Imam Nahrawi, menerima gelar saat menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga.

Memang, determinan gelar HC diberikan kepada seseorang yang telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Tapi poin tersebut juga tak punya klasifikasi jelas soal apa yang dianggap sebagai ‘jasa’ dan ‘karya’ luar biasa.

Editor: Aditya Widya Putri