Advertisement
Analisis | Impor Ilegal di Balik Tren Penutupan Pabrik Sepatu - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Impor Ilegal di Balik Tren Penutupan Pabrik Sepatu

Foto: Katadata/ Bintan Insani/ AI
Dua pabrik sepatu menutup operasional pabriknya dalam kurun setahun terakhir. Perusahaan tidak mampu menutup kerugian yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Asosiasi menuding maraknya produk impor ilegal sebagai biang masalah pabrik sepatu.
Dini Pramita
6 Juni 2024, 10.42
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Hanya dalam satu tahun, Indonesia kehilangan dua pabrik sepatu yang menaungi ribuan tenaga kerja. PT Dean Shoes yang memiliki 3.329 karyawan, mengawali fenomena ini dengan menutup operasional pabrik sepatunya di Karawang, Jawa Barat, secara resmi per 14 April 2023.

Setahun kemudian, PT Sepatu Bata Tbk (BATA) menghentikan operasi pabrik sepatunya di Purwakarta, Jawa Barat, per 30 April 2024. Hatta Tutuko, Direktur dan Sekretaris Perusahaan BATA, mengatakan penutupan pabrik ini tak bisa dihindari setelah berjuang keluar dari kerugian selama empat tahun terakhir. 

Menurut Hatta, perseroan tidak dapat melanjutkan produksi karena permintaan pelanggan yang terus menurun. “Kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan yang bisa diperoleh secara berkelanjutan dari pemasok lokal di Indonesia,” kata dia dalam keterangan resmi pada Sabtu, 4 Mei 2024.

Diterjang Impor Ilegal?

Kepada Katadata, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengungkapkan, banjir impor sepatu ilegal terus menekan industri sepatu di Tanah Air. “Kami ingin mengingatkan pemerintah, pada Lebaran lalu kami sudah mengalami penurunan penjualan karena produk impor ilegal,” kata dia pada Rabu, 22 Mei.

Firman menekankan, yang dimaksud ilegal mengacu pada sepatu palsu yang meniru produk aslinya. Kemudian sepatu impor yang tidak membayar pajak karena melewati jalur masuk yang tidak sah, sepatu impor bekas, dan sepatu impor di bawah harga pasar yang kelewat murah (under invoice). 

Indikasi adanya impor ilegal terlihat dari perbedaan data nilai impor alas kaki yang masuk ke Indonesia, yang direkam International Trade Center (ITC) dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 hingga 2022. Perbandingan data ini berasal dari rekaman ekspor produk dari seluruh dunia ke Indonesia dengan data impor versi BPS. 

Menurut data BPS, nilai impor alas kaki Indonesia sebesar US$883,22 juta pada 2022. Sedangkan menurut ITC, nilai impor alas kaki yang masuk ke Indonesia dari seluruh dunia mencapai lebih dariUS$1,03 miliar. 

Dari jumlah tersebut, nilai impor alas kaki dari Cina memiliki perbedaan yang cukup mencolok dibandingkan yang lain. BPS mencatatkan nilai impornya sebesar US$484,38 juta. Sedangkan ITC mencatat nilai impor alas kaki dari Cina sebesar US$559,27 juta. 

Selisih yang dicatat UN Comtrade bahkan jauh lebih tinggi. Nilai produk alas kaki yang masuk ke Indonesia dari negara panda tersebut sebesar US$1,26 miliar. 

Nilai impor yang berbeda juga terdapat dalam transaksi dengan Vietnam yang merupakan negara penyuplai alas kaki global terbesar kedua setelah Cina. Menurut data BPS, nilai impor alas kaki dari Vietnam sebesar US$218,23 juta. 

Sementara itu, ITC mencatatkan nilai impornya sebesar US$269,41 juta. Meskipun tercatat lebih sedikit, dalam pangkalan data UN Comtrade, nilai impor alas kaki menduduki peringkat kedua terbesar setelah Cina dengan nilai sebesar US$199,75 juta. 

Jika melihat tren datanya, antara data BPS dan ITC relatif tidak ada perbedaan pada periode 2018-2021. Perbedaan transaksi baru muncul pada 2022. Sementara data impor yang dicatat UN Comtrade memang ada perbedaan sejak 2018. 

Menurut Firman, perbedaan data yang mencolok tersebut mengindikasikan adanya kegiatan impor alas kaki ilegal yang tak terdeteksi. “Kami berharap adanya penegakan hukum yang tegas dan adanya pemusnahan barang-barang ilegal yang sudah terlanjur masuk,” kata dia. 

Maraknya produk ilegal tersebut, kata Firman, mengubah perilaku konsumen di dalam negeri. Mereka seolah-olah sadar merek, “Tetapi belum mampu membeli produk orisinalnya,” kata dia. 

Perilaku ini mengakibatkan merek-merek lokal di segmen kelas menengah dan menengah ke bawah harus bersaing dengan produk alas kaki KW, bekas, dan ilegal yang dijual murah. 

“Kami akan sangat mengapresiasi apabila bisa diajak melakukan pengawasan dan penindakan terhadap sejumlah aktivitas ilegal yang merusak industri nasional,” kata dia.

Impor Meningkat, Kapasitas Produksi Turun

Terlepas dari dugaan jumlah impor ilegal yang meningkat, menurut Firman, kapasitas industri nasional untuk pasar domestik telah menurun hingga tersisa 30%. “Saat ini baik brand lokal maupun produsen lokal besar hingga kecil yang berorientasi pasar domestik mengalami penurunan,” kata dia.

Penurunan ini dirasakan Zela Hapsari, 31 tahun, pemilik brand sepatu lokal asal Yogyakarta “Simply Happy Shoes”. Dia mengatakan, bisnis sepatu lokal sedang meredup akhir-akhir ini. “Terutama untuk lini sepatu berbahan batik dan etnik. Partner saya sekarang menjajal market line dance untuk mengatasi penurunan ini,” kata dia kepada Katadata pada Senin, 27 Mei. 

Menurut Zela, kedatangan sepatu impor yang memiliki desain dan bahan serupa. Misalnya, bermotif etnik atau yang menggunakan payet dan kain tile bisa mengancam produknya. Sepatu produksi Zela bisa kalah bersaing dari segi harga dengan sepatu impor tersebut. 

Persoalannya, kata dia, harga bahan baku untuk membuat sepatu yang menjadi ciri khas jenamanya seperti kain tile, payet, dan kain satin, terus meningkat sejak pandemi. Akibatnya, banyak perajin heels yang gulung tikar karena tak bisa bersaing dengan sepatu impor yang membanjiri pasar dan harga lebih murah. 

Zela mengaku tak kuasa melawan pilihan konsumen yang memilih berbelanja sepatu impor dari Cina yang memiliki harga lebih murah. “Kalau saya menjadi konsumen, dengan gaji UMR Yogyakarta, saya akan memilih sepatu impor dari Cina yang murah meriah. Tanpa memikirkan awet atau tidak,” kata dia. 

Menurut Zela, pergeseran pola konsumsi ini tak dapat dihindari.

Berdasarkan data BPS, sejak dilanda pandemi Covid-19, impor alas kaki Indonesia cenderung meningkat hingga nilainya nyaris menyentuh US$1 miliar. Menurut asosiasi, peningkatan impor antara periode Januari-Juni pada 2022 dibandingkan 2023 adalah sebesar 4,5%. 

Peningkatan impor ini didominasi oleh kenaikan impor dari Cina. Sejak 2018, alas kaki Cina mendominasi impor alas kaki ke Indonesia. Pada 2023, volume impor alas kaki dari negara itu menembus angka 105 juta kg, melampaui impor sebelum pandemi Covid-19 yang berada di angka 70 juta kg per 2019.

Peluang Industri Alas Kaki Lokal

Menurut Kementerian Perindustrian, industri alas kaki nasional masih memiliki potensi penguatan dan dapat berkembang. “Apalagi industri kecil dan menengah (IKM) sektor alas kaki punya potensi pasar dalam dan luar negeri yang sangat besar,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita.

Salah satu potensi tersebut, kata dia, datang dari konsumsi dalam negeri yang masih kuat. Merujuk data World Footwear 2022, masyarakat Indonesia mengonsumsi 702 juta pasang produk alas kaki. Ini setara dengan 3,2% dari total konsumsi produk alas kaki dunia.

 

Merujuk laporan yang sama, Indonesia merupakan eksportir terbesar ketiga secara global sebanyak 535 juta pasang alas kaki. Porsinya setara dengan 3,5% dari total ekspor alas kaki dunia.

Menurut Reni, Indonesia memiliki potensi menjadi produsen sepatu lokal yang kompetitif di kancah global, dengan kualitas yang setara dengan merek-merek ternama dunia. “Kemenperin optimistis pelaku IKM alas kaki nasional dapat memanfaatkan potensi pasar yang besar,” kata dia.

Sementara itu, menurut Firman, pemerintah perlu memperhatikan regulasi yang lebih berpihak kepada pelaku usaha yang jujur dan patuh pada regulasi. “Kami harap baik kementerian, aparat penegak hukum, TNI bisa kompak dalam menjaga perbatasan dan pengawasan di barang beredar yang ada di dalam negeri,” kata dia.

Editor: Aria W. Yudhistira