Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih berlanjut. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, hingga April 2025, jumlah pekerja yang terkena PHK sudah mencapai lebih dari 24 ribu orang. Angka ini melonjak 27,7% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sepanjang 2024, total pekerja yang terkena PHK nyaris mencapai 78 ribu.
Belakangan, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan, tidak lagi membuka data PHK yang sebelumnya dirilis tiap bulan. Ia mengakui kementeriannya memiliki data tersebut. Namun, ia sengaja tak merilisnya demi menjaga optimisme masyarakat, bukan pesimisme.
“Jangan PHK terus, kasihan teman-teman. Yang kita bangun adalah semangat. Makanya kami nggak (merilis lagi data PHK tiap bulan),” kata Yassierli di Kompleks Parlemen, pada 8 Juli.
Di jagat maya, bentuk pesimisme yang dikhawatirkan Yassierli memang menjamur. Misalnya, frasa “in this economy” yang kerap muncul di media sosial. Biasanya frasa itu digunakan orang untuk merepresentasikan keterbatasan dan ketidakmampuan ekonominya di tengah harga yang melonjak, gaji yang stagnan, dan tentu saja, PHK yang terus melebar.
Yassierli menyatakan telah mempersiapkan sejumlah langkah guna mengantisipasi gelombang PHK imbas lesunya kinerja manufaktur Indonesia. “Yang sudah jelas ada, sekarang kita punya JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan). Itu antisipasi dari awal, manfaatnya diperbesar,” ujarnya. Ia tak merinci lebih jauh apa implementasi dari memperbesar manfaat JKP.
PHK di tanah air memang berpotensi melonjak. BPJS Ketenagakerjaan pada Mei lalu memprediksi kejadian PHK pada tahun ini bisa mencapai 280 ribu orang. Prediksi ini nyaris sejalan dengan prediksi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), yakni sebanyak 250 ribu pekerja berpotensi kehilangan pekerjaan.
Jika kedua prediksi itu benar, angka PHK tahun ini akan mencapai titik tertinggi setelah 2021 yang mencapai 538 ribu orang. Adapun dalam satu dekade terakhir, rekor tertinggi PHK di terjadi pada 2020. Saat tahun pertama pandemi Covid-19 itu, ada 3,6 juta pekerja terdampak.
Tingginya PHK tahun ini juga bisa dilacak dari data lonjakan klaim program JKP sepanjang kuartal pertama. Ketimbang 2024, klaim JKP hingga April 2025 sudah mencapai 52.850 atau naik 91,4%.
Mayoritas penerima manfaat JKP berasal dari sektor usaha aneka industri, perdagangan dan jasa, dan industri barang konsumsi. Data Kemnaker memperkuat temuan ini: sepanjang 2025, PHK paling banyak terjadi di industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta sektor jasa lainnya.
Salah satu kasus PHK terbesar adalah pailitnya perusahaan tekstil raksasa PT Sri Rejeki Isman (Sritex) pada Maret lalu. Pekerja yang terdampak PHK Sritex mencapai 11.025 orang. Jumlah ini sudah hampir setengah dari total korban PHK yang tercatat Kemnaker pada 2025.
Anjloknya Sektor Manufaktur
Sektor manufaktur, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional, menunjukkan tren penurunan signifikan. Data terbaru menunjukkan, adanya penurunan pesanan yang mencapai titik terburuk dalam hampir empat tahun terakhir. Kondisi ini berdampak pada penurunan produksi, pembelian bahan baku, hingga pemangkasan tenaga kerja.
Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia menjadi indikator yang mencerminkan kinerja industri manufaktur. Pada Juni 2025, PMI turun ke level 46,9 dari 47,4 pada bulan sebelumnya. Ini merupakan level terendah sejak Agustus 2021. Adapun sepanjang tiga bulan terakhir, PMI Indonesia terus berada di zona kontraksi.
Menurut ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, pelemahan industri manufaktur dipicu oleh anjloknya permintaan terhadap barang produksi, terutama dari pasar domestik. Di sisi lain, permintaan ekspor yang stagnan gagal menjadi penopang.
“Penurunan kondisi sektor manufaktur Indonesia semakin cepat pada pertengahan 2025. Ini menjadi sinyal negatif bagi prospek industri dalam beberapa bulan ke depan,” kata Usamah.
Indeks PMI disusun berdasarkan hasil survei terhadap para manajer di ratusan perusahaan manufaktur. Survei ini mencakup sejumlah indikator utama, seperti pertumbuhan output produksi, jumlah pesanan dari pasar domestik maupun ekspor, tingkat ketenagakerjaan, waktu pengiriman pasokan, hingga persediaan bahan baku yang dibeli masing-masing perusahaan.
Seluruh data tersebut diolah menjadi skor dalam rentang 0 hingga 100. Skor di bawah 50 mengindikasikan kontraksi aktivitas manufaktur, skor 50 menunjukkan kondisi stabil, dan skor di atas 50 mencerminkan ekspansi dibandingkan bulan sebelumnya.
Penurunan permintaan yang terus berlanjut memaksa banyak pelaku industri untuk menekan biaya operasional, termasuk dengan memangkas tenaga kerja dan mengurangi pembelian bahan baku.
Situasi ini, menurut S&P Global, turut memengaruhi ekspektasi bisnis. Saat ini, tingkat optimisme perusahaan terhadap prospek produksi melemah signifikan, bahkan mencapai titik terendah sejak Oktober 2024. “Sejumlah perusahaan khawatir mengenai ekonomi global,” kata mereka.
Kekhawatiran semacam itu sebetulnya sudah tercermin dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dikeluarkan Bank Indonesia pada kuartal I-2025. Keyakinan para pelaku usaha terhadap kondisi likuiditas mereka, misalnya, juga mencapai titik terendah sejak 2022.
Responden yang menganggap kondisi keuangan mereka “lebih buruk” mencapai 8,10%. Ini juga yang tertinggi dalam rentang yang sama. Sejak kuartal IV-2022 hingga sebelum 2025, rata-rata responden yang menjawab lebih buruk hanya berkisar 5,71%.
Pola yang mirip tampak pada kondisi rentabilitas atau keyakinan perusahaan untuk bisa mencetak laba. Dalam rentang yang sama, pada 2025 juga menjadi titik terendah, yakni 14,48%. Lalu sebanyak 10,45% responden menganggap rentabilitas mereka lebih buruk. Di sisi lain, responden yang menganggap rentabilitasnya lebih baik terus menurun.
Korban PHK Terserap ke Sektor Informal
Di tengah badai PHK, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia per Februari 2025. Dibandingkan periode yang sama tahun 2024, TPT menurun dari 4,82% menjadi 4,76%. Jumlah pengangguran terbuka juga menurun dibandingkan Agustus 2024, dari 7,47 juta menjadi 7,28 juta.
Dalam laporan “Labor Market Brief” edisi Mei 2025 oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), pekerja yang terkena PHK kemudian beralih ke sektor gig economy seperti ojek daring, kurir, content creator, hingga reseller online.
Pekerja informal memang mendominasi struktur pekerja di Indonesia. Menurut definisi BPS, pekerja informal adalah mereka yang memiliki usaha sendiri dengan atau tanpa dibantu buruh, pekerja bebas baik bidang pertanian maupun bukan pertanian, dan pekerja keluarga.
Selama satu dekade terakhir, jumlah pekerja formal dan informal tumbuh cukup stabil. Namun, setelah pandemi Covid-19, struktur pekerja ini mulai berubah. Jumlah pekerja formal, misalnya, turun dari 55,9 juta pada Februari 2020 menjadi 52,9 juta pada Februari 2021. Setelah itu hingga 2025, pertumbuhan sektor formal hanya 3,8%.
Di sisi lain, pertumbuhan pekerja informal melesat tajam. Pada Februari 2020, jumlah pekerja informal masih 75,5 juta orang. Namun, pada Februari 2025, jumlahnya mencapai 86,6 juta orang atau naik 14,7%. Secara total, proporsi pekerja informal telah mencapai 59,4%, melebar dibandingkan satu dekade lalu yang berada di kisaran 57,8%.
Penyerapan tenaga kerja di sektor informal ini bukan tanpa risiko. Laporan LPEM UI menyebut bahwa bergantung pada sektor gig economy adalah solusi sementara yang “rapuh”. Sebab, pekerja informal lazimnya tidak terdaftar pada sistem perlindungan sosial. Misalnya, perlindungan kecelakaan kerja, hari tua, maupun jaminan kehilangan pekerjaan. Hal ini membuat pekerja informal lebih rentan terhadap naik-turunnya kondisi ekonomi negara.
Tertekannya sektor formal juga terlihat dari meningkatnya pengangguran dengan kualifikasi lulusan sarjana. TPT lulusan sarjana per Februari 2025 lalu mencapai 6,23%, melonjak dibandingkan satu dekade lalu yang masih berada di angka 5,34%. Kelompok ini mengalami pergerakan yang anomali ketimbang kelompok lainnya yang justru mengalami penurunan.
Umumnya, para sarjana memang membidik pekerjaan formal. Masalahnya, sektor tersebut justru mengalami guncangan sehingga mengurangi serapan tenaga kerja baru dan justru melakukan PHK.
Tidak sedikit dari para lulusan sarjana ini yang kemudian beralih ke sektor informal, khususnya gig economy. Pada 2015, lebih dari 99% lulusan diploma dan sarjana terserap ke sektor formal. Sedangkan yang terserap ke sektor informal tidak sampai 1%. Perhitungan ini tidak menyertakan mereka yang memiliki usaha sendiri dan pekerja keluarga.
Namun, satu dekade kemudian, jumlah serapan pekerja informal lulusan diploma dan sarjana, khususnya pekerja bebas di sektor nonpertanian, naik hingga nyaris 3%.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyebut efek dari PHK yang meluas akan menggerus daya beli rumah tangga, terutama pada triwulan II dan III. “Setelah tiga sampai empat bulan, banyak pekerja korban PHK yang pesangon dan JHT-nya habis. Artinya, mereka akan mengurangi konsumsi, dan ini akan berdampak pada permintaan,” ujarnya kepada Katadata.co.id, 7 Juli lalu.
Jika konsumsi rumah tangga terus tertekan, menurut Nailul, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mencetak pertumbuhan ekonomi yang positif. Karena itu, ia menilai pemerintah harus mengambil langkah cepat dan terukur untuk mendorong daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, lewat stimulus fiskal langsung.
Nailul juga mengingatkan agar tidak ada kebijakan yang justru mengurangi daya beli masyarakat, seperti kenaikan tarif atau penghapusan subsidi. Selain itu, pemerintah disarankan untuk memanfaatkan belanja negara sebagai alat stimulus ekonomi.
“Belanja barang seperti kunjungan ke lapangan atau acara di hotel bisa dilakukan kembali, terutama di luar Jabodetabek, agar sektor perhotelan dan pariwisata ikut tergerak,” katanya.
Editor: Aria W. Yudhistira
