Judi online (judol) di Indonesia bak bara dalam sekam. Hasil riset terbaru Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan praktik perjudian berbasis internet itu diam-diam tumbuh masif. Ia menyasar berbagai lapisan, dari anak kecil sampai orang tua, dari yang miskin sampai yang kaya. Dampaknya tak main-main: puluhan triliun rupiah tersedot ke luar negeri akibat kalah berjudi.
Analisis KIC menggunakan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah dan nilai transaksi judol dalam tujuh tahun terakhir tercatat meningkat signifikan. Sejak 2017, total akumulasi transaksi mencapai sekitar Rp927 triliun.
Judol dan kekalahan memang saling melekat. Hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan peluang menang dalam judol nyaris nol. Pada 2024, hanya 2,2% pemain yang pernah menang. Sedangkan 97,8% sisanya tekor. Tahun ini, kondisinya sama saja, menurut survei APJII bulan Agustus, hanya 2,3% yang pernah memang.
Bukan rahasia kalau algoritma judi daring disetel sedemikian rupa supaya bandar pada akhirnya selalu keluar sebagai pemenang. Mula-mula pemain dibiarkan menangguk kemenangan agar mereka berani taruhan lebih besar. Setelah itu, peluang menangnya dipersempit hingga orang-orang nahas itu terbentur satu kenyataan: duit mereka ludes.
Sejak 2021, laju perputaran uang judol makin drastis. Nilainya bahkan tembus lebih dari Rp300 triliun pada 2023 dan 2024. Meski ditaksir mereda ketimbang tahun lalu, perputaran uang judol tahun ini punya tren yang tetap tinggi. Hingga kuartal-II, nilainya sudah menyentuh Rp99 triliun. Itu berarti sudah sekitar 95% dari total perputaran uang judol sepanjang tahun 2022.
Judol Hancurkan Ekonomi
Menurut M. Firman Hidayat, anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), judol ikut berkontribusi menekan laju pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan simulasi awal, ia memperkirakan Rp51,3 triliun dana masyarakat tersedot ke aktivitas tersebut pada 2024. Ada juga potensi penerimaan negara yang lenyap dari sektor pajak, dengan nilai mencapai Rp6,4 triliun.
Jika perhitungan DEN akurat, maka judol berkontribusi terhadap penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar 0,3%.
Dari jumlah itu, sekitar 70% dana mengalir ke luar negeri. Sisanya berputar di dalam negeri melalui bandar dan operator judol. Padahal, jika seluruh uang itu dialihkan ke konsumsi rumah tangga atau investasi, menurut Firman, dampaknya bisa menjadi pengganda bagi pertumbuhan PDB.
“Dana sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk konsumsi, menabung, atau investasi. Itu akan menciptakan multiplier effect (efek pengganda),” ujar Firman dalam acara Katadata Policy Dialogue “Strategi Nasional Memerangi Kejahatan Finansial” pada 5 Agustus. Kekhawatiran Firman beralasan. Pertumbuhan judol merepresentasikan bentuk konsumsi non-produktif yang cenderung tidak menghasilkan apa-apa selain kekalahan tadi.
Lonjakan aktivitas judol memicu dampak lintas sektor, termasuk goyahnya stabilitas ekonomi rumah tangga. Meski nilai transaksinya masih di bawah 1% dari total perputaran uang nasional, laju pertumbuhan yang melesat tajam menjadi sinyal jelas adanya potensi gangguan yang serius.
Konsumsi rumah tangga adalah tulang punggung karena selalu punya porsi terbesar dalam PDB. Pada kuartal pertama tahun ini, porsinya mencapai 49,5%. Tiga komponen lain berbagi sisanya.
Menurut penelitian Algo Research, perusahaan riset ekonomi dan bisnis, judol membuat konsumsi masyarakat turun karena dana yang seharusnya untuk belanja dialihkan menjadi deposit judi. Perputaran ekonomi dalam negeri akibatnya jadi melemah.
Dampak aktivitas judol yang dihitung Algo Research bahkan lebih besar dari perhitungan DEN, yakni membikin PDB menyusut 3,1% pada tahun lalu.
Data di atas menunjukkan efek judol langsung menghantam konsumsi rumah tangga. Pada 2018-2020, dampaknya relatif masih kecil, hanya sekitar 0,1-0,3% terhadap konsumsi dan kurang dari 0,1% terhadap PDB. Namun, sejak 2021, tekanannya meningkat tajam: konsumsi rumah tangga turun hingga 1% dan PDB terkoreksi 0,5%.
Kondisi kian memburuk pada 2023-2024. Tahun lalu, konsumsi rumah tangga anjlok 5,9%. Efek rambatannya membuat PDB tertekan 3,1%.
Parasit Buat Orang Banyak
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun menemukan mayoritas pemain judol ternyata berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yakni di bawah Rp5 juta. Porsinya mencapai 70,7%. Jika digabung dengan kelompok berpenghasilan Rp5-10 juta, maka para pecandu judol yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta bisa mencapai 85,6%.
Temuan ini menegaskan jerat judol paling banyak menimpa masyarakat kelas menengah-bawah. Buat kelompok berpenghasilan rendah, kerugian dari judol berpotensi langsung menggerus kebutuhan pokok rumah tangganya.
Sudah begitu, semakin tinggi tingkat pendapatan justru semakin sedikit keterlibatannya dalam aktivitas haram itu. Kondisi ini memperdalam ketimpangan
Celakanya lagi, sebagian besar pemain juga berada di rentang usia produktif. Jika kelompok usia 21-30 tahun dan 30-50 tahun digabung, maka persentase pemain judol yang berasal dari kelompok usia aktif bekerja mencapai 93%.
Masalahnya, tak melulu orang bermain judol karena kesadaran ingin cepat kaya raya. Hasil sigi APJII secara ironis menggambarkan hal lain: hanya 5,9% dari 8.700 responden yang mengaku bermain judol demi uang. Sisanya menganggap judol hanya sebagai sarana mengisi waktu luang, menggali sensasi, dan bersosialisasi. Sebagian besar responden (87,6%) bahkan mengaku tak menemukan keuntungan sama sekali.
Dampak judol pada akhirnya juga memicu masalah sosial. Dalam policy paper Katadata Insight Center (KIC) yang dirilis 6 Agustus lalu, judi menjadi salah satu faktor meningkatnya angka perceraian dalam lima tahun terakhir. Data yang diolah KIC itu berasal dari laporan tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka perceraian.
KIC pun menekankan perlunya pendekatan menyeluruh untuk menanggulangi masalah ini. Dari sisi hulu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) harus memperkuat pemblokiran situs judi. Di tahap berikutnya, penyedia jasa pembayaran perlu mengidentifikasi pola transaksi mencurigakan.
Tahap lanjutan melibatkan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan PPATK untuk menelusuri sekaligus memblokir rekening terkait. Adapun di hilir, penegakan hukum berada di tangan Kepolisian bersama Komdigi, BI, dan OJK untuk menindak para bandar judi.
Editor: Muhammad Almer Sidqi
