Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16-17 September. Ini merupakan penurunan suku bunga yang kelima kali sepanjang 2025.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, langkah ini seiring mengarahkan kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (pro-growth). Menurutnya, pertumbuhan ekonomi domestik masih di bawah kapasitas nasional hingga perlu didorong.
“Oleh karena itu, dari sisi Bank Indonesia, melalui sinergitas, semua kebijakan kami all-out (habis-habisan) untuk pro-growth dengan tetap menjaga stabilitas,” katanya dalam konferensi pers setelah RDG pada Rabu, 17 September.
Penurunan tersebut membuat selisih dengan suku bunga Federal Reserve (The Fed) memendek. Apalagi bank sentral Amerika Serikat (AS) itu, kemudian memutuskan menurunkan suku bunga sebesar 25 bps ke level 4%-4,5% pada 18 September.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Jahen Fachrul Rezki mengatakan, menipisnya jarak antara suku bunga BI dan The Fed berpotensi menyebabkan dana asing keluar (capital outflow). Kondisi ini dikhawatirkan bakal menekan nilai rupiah.
Menurut Jahen, kebijakan pro-growth keluar dari mandat utama BI yang seharusnya fokus pada stabilisasi harga. “Tentunya akan ada biaya, khususnya dari kekhawatiran independensi BI tergerus dan sulit untuk memahami target inflasi yang ditetapkan ke depannya,” katanya kepada Katadata.co.id, Kamis, 18 September 2025.
Dia mengatakan, kondisi ini akan berpengaruh terhadap sentimen pasar dalam jangka panjang. Respons negatif pasar dapat meningkatkan biaya bunga obligasi pemerintah. Dampaknya akan mempersulit pembiayaan anggaran di masa depan.
Pergeseran kebijakan bank sentral yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan menyebabkan BI tak lagi independen. Kekhawatiran ini muncul sejak awal tahun. Pada April 2025, BI mengumumkan pelonggaran giro wajib minimum (GWM) perbankan untuk mendorong program 3 juta rumah yang dicanangkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
BI juga berbagi beban bunga (burden sharing) dengan pemerintah lewat pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. Kebijakan ini juga dilakukan untuk mendorong program pemerintah seperti 3 juta rumah dan Koperasi Desa Merah Putih.
Kebijakan burden sharing memang bukan hal baru. Saat Covid-19, berbagi beban BI dan pemerintah dilakukan untuk membiayai kebutuhan yang melonjak akibat krisis. Jahen dari LPEM UI mengatakan, persoalannya kondisi saat ini berbeda, karena belum ada krisis yang dapat menjadi justifikasi kembali melakukan burden sharing.
Independensi yang Terkikis
Davide Romelli, profesor ekonomi di Trinity College Dublin, menyusun indeks yang mengukur independensi bank sentral di 155 negara. Dia juga mengumpulkan data historis yang menunjukkan perubahan independensi setiap bank sentral tersebut pada periode 1923 - 2023.
Independensi yang dimaksud, artinya kemampuan bank sentral untuk fokus dalam kebijakan moneter. Indeks ini disusun berdasarkan beberapa indikator, yaitu:
- Bagaimana dewan gubernur bank sentral dipilih
- Kewenangan kebijakan moneter dan resolusi konflik
- Tujuan bank sentral dalam undang-undang
- Pembatasan pembiayaan pada pemerintah
- Independensi finansial
- Pelaporan keuangan dan keterbukaan informasi
Angka indeks berkisar dari 0 hingga 1, dengan 0 berarti tidak independen dan 1 berarti independen. Pada 2023, indeks independensi Bank Indonesia memiliki skor 0,76 dan berada di posisi ke-63 di antara 155 negara.
Secara historis, indeks independensi Bank Indonesia pernah naik drastis dari 0,37 menjadi 0,81 pada 1999. Ini seiring dengan terbitnya Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU ini, tujuan utama BI ditetapkan untuk mencapai dan menjaga kestabilan rupiah.
Nilai indeks sempat meningkat lagi dari 0,81 menjadi 0,84 pada 2013. Ini setelah pemisahan pengaturan dan pengawasan sektor perbankan dari tugas BI menjadi tugas Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Penurunan dari 0,84 menjadi 0,76 terjadi setelah terbitnya UU nomor 4 tahun 2023 tentang pengembangan dan sektor keuangan (PPSK). UU ini memperluas tujuan utama BI yang kini, “turut memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.”
Tidak hanya soal perubahan regulasi dan sistem. Mengutip riset Bank for International Settlements (BIS), bank sentral yang menjadi pembeli utama obligasi pemerintah dapat menciptakan persepsi bahwa independensi dan kredibilitas bank sentral terkikis.
Hal ini sudah terjadi di Indonesia. Data Kementerian Keuangan menunjukkan nilai kepemilikan surat berharga negara (SBN) yang dimiliki BI terus naik sejak 2020. Nilai SBN milik BI naik dari Rp454,4 triliun pada 2020 menjadi Rp1.592,5 triliun pada Juni 2025.
Porsi kepemilikan BI dalam SBN pun meningkat. Awalnya kepemilikan sebesar 11,7% dari total SBN pada 2020. Angka ini naik menjadi 25,2% pada Juni 2025. Ini membuat BI telah menjadi pemegang mayoritas SBN.
Melonjaknya kepemilikan SBN BI terutama karena burden sharing yang harus dilakukan selama pandemi Covid-19 pada 2020-2022. Lepas dari Covid-19, kepemilikan BI di SBN terus meningkat pada 2023-2024. Kali ini, merupakan upaya BI menjaga nilai rupiah saat konflik geopolitik pecah di beberapa wilayah dunia.
Terlepas dari itu, riset BIS menyebut kepemilikan bank sentral yang dominan di SBN dapat membatasi kebijakan moneter. Baik karena kerentanan ekonomi yang ditimbulkan maupun tekanan ekonomi politik yang lebih kuat.
Krisis 1998 sebagai Pengingat
Pengalaman Indonesia ketika terjadinya krisis moneter 1998 dapat menjadi pegangan untuk menjaga independensi BI. Kepemimpinan BI yang saat itu sepenuhnya berada di bawah Presiden Soeharto menjadi alasan di balik jatuhnya nilai rupiah.
Penelitian profesor politik Monash University, Andrew MacIntyre (2001) mencatat dominasi pemerintahan Orde Baru dalam kebijakan moneter menimbulkan ketidakjelasan. Saat itu, pemerintahan Orde Baru dapat menentukan suku bunga serta mengelola bank.
Ketidakjelasan kebijakan serta lemahnya tata kelola membuat pasar menilai BI tidak mampu menjaga stabilitas. Kondisi ini lalu memperdalam krisis kepercayaan dan mempercepat kejatuhan rupiah.
Penelitian Bank Dunia (2025) yang menggunakan dataset Romelli menemukan lebih ketatnya penyaluran pembiayaan dari bank sentral di negara berkembang memiliki manfaat jangka panjang. Manfaat utama adalah suku bunga utang pemerintah yang lebih rendah, memberikan pemerintah ruang fiskal lebih luas untuk berutang.
Krisis ekonomi yang diakibatkan hilangnya independensi bank sentral juga terlihat di beberapa negara dalam satu dekade terakhir. Turki, misalnya, masih mengalami krisis ekonomi akibat intervensi politik terhadap bank sentral sejak 2018. Saat itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memaksa penurunan suku bunga meski inflasi bergejolak.
Hasilnya, mata uang Turki lira jatuh drastis dari 4,5 per dolar AS pada pertengahan 2018 menjadi lebih dari 35 per dolar AS pada 2025. Inflasi sempat mencapai puncaknya di atas 85% pada Oktober 2022, membuatnya menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Tingkat inflasi di Argentina lebih tinggi lagi. Pada April 2024, tingkat inflasi pemenang Piala Dunia 2022 ini mencapai 292,2%. Penyebabnya adalah cadangan devisa bank sentral Argentina yang terus dipakai untuk menambal defisit anggaran sejak 2012.
Ini membuat ekonomi Argentina sangat bergantung dari cetak uang bank sentral yang terus menggerus nilai peso. Terus meningkatnya uang beredar juga terus memperburuk inflasi. Sementara, upaya stabilisasi harga sering gagal karena tekanan politik.
Kedua contoh tersebut memang kasus ekstrem. Namun, ini perlu menjadi pengingat agar BI dapat tetap menjaga independensinya. Mengutip Bank Dunia, “kredibilitas bank sentral dapat terkikis lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikannya.”
Editor: Aria W. Yudhistira
