Intan akhirnya menyerah. Setelah empat tahun bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Pasar Baru, Jakarta Pusat, warga Kabupaten Bekasi itu memutuskan resign bulan lalu. Ia mengaku tak sanggup lagi bekerja sampai ke Jakarta. Pemantiknya dua: lelah dan mahal.
Setiap hari, Intan harus menempuh perjalanan sejauh 46 kilometer dengan angkutan umum. Dari Desa Telaga Asih, Cibitung, ia mesti naik ojek daring untuk sampai ke Stasiun Telaga Murni. Setelah tiba di Stasiun Sawah Besar, ia lalu naik ojek lagi untuk sampai ke kantornya di Jalan Antara.
Dalam sehari, ia bisa merogoh kocek sampai Rp40 ribu. Gajinya setiap bulan pun tandas 14% demi pulang-pergi dari rumah ke kantornya. “Sekarang kerja dekat rumah, setengah jam kurang,” kata perempuan berumur 26 tahun itu kepada Katadata.co.id pada 7 Agustus.
Saat ini Intan bekerja di sebuah perusahaan manufaktur di Cikarang. Berapa ongkos transpornya? “Bensin Rp40 ribu seminggu,” jawabnya.
Isu mahalnya biaya transportasi kembali mencuat setelah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyinggungnya pada 31 Juli lalu. Kementerian itu mengutip Survei Biaya Hidup (SBH) 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyebut rata-rata rumah tangga nasional menghabiskan lebih dari sepersepuluh pengeluarannya untuk transportasi.
Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda, Risal Wasal, mengatakan tingginya biaya transpor disebabkan oleh biaya dari dan menuju transportasi umum. Karena itu, Kemenhub berencana mendefinisikan ulang moda transportasi utama dan penunjang.
Tingginya Biaya Transpor
SBH 2018 mencatat rumah tangga di 73 wilayah, dari total 90 kota/kabupaten yang disurvei, mengeluarkan biaya transportasi melampaui 10% dari total pengeluarannya. Rumah tangga di Depok dan Bekasi menjadi yang tertinggi di Jabodetabek. Meski survei itu dilakukan tujuh tahun lalu, kenyataan di lapangan belum banyak berubah.
Secara nominal, biaya transportasi terbesar ditemukan di Bekasi, senilai Rp1,91 juta per rumah tangga per bulan. Itu setara 14% dari pengeluaran rumah tangga di sana yang sebesar Rp13,6 juta. Adapun rumah tangga di Bengkulu menempati persentase tertinggi, mencapai 16,9% atau sekitar Rp1,3 juta per bulan. Depok menjadi kota yang menempati posisi kedua, baik secara nilai maupun persentase.
Depok dan Bekasi adalah dua wilayah satelit Jakarta, terhubung langsung dengan jaringan transportasi publik yang dianggap paling maju di Indonesia. Namun, data justru menunjukkan layanan transportasi yang dianggap memadai tidak sinonim dengan efektivitas biayanya.
Menurut Risal, tingginya biaya transportasi disebabkan belum terintegrasinya moda transportasi umum. Konektivitas yang terputus-putus itu, misalnya, menciptakan first mile dan last mile. First mile adalah biaya perjalanan dari rumah ke transportasi publik utama. Sedangkan last mile adalah biaya dari transportasi publik utama menuju tempat tujuan.
“Dan kalau dia bawa mobil, harus parkir (di stasiun), parkirnya mahal. Padahal naik keretanya cuma Rp3.500,” ujar Risal. “Kami akan mengevaluasi. First dan last mile-nya itu bisa kami reduksi.”
Hasil survei Litbang Kompas pada Maret 2025 menguatkan pernyataan Risal. Lebih dari sepertiga responden di Jabodetabek mengaku menggunakan ojek atau taksi daring untuk dari dan menuju stasiun KRL. Seperempat lagi menggunakannya untuk dari dan menuju ke stasiun LRT dan halte Transjakarta. Porsi paling kecil adalah yang menggunakan layanan transpor daring bolak-balik MRT.
Ini menunjukkan lebih dari separuh perjalanan ojek dan taksi daring berfungsi sebagai penghubung ke transportasi publik. Tingginya porsi perjalanan sebagai penghubung ini erat kaitannya dengan pola mobilitas warga Bodetabek yang tinggal jauh dari lokasi aktivitas utamanya.
Lewat Statistik Komuter Jabodetabek tahun 2023 yang dirilis BPS, dapat dilihat bahwa wilayah kota satelit seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi punya proporsi penduduk lebih banyak yang menempuh jarak 20–39 km ke tempat kegiatan atau kerjanya.
Di Kota Bekasi, sepertiga penduduk komuternya menempuh 20–29 km untuk mencapai lokasi kegiatan, ditambah 14,1% yang menempuh 30–39 km. Pola serupa terlihat di Kota Depok, hampir sepertiganya yang harus menempuh jarak 20–29 km, dan 18,8% menempuh 30–39 km.
Tak sedikit pula yang menempuh perjalanan lebih dari 40 km saban hari. Bogor mencatat 23,5% warganya berada di kategori ini, Kota Bogor bahkan hampir sepertiganya. Sementara Tangerang tak kalah tinggi dengan sekitar 20%.
Jarak jauh itu berat diongkos. Warga di kota-kota satelit mengeluarkan porsi biaya yang signifikan untuk ongkos pulang-pergi, menghabiskan lebih dari Rp25.000 per hari. Kota Tangerang Selatan bahkan menempati posisi teratas dengan 44% warganya membayar biaya tertinggi.
Sebagai gambaran, dengan menghitung 22 hari kerja, ongkos transpor Rp25 ribu per hari menjadi Rp550 ribu per bulan. Jika menilik upah minimum Kota Tangsel pada 2023 yang sebesar Rp4,5 juta, maka hampir setengah dari warga komuternya menghabiskan 12% gajinya untuk angkutan umum.
Kondisi itu terikat dengan persoalan first dan last mile tadi. Jarak yang jauh membuat warga satelit tak cukup hanya mengandalkan moda utama seperti KRL yang menghubungkan mereka ke Jakarta. Mereka masih perlu ojek daring, angkot, atau parkir kendaraan pribadi untuk menjangkau dan meninggalkan stasiun.
Pada 2023, BPS mencatat sekitar 14,9% dari 29,6 juta penduduk Jabodetabek berumur 5 tahun ke atas adalah komuter. Kota Depok mencatat proporsi komuter tertinggi—nyaris seperempat dibanding jumlah penduduknya—disusul oleh Kota Bekasi, Tangerang Selatan, dan Tangerang.
Di Jakarta, wilayah timur memiliki porsi komuter terbesar, diikuti pusat, barat, dan utara. Kota Bogor serta Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi berada di kelompok bawah, sementara Kabupaten Tangerang menjadi daerah dengan proporsi komuter paling kecil.
Menurut BPS, ada 7 juta orang yang memusatkan tujuan kegiatan atau kerjanya di DKI Jakarta. Secara jumlah, Jakarta lebih banyak menjadi tujuan komuter yang berasal dari wilayahnya sendiri. Ini sangat mungkin berasal dari pendatang yang indekos atau sewa kontrak di ibu kota.
Adapun SBH 2018 mencatat komponen transportasi menduduki peringkat ketiga dalam mata anggaran pengeluaran rumah tangga Indonesia setelah pangan dan papan. Rata-ratanya mencapai 12%. Ini lebih tinggi ketimbang pengeluaran untuk belanja pakaian, perlengkapan, atau rekreasi. Bahkan lebih tinggi dari pos penting lain seperti pendidikan (4%) atau kesehatan (2,4%).
Tingginya persentase pengeluaran transportasi secara nasional juga mengindikasikan biaya ini membebani banyak daerah di luar Jabodetabek. Djoko Setijowarno, akademisi teknik sipil Unika Soegijapranata, menyatakan sudah saatnya pemerintah memosisikan angkutan umum sebagai kebutuhan dasar, setara dengan sandang, pangan, hingga pendidikan.
Ia juga meminta transportasi publik dijadikan prioritas nasional, bukan sekadar proyek tambahan. Menurut Djoko, negara ini sedang menghadapi krisis angkutan umum. Sejak 2005, jumlah moda ini terus menyusut akibat maraknya revolusi sepeda motor. Angka kecelakaan juga meningkat terus.
“Transportasi umum membikin kota, kehidupan, dan planet kita menjadi lebih baik. Tanpa transportasi umum, jalanan macet, udara menjadi abu-abu karena asap, dan ekonomi melambat,” kata Djoko.
Editor: Muhammad Almer Sidqi
