Advertisement
Analisis | Hitung-hitungan Iuran Tapera yang Membebani Masyarakat - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Hitung-hitungan Iuran Tapera yang Membebani Masyarakat

Foto: Katadata/ Bintan Insani/ AI
Kewajiban iuran tabungan perumahan rakyat (tapera) menuai kontroversi karena berpotensi menambah beban masyarakat. Apalagi terhadap rumah tangga yang mengandalkan satu pencari nafkah dengan penghasilan setara upah minimum. Data BPS menunjukkan, rata-rata biaya hidup jauh lebih tinggi dari penghasilan.
Puja Pratama
22 Juni 2024, 07.32
Button AI Summarize

Kebijakan pemerintah yang mewajibkan iuran tabungan perumahan rakyat (tapera) bakal menambah beban pengeluaran pekerja. Dengan rata-rata penghasilan dan pengeluaran yang sudah mepet, alih-alih menabung, pekerja justru berpotensi terjerat utang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Adanya tambahan tapera, maka total potongan penghasilan yang diterima pekerja menjadi sebesar 11,5%. Artinya, pekerja hanya akan menikmati 88,5% gajinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari setiap bulannya. 

Jika merujuk pada rata-rata pengeluaran yang berasal dari hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), para pekerja yang sudah berkeluarga tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya apabila hanya mengandalkan gaji setara upah minimum. 

Akan tetapi jika masih lajang, pekerja cenderung masih dapat memenuhi kebutuhannya. Itu pun relatif mepet. 

Jakarta dan Bekasi adalah dua kota dengan rata-rata biaya hidup dan upah minimum kota (UMK) tertinggi. Pada 2022, rata-rata biaya hidup rumah tangga yang terdiri dari tiga sampai empat anggota keluarga mencapai Rp14,9 juta di Jakarta dan Rp14,3 juta di Bekasi. Sedangkan UMK di kedua kota tersebut masing-masing Rp5,1 juta dan Rp5,3 juta pada 2024.

Alhasil setiap rumah tangga tidak dapat mengandalkan satu pencari nafkah dengan penghasilan setara upah minimum untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, melainkan juga di kota-kota lain yang biaya hidupnya lebih rendah. 

Dengan penghasilan yang belum mencukupi kebutuhan rumah tangga, tambahan potongan berupa iuran tapera berpotensi menambah beban pengeluaran pekerja. Alfian (23) salah satunya. Pegawai alih daya di salah satu bank BUMN ini mengaku keberatan dengan potongan tapera. 

Dirinya memang belum berumah tangga, sehingga penghasilannya masih mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun dia sudah membeli rumah melalui kredit pemilikan rumah (KPR) dengan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). 

“Gaji saya ngepas UMK. Apalagi saya sedang nyicil KPR subsidi Rp1,5 juta per bulan. Potongan (tapera) yang kurang lebih bisa Rp150 ribu itu sangat berharga,” kata dia kepada Katadata.co.id pada 16 Juni. 

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital dan Researcher Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengatakan persoalan tapera memang terletak pada pemotongan gaji pekerja yang dinilai memberatkan. Terutama, karena simpanan tapera yang tidak bisa diambil sewaktu-waktu. 

“Mungkin untuk orang yang sulit menabung, tapera bisa membantu. Namun kalau yang selama ini sudah pas-pasan dan berutang pinjaman online untuk kebutuhannya, saya rasa mereka lebih butuh uang cash ketimbang menabung di BP Tapera,” kata dia kepada Katadata.co.id pada 12 Juni. 

Artinya skema ini dapat menyebabkan masyarakat yang kesulitan memiliki rumah bertambah sulit jika ingin membeli rumah. Survei Litbang Kompas terhadap 524 responden berusia 17 - 44 tahun di 38 provinsi pada 5-8 Juni 2024 juga menangkap keengganan masyarakat mengikuti program tapera, terutama kelas ekonomi menengah ke bawah. Penolakan terbesar lantaran adanya potongan dan sudah memiliki rumah. 

Bisa Berdampak terhadap Ekonomi Makro

Riset dari CELIOS menemukan, ada dampak berentet yang bisa terjadi akibat potongan tapera. Berkurangnya uang tunai yang diterima pekerja tiap bulan bisa menyebabkan konsumsi rumah tangga menurun. Ini dapat berdampak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang komponen terbesarnya berasal dari konsumsi rumah tangga. 

Dari sisi bisnis, berkurangnya konsumsi bisa menurunkan profitabilitas dunia usaha. CELIOS berpendapat sebaiknya kewajiban tapera hanya berlaku untuk aparat sipil negara (ASN), anggota TNI dan Polri. 

Sebaliknya, kata Nailul Huda, bagi pekerja swasta tapera sebaiknya bersifat sukarela. “Selain itu simpanan seharusnya bersifat liquid, sehingga bisa diambil kapan saja.” kata dia.

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize