Advertisement
Analisis | Di Balik Kisruh Pati, Mengapa Pemangkasan Dana dari Pusat Jadi Sumber Masalah? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Di Balik Kisruh Pati, Mengapa Pemangkasan Dana dari Pusat Jadi Sumber Masalah?

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Demonstrasi warga di Pati pecah setelah Bupati Sudewo menaikkan PBB-P2 hingga 250%. Kebijakan ini dipicu defisit APBD akibat berkurangnya dana transfer dari pusat. Pati dan banyak daerah lain sangat bergantung pada dana TKD. Lemahnya kemandirian fiskal membuat banyak pemda mencari cara instan.
Muhammad Almer Sidqi
29 Agustus 2025, 09.06
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

“Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya akan berbuat yang lebih baik,” kata Bupati Pati Sudewo lewat pelantang suara, sesaat sebelum bersembunyi ke dalam barracuda polisi. Baru sebentar ia menampakkan diri, massa menyambutnya dengan lemparan botol plastik dan sandal jepit.

Begitulah yang terjadi saat aksi demonstrasi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 13 Agustus lalu. Demo sudah panas bahkan sebelum Sudewo muncul. Satu unit mobil polisi jadi bulan-bulanan dibakar massa. Polisi juga berkali-kali menembakkan meriam air dan gas air mata.

Demonstrasi itu dipicu kebijakan Sudewo yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sampai 250%. Kebijakan tersebut berujung tuntutan warga agar Sudewo turun dari kursi bupati. Belakangan, Sudewo membatalkan kenaikan pajak tersebut.

Kenaikan PBB-P2 hingga ratusan persen sebetulnya tidak hanya terjadi di Pati. Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menyebut ada 104 daerah yang menaikkan PBB-P2. Dari jumlah itu, 20 daerah menaikkan pajak lebih dari 100%. Ia tidak merinci daerah mana saja yang dimaksud.

Yang jelas, aksi protes kenaikan PBB-P2 juga berlangsung di Jombang, Jawa Timur; Semarang, Jawa Tengah; dan Bone, Sulawesi Selatan. Alasan penolakannya beragam, mulai dari kenaikan tarif yang dinilai memberatkan hingga kurangnya sosialisasi kebijakan.

Kondisi ini tak lepas dari kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menerapkan kebijakan efisiensi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Salah satu dampaknya adalah pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD). Pengetatan fiskal ini termaktub di dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29 Tahun 2025, yang merinci pemangkasan TKD sampai Rp50,5 triliun.

Tekanan Akibat Pemangkasan TKD

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai pemerintah daerah menghadapi tekanan keuangan akibat berkurangnya transfer dari pusat. “Kas daerah yang menipis mendorong kepala daerah mencari sumber pendapatan baru dengan mengerek PBB,” katanya pada 14 Agustus. 

Memang, selama ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat bergantung kiriman duit dari pusat. Proporsi TKD terhadap pendapatan Kabupaten Pati, misalnya, rata-rata mencapai 82% dalam empat tahun terakhir. Meski porsinya turun menjadi 76% pada 2025, TKD masih menjadi sumber utama pendapatan Pati dengan nilai Rp2,2 triliun. 

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 12 Tahun 2024, yang memuat APBD Pati 2025, Pemkab Pati sebetulnya membidik defisit 0%. 

Mereka menargetkan pendapatan daerah sebesar Rp2,87 triliun dengan alokasi belanja Rp2,94 triliun. Selisih Rp70 miliar kemudian akan ditutup dengan penerimaan pembiayaan. Anggaran yang terakhir ini berasal dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya; pencairan dana cadangan; hasil penjualan kekayaan daerah; hingga penerimaan pinjaman.

Perda itu disahkan pada 30 Desember 2024 dan ditandatangani oleh Penjabat Bupati Pati saat itu, Sujarwanto Dwiatmoko. Belakangan, pada awal Februari 2025, pemerintah pusat menerbitkan KMK 29/2025 demi efisiensi anggaran APBN.

Anggaran TKD Pati pun terpangkas Rp59,2 miliar. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Pati, Sukardi. Transfer Pati yang dibabat mencakup dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) fisik untuk infrastruktur dan pertanian.

Nah, pada 18 Mei 2025, Bupati Sudewo menggelar rapat penyesuaian tarif PBB-P2 menjadi 250%. Menurutnya, penyesuaian ini untuk memenuhi kebutuhan anggaran yang kurang, yaitu infrastruktur dan pertanian-perikanan Pati. “Para camat dan kepala desa sepakat melaksanakan ini,” katanya. 

Menurut laporan keuangan Pati, realisasi penerimaan PBB-P2 pada 2023 dan 2024 masing-masing sebesar Rp29,7 miliar dan Rp28,5 miliar. Jika Sudewo menaikkan PBB-P2 menjadi 250%, ia hendak membidik realisasi penerimaan pajak jenis ini menjadi Rp100 miliar. Artinya, ada peningkatan sekitar Rp70 miliar. Ini kurang-lebih setara dengan defisit APBD Pati setelah jatah TKD-nya disunat. 

Kemandirian Fiskal yang Rendah

Data Badan Pusat Statistik sepanjang 2021-2023 menunjukkan, rata-rata 81% porsi APBD kabupaten/kota bersumber dari transfer pusat. Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkontribusi 16,6%, dan sisanya 2,1% berasal dari sumber pendapatan lain-lain.

Seiring kebijakan efisiensi anggaran, pemerintah daerah pun didorong merancang strategi agar kegiatannya tak kurang dana. Inilah yang kemudian mendorong Sudewo dan kepala daerah lain melakukan langkah instan, yakni menaikkan PBB-P2, yang justru memantik murka warganya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai keterbatasan fiskal pemerintah daerah merupakan kondisi yang lazim ditemui di berbagai wilayah. “Hanya sebagian kecil daerah yang punya kapasitas fiskal cukup sehat,” ujar Faisal.

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65 Tahun 2024 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, tercatat 210 dari 508 kabupaten/kota masuk kategori kemandirian fiskal rendah hingga sangat rendah. Menurut para ekonom, situasi ini seharusnya mendorong pemerintah daerah untuk lebih inovatif dalam menggali sumber pendapatan. 

Namun, jika melihat linimasanya, pemangkasan yang dilakukan pemerintah pusat terbilang mendadak, apalagi dilakukan setelah perda APBD di banyak daerah disahkan pada akhir tahun

Alokasi TKD pun mengalami tren menurun setelah sempat mencapai puncaknya Rp881,4 triliun pada 2023. Dalam RAPBN 2026, alokasinya hanya Rp649,9 triliun, turun lebih dari Rp200 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Alokasi ini bahkan lebih kecil ketimbang alokasi satu dekade lalu. 

Editor: Muhammad Almer Sidqi


Buka di Aplikasi Katadata untuk pengalaman terbaik!

icon newspaper

Tanpa Iklan

Baca berita lebih nyaman

icon trending

Pilih Topik

Sesuai minat Anda

icon ai

Fitur AI

Lebih mudah berbagi artikel

icon star

Baca Nanti

Bagi Anda yang sibuk