Advertisement
Advertisement
Analisis | Masalah di Balik Penurunan Kasta Bandara Internasional jadi Domestik - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Masalah di Balik Penurunan Kasta Bandara Internasional jadi Domestik

Foto: Katadata/ Bintan Insani/ AI
Efek pandemi Covid-19 menjadi alasan pemerintah menurunkan status 18 bandara internasional menjadi domestik. Padahal, ada persoalan lain yang menyebabkan banyak penumpang memilih bepergian ke luar negeri ketimbang penerbangan domestik.
Leoni Susanto
29 Mei 2024, 06.30
Button AI Summarize

Pemerintah mengurangi jumlah bandara internasional dari 35 menjadi 17 bandara per April 2024 lalu. Artinya, ada 18 bandara yang turun kasta hanya melayani penerbangan domestik. Mengapa pemerintah menutup pintu masuk wisatawan mancanegara (wisman) tersebut di tengah gencarnya mempromosikan pariwisata?

Wacana pemangkasan jumlah bandara internasional sebenarnya sudah dibicarakan sejak awal 2023 oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Saat itu, alasannya adalah menekan jumlah wisatawan nasional yang berwisata keluar negeri. 

Sebuah bandara penyandang status internasional memerlukan biaya standardisasi bangunan dan operasional yang besar. Biasanya, bandara dilabeli internasional lantaran berada di pusat perekonomian dan perdagangan, daerah tujuan wisata, hingga kepentingan sebagai embarkasi haji dan umrah. Bandara ini tidak hanya melayani rute internasional, melainkan juga domestik. 

Namun beberapa bandara hanya melayani sedikit rute dan frekuensi penerbangannya juga minim. Alhasil tidak mampu menarik wisman. Bahkan, ada bandara yang selama beberapa tahun terakhir sudah tidak melayani penerbangan internasional.

Bandara Kertajati salah satunya. Sejak diresmikan pada 2018, bandara ini minim melayani penerbangan. Menurut laman websitenya per 28 Mei, hanya ada lima maskapai yang membuka rute ke bandara ini. Dua di antaranya Malaysia Airlines dan Airasia yang melayani rute ke Kuala Lumpur sebanyak dua kali dalam sepekan.

Terdampak Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas masyarakat menyebabkan industri penerbangan terpuruk. Frekuensi perjalanan dan pengisian tempat duduk seluruh moda transportasi publik saat itu diatur untuk menjaga jarak antarindividu. Kapasitas pesawat pun dikurangi hingga separuhnya.

Penerbangan domestik mengalami penurunan sebesar 56% dari 156,2 juta penumpang pada 2019 menjadi hanya 68,6 juta pada 2020. sementara penerbangan internasional turun hingga 81% dari 37,5 juta penumpang pada 2019 menjadi hanya 7,1 juta penumpang pada 2020. Angka ini terus menurun pada tahun berikutnya.

Mulai 2022, seiring pelonggaran aturan perjalanan, industri penerbangan pun mulai bangkit. Penumpang penerbangan internasional kembali meningkat hingga 13,8 juta. 

Namun, peningkatan yang tidak signifikan terlihat dari penumpang di 18 bandara internasional yang diturunkan statusnya menjadi domestik. Hampir seluruh penumpang penerbangan internasional sejak pandemi Covid-19 berasal dari 17 bandara yang statusnya tetap internasional.

Ketika jumlah penumpang internasional secara keseluruhan di seluruh bandara rebound pun, jumlah penumpang di bandara yang turun kasta pun tetap terpuruk.

Jumlah pesawat yang melayani penerbangan internasional di 18 bandara juga semakin minim sejak pandemi Covid-19. Dari 68,6 ribu pesawat, hanya 5% yang datang dan berangkat dari 18 bandara yang statusnya diturunkan tersebut. Angka ini terus menurun menjadi hanya 1% baik pada 2021 maupun 2022.

Beberapa bandara sudah tidak atau jarang melayani rute internasional. Dengan penurunan status menjadi domestik, efisiensi operasional fasilitas terminal internasional akan dilakukan, termasuk keberadaan petugas imigrasi.

Kementerian Perhubungan juga ingin mengembalikan pola penerbangan ke pola hub and spoke. Pola ini disebut akan menjadikan pemerataan pembangunan dari kota kecil hingga kota besar.

Konsep bandara pengumpul (hub) dan pengumpulan (spoke) sendiri menjadikan bandara yang memiliki cakupan pelayanan terbatas sebagai penunjang bandara pengumpul yang memiliki skala pelayanan penumpang maupun kargo dengan jumlah besar.

Pintu Keluar Wisatawan Domestik

Kementerian Perhubungan menyebut, keberadaan bandara-bandara internasional tidak sesuai dengan tujuan awal yang menarik wisatawan mancanegara ke Indonesia. Sebaliknya, banyak wisatawan Indonesia yang pergi ke luar negeri.

Jika mengacu pada data 2023, beberapa bandara yang turun kelas menjadi domestik memang mencatatkan wisman yang cenderung lebih sedikit dibandingkan wisatawan nasional yang pergi keluar negeri. Bandara utama seperti Sultan Badaruddin II di Sumatera Selatan digunakan lebih dari 16 ribu penumpang untuk pergi ke luar negeri. Begitu juga dengan Bandara Ahmad Yani di Jawa Tengah.

Namun tren ini tidak hanya terjadi pada bandara yang turun kasta, tetapi juga bandara yang statusnya tetap internasional. Bandara internasional utama seperti Soekarno Hatta pada 2023, sebanyak 65% penumpang penerbangan internasional adalah wisatawan dalam negeri yang berangkat ke luar negeri. Begitu pula dengan bandara utama lainnya seperti Kualanamu dan Juanda.

Bandara yang dipadati wisman dibandingkan wisatawan dalam negeri yang berangkat umumnya ada bandara tempat destinasi wisata berada, seperti Ngurah Rai di Bali dan Bandara Internasional Lombok di NTB.

Jika melihat data total penumpang penerbangan internasional datang dan berangkat pada 2022 di 18 bandara yang turun kasta, jumlah wisman yang datang masih melebihi penumpang berangkat. Berbeda dengan bandara yang statusnya tetap internasional, secara kumulatif malah lebih banyak menjadi pintu keluar bagi wisatawan dalam negeri alih-alih pintu masuk wisman.

Mengapa Wisatawan Lokal ke Luar Negeri?

Selama lima tahun terakhir, setidaknya mayoritas penumpang yang bepergian ke luar negeri adalah untuk berlibur. Selain itu, porsi masyarakat yang melancong dengan tujuan bisnis dan urusan kesehatan juga terlihat meningkat.

 

Salah satu alasan masyarakat Indonesia berlibur ke negara tetangga karena harga tiket pesawat yang lebih murah dibandingkan penerbangan domestik. Bahkan, sebagian masyarakat lebih memilih transit di negara tetangga sebelum menuju destinasi kota di tanah air yang menjadi tujuan akhir.

Pada 2019 misalnya, terjadi lonjakan pembuatan paspor di Aceh lantaran banyak yang lebih memilih terbang ke Jakarta via Kuala Lumpur, Malaysia dibandingkan langsung dari Aceh ke Jakarta. Alasannya, harga tiket penerbangan internasional yang jauh lebih murah. 

Saat ini walaupun tiket pesawat sudah tidak semahal pada 2019, warga Aceh pun masih menghindari penerbangan langsung Jakarta - Aceh karena harganya yang tinggi. Opsinya dua, penerbangan via Kuala Lumpur atau penerbangan via Kualanamu di Medan.

“Apalagi kalau musim lebaran. Harga tiket bisa sampai tiga juta lebih,” kata Cut Salma (25), salah satu warga Aceh ketika dihubungi Katadata.co.id, pada Rabu, 22 Mei.

Akhir Januari lalu, Salma harus pulang ke Aceh selepas mencoba peruntungannya mendaftar kerja di Jakarta. Saat itu, tiket pesawat langsung dari Bandara Soekarno Hatta ke Bandara Sultan Iskandar Muda mencapai sekitar Rp2,3 juta. Salma dan banyak warga Aceh akhirnya memilih menempuh rute Jakarta - Medan. 

“Waktu itu harga tiketnya masih Rp1,3 juta. Terus naik travel dari Kualanamu ke Banda Aceh itu sekitar Rp300 ribu. Jadi total habis Rp1,6 juta. Masih lebih murah Rp600 ribu daripada penerbangan langsung,” kata Salma.

Ketika musim lebaran April lalu, Salma menceritakan tentang temannya yang memilih melakukan penerbangan Jakarta - Aceh via Kuala Lumpur. Jakarta ke Kuala Lumpur saat itu dibanderol sekitar Rp800 ribu per tiket, ditambah Kuala Lumpur ke Banda Aceh yang tarifnya sekitar Rp500 ribu. Harganya bisa separuh dari harga tiket langsung Jakarta - Aceh waktu itu. 

Permasalahan Harga Tiket

Permasalahan harga tiket penerbangan domestik yang mahal ini tampak tidak berakhir sejak 2019. Pada Juli 2023, tingginya harga tiket pesawat menjadi penyebab utama inflasi bulanan.

Jika dibedah, harga tiket pesawat yang dibebankan ke penumpang terdiri biaya operasi langsung dan biaya tidak langsung. Biaya operasi langsung dibagi lagi menjadi tetap dan variabel. 

Biaya operasi langsung tetap termasuk biaya sewa pesawat, asuransi, hingga gaji kru dan teknisi. Sedangkan biaya operasi langsung variabel beberapanya terdiri dari biaya pelumas, bahan bakar minyak, pemeliharaan, jasa bandara, hingga jasa navigasi penerbangan.

Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), di Indonesia 38% hingga 45% harga tiket pesawat adalah harga komponen bahan bakar. Harga avtur di bandara-bandara Indonesia disebut lebih tinggi dibandingkan 10 bandara internasional negara lain. Hal ini pula yang menyebabkan harga tiket pesawat per kilometer di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Di Bandara Soekarno Hatta, harga avtur berada di kisaran Rp14.268 per liter. Sedangkan untuk penerbangan internasional, harga avtur mencapai 81,6 sen dolar AS per liter. Harga avtur tertinggi ada di Bandara Frans Kaisiepo di Papua dan Bandara Mopah di Papua Selatan, masing-masing Rp16.850 per liter untuk penerbangan domestik 96,1 sen dolar AS per liter untuk penerbangan internasional.

Pemerintah sebenarnya sudah menetapkan tarif batas atas dan batas bawah baru agar harga tiket pesawat tidak terus melambung sejak 2019. Namun, sejumlah maskapai terus mengejar harga tarif batas atas, bahkan pada musim perjalanan, dinaikkan hingga melebihi aturan tarif batas atas. 

 

Sebagai contoh, pada penerbangan rute Ambon-Makassar, tarif batas atas yang ditentukan per tiket dengan jarak 1.016 kilometer adalah Rp1,5 juta. Namun, ketika dicek pada situs pemesanan tiket pesawat, pada penerbangan 28 Mei 2024 saja harga tiket sudah mencapai Rp1,6 juta.

Sebagai informasi, tarif batas ini adalah batasan yang tidak dimiliki penerbangan internasional yang membuat harga tiketnya lebih bersaing demi menggaet penumpang.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pernah menampik pernyataan bahwa harga tiket pesawat tinggi bukan karena avtur. Alih-alih, harga tiket ini dipengaruhi oleh ketersediaan pesawat dan kursi.

Penurunan jumlah maskapai dan armada pesawat yang beroperasi otomatis berpengaruh pada penurunan jumlah kursi yang tersedia. Sejak pandemi Covid-19, beberapa rute perjalanan domestik langsung dan penerbangan internasional juga ditutup. 

Keterisian kursi yang masih minim sejak pandemi terlihat pada indikator seat load factor (SLF). Load factor ini juga menjadi petunjuk untuk mengetahui apakah jumlah armada yang sudah ada mencukupi, masih kurang, atau melebihi kebutuhan. Rentang load factor yang optimal adalah 65% sampai 70% penumpang dan sisanya kargo per pesawat. Pada 2021, load factor penerbangan Indonesia masih berada di kisaran 59,8%.

Adapun untuk penerbangan internasional Indonesia, load factor tampak sudah rebound hingga 78,24% per 2022. 

Pekan lalu, Sandiaga menyebut harga tiket pesawat baru akan turun pada paruh kedua 2024. Ini dikarenakan sejumlah maskapai menambah unit pesawat pada Juli-Desember 2024 ke beberapa destinasi populer, seperti Bali, sehingga menekan tarif pesawat.

Sebelumnya, Sekjen Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Bayu Sutanto menyebut masalah jumlah pesawat adalah karena suplai bahan baku dan suku cadang yang terganggu akibat gejolak geopolitik di dunia seperti krisis Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel. Per 2022, jumlah pesawat yang bersertifikasi ada 1.096 unit.

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize