Advertisement
Analisis | Di Balik Rojali dan Rohana: Fenomena Mal Ramai, tapi Sepi yang Berbelanja - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Di Balik Rojali dan Rohana: Fenomena Mal Ramai, tapi Sepi yang Berbelanja

Foto: Katadata | Bintan Insani
Fenomena 'rojali' dan 'rohana' mencerminkan perubahan fungsi mal menjadi ruang rekreasi. Di tengah upah yang stagnan, kelas menengah-bawah lebih selektif dalam berbelanja dan beralih ke platform daring.
Muhammad Almer Sidqi
6 Agustus 2025, 09.21
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Velia biasa mengunjungi mal dua hingga tiga kali setiap bulan. Bagi perempuan berusia 23 tahun ini, menghabiskan waktu sendirian di mal adalah cara jitu menyegarkan pikiran. Meski begitu, ia mengakui lebih sering sekadar cuci mata ketimbang berbelanja.

“Jujur nggak ada keinginan untuk belanja seperti baju. Karena saya kaum mendang-mending, banyak platform online yang bisa kasih harga lebih baik,” ujar Velia kepada Katadata.co.id pada 29 Juli.

Karyawan salah satu perusahaan konsultan IT di Jakarta Barat ini baru benar-benar berbelanja jika suatu mal memiliki gerai tertentu. “Pernah ke Gandaria City karena ada pop-up store BTS. Saat itu memang niat beli cinderamata,” katanya, merujuk pada Bangtan Boys atau BTS, grup vokal pria asal Korea Selatan.

Velia termasuk bagian dari kelompok pengunjung mal yang sekarang dikenal sebagai “rombongan jarang beli” alias rojali. Selain rojali, ada beberapa istilah lain yang juga menerbitkan ironi: rohana dan rohalus masing-masing berarti “rombongan hanya nanya” dan “rombongan hanya ngelus.”

Menurut Alphonzus Widjaja, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), fenomena rojali muncul sebagai konsekuensi dari melemahnya daya beli, meskipun data lembaganya mencatatkan adanya peningkatan jumlah kunjungan ke mal. 

Hingga Mei 2025, pertumbuhannya sekitar 10% hingga 15% dibandingkan 2024. Ini, kata Alphonzus, adalah tanda bahwa pusat perbelanjaan sedang mengalami perubahan fungsi menjadi tempat rekreasi. “Masyarakat kelas menengah-bawah cenderung beli barang atau produk yang harga satuannya murah,” katanya dikutip dari CNBC Indonesia pada 29 Juli 2025.

Melemahnya tingkat daya beli tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dikeluarkan Bank Indonesia. Sepanjang paruh pertama 2025, IKK turun hingga sekitar 10 poin. Pada Mei lalu, IKK bahkan menyentuh titik terendah sejak September 2022. Semakin rendah nilainya, semakin besar keraguan masyarakat untuk belanja dan membelanjakan uangnya.

Perubahan Paradigma Berbelanja

Senada dengan pendapat Alphonzus, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menilai, fenomena rojali mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah. Menurutnya, tekanan terbesar datang dari kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya tempat tinggal. “Mereka ke mal hanya untuk mencari hiburan, bukan untuk belanja,” katanya pada 21 Juli lalu.

Kesulitan ekonomi ini juga terlihat dari semakin banyaknya masyarakat kelas menengah yang terdepak ke dalam kelompok penghasilan lebih rendah dalam dua dekade terakhir. Meski Indonesia berhasil mengurangi jumlah masyarakat miskin secara konsisten, pertumbuhan kelas menengah tampak melambat, bahkan mengalami penurunan setelah 2018.

Sebagian besar penduduk kini berada dalam kelompok calon kelas menengah, yang meski keluar dari garis kemiskinan, masih belum cukup kuat untuk naik ke kelas menengah. 

Tahun ini, tekanan ekonomi terus berlanjut. Kementerian Ketenagakerjaan, misalnya, mencatat jumlah angka pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga Juni 2025 mencapai 42.385 pekerja atau naik sekitar 32% dari periode yang sama tahun lalu. 

Badan Pusat Statistik (BPS) kemudian mencatat adanya pergeseran struktur tenaga kerja, dari pekerja formal menjadi informal, yang signifikan. Selama lima tahun terakhir, jumlah pekerja informal tumbuh 14,6%. Sedangkan pekerja formal hanya 3,8%. 

Masifnya pergeseran dari pekerjaan formal ke informal berisiko menurunkan rata-rata pendapatan masyarakat dan memperlebar ketimpangan. Data menunjukkan ada perbedaan yang cukup lebar antara upah pekerja formal dan informal. Rata-rata upah pekerja informal pertanian bahkan hanya Rp1,3 juta, terpaut Rp700 ribu dari pekerja informal non-pertanian, menurut data Februari 2025. 

Namun, masalahnya bukan cuma itu. Jika diamati, data BPS tersebut juga menunjukkan adanya stagnasi upah, termasuk yang dialami pekerja formal. Rata-rata upah mereka, misalnya, hanya naik sekitar Rp187 ribu dari Agustus 2019 sampai Februari 2025. Pertumbuhannya hanya 6,4% selama enam tahun. Hal yang kurang-lebih sama terjadi pula pada upah pekerja informal.

Kenaikan pendapatan itu tidak sebanding dengan biaya hidup yang meningkat. Ini tercermin dari timpangnya pertumbuhan upah dengan tingkat inflasi kumulatif dalam rentang yang sama, yakni sekitar 20%. Kondisi ini menjelaskan mengapa banyak masyarakat tetap aktif secara sosial, termasuk jalan-jalan ke mal, namun cenderung menahan konsumsinya.

Kendati begitu, rojali tidak semata-mata mencerminkan lemahnya daya beli, tetapi juga menunjukkan perubahan perilaku konsumsi yang lebih rasional dan selektif di tengah impitan ekonomi. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, menilai kehati-hatian kelas menengah membuat mereka lebih memilih menabung atau berinvestasi ketimbang belanja barang.

Klaim itu bisa dilacak dari perubahan komposisi investor di pasar modal. Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan adanya peningkatan persentase investor dengan pendapatan di bawah Rp10 juta, dari 29,5% pada 2020 menjadi 37,8% pada akhir 2024.

Perubahan demografi ini sebetulnya sejalan dengan hasil survei Katadata Insight Center (KIC) pada Februari lalu. Survei bertajuk “Kelas Menengah Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonomi” itu mendapati responden kelas menengah menyisihkan hampir 20% penghasilannya untuk ditabung, termasuk dalam bentuk investasi. 

Adapun sebagian besar responden (63,1%) menyisihkan uang mereka untuk kebutuhan tidak terduga atau dana darurat. Sebagian yang lain menyisihkannya untuk agenda produktif, seperti pendidikan, menjaga aset dari inflasi, hingga mengembangkan bisnis. 

Temuan ini menunjukkan bahwa belanja tidak menjadi pola konsumsi terpenting bagi kelas menengah. Sebaliknya, di tengah ekonomi yang buruk, kelas menengah justru punya inisiatif memperbaiki paradigma keuangannya. Perubahan ini juga menunjukkan bahwa fenomena rojali justru berakar dari ketidakmampuan negara meningkatkan pertumbuhan ekonomi warganya.  

Selain berinvestasi, banyak orang juga memilih berbelanja secara daring. Kedatangan mereka ke pusat perbelanjaan seringkali hanya untuk melihat atau memeriksa barang secara langsung sebelum akhirnya membeli lewat platform online.

Fakta itu juga klop dengan hasil survei KIC lainnya yang dirilis Juli lalu. Sebagian besar responden melihat mal bukan lagi sekadar tempat belanja, tapi sebagai tempat berkumpul dan melepas stres penat. Ini menunjukkan pergeseran fungsi mal dari pusat transaksi menjadi pusat interaksi. Selain itu, dari 11 alasan, hanya tiga di antaranya yang berkaitan dengan kegiatan berbelanja.

Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, membenarkan fenomena itu. Ia tak menyangkal bahwa harga barang di toko daring cenderung lebih murah dibandingkan di gerai fisik.

Fenomena ini juga tercermin dari pertumbuhan nilai transaksi di lokapasar Indonesia. Bank Indonesia mencatat, nilai transaksi e-commerce melonjak dari Rp205,5 triliun pada 2019 menjadi Rp487 triliun pada 2024—tumbuh sekitar 137% dalam lima tahun.

Adapun Cube Asia, perusahaan riset khusus lokapasar asal Singapura, memproyeksi transaksi e-commerce Indonesia akan mencapai Rp1.321 triliun. Jika prediksi ini benar, transaksi lokapasar Indonesia akan menyentuh rekor terbarunya, dan naik nyaris tiga kali lipat dari 2024.

Belakangan, pertumbuhan ekonomi pun solid. Pada kuartal-II 2025, BPS mencatat Produk Domestik Bruto nasional tumbuh 5,12% secara tahunan (yoy), meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,87%. Peningkatan ini terutama ditopang pulihnya ekonomi domestik, konsumsi tinggi selama masa liburan, dan membaiknya kinerja ekspor-impor.

Kinerja yang membaik itu kurang-lebih tercermin dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dirilis Bank Indonesia pertengahan Juli lalu. Saldo Bersih Tertimbang menjadi 11,70% pada kuartal-II 2025, meningkat ketimbang kuartal sebelumnya yang hanya 7,63%.

Sejumlah lapangan usaha (LU) pun mencatatkan kinerja positif. LU pertanian, kehutanan, dan perikanan adalah SBT tertinggi sebesar 1,67%, didorong peningkatan kinerja sub LU perkebunan seiring panen komoditas kelapa sawit, kopi, kakao, dan cengkeh. Sub LU peternakan juga mengalami pertumbuhan, sejalan dengan meningkatnya permintaan selama Iduladha.

LU industri pengolahan juga menunjukkan kinerja bagus, yakni 1,29%. Pertumbuhannya terutama didorong peningkatan subsektor industri makanan dan minuman, serta industri kertas, percetakan, dan media rekaman. Pun dengan industri pengolahan tembakau.

Editor: Aria W. Yudhistira


Buka di Aplikasi Katadata untuk pengalaman terbaik!

icon newspaper

Tanpa Iklan

Baca berita lebih nyaman

icon trending

Pilih Topik

Sesuai minat Anda

icon ai

Fitur AI

Lebih mudah berbagi artikel

icon star

Baca Nanti

Bagi Anda yang sibuk