Indonesia pernah dikenal sebagai negara agraris. Bukan karena Koes Plus bilang “tanah kita tanah surga“, melainkan banyak penduduk di negeri ini yang bermata pencarian sebagai petani.
Namun negeri ini berpotensi kehilangan profesi petani. Musababnya pekerja di sektor pertanian yang terus berkurang dari masa ke masa. Seperti yang ditunjukkan data Bank Dunia, bahwa proporsi penduduk yang bekerja sebagai petani menyusut tinggal 28,5% pada 2019.
Padahal tiga dekade sebelumnya jumlahnya mencapai 55,5% dari total angkatan kerja. Sementara di sektor lain, justru meningkat. Seperti industri yang naik dari 15,2% pada 1991 menjadi 22,36% pada 2019. Kenaikan lebih pesat terjadi pada sektor jasa dari 29,3% menjadi 49,1%.
Tak heran jika Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, 42 tahun mendatang Indonesia tak lagi mempunyai petani bila tren tersebut terus berlanjut.
"Mungkin pada 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal," ujar Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia dalam webinar “Sistem Pangan dan Perencanaan Kota” pada Selasa, 23 Maret 2021.
Data Bank Dunia tersebut sejalan dengan hasil Sensus Pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah rumah tangga yang melakukan usaha pertanian cenderung fluktuatif. Pada 2003 tercatat ada 31,2 juta rumah tangga, lalu turun menjadi 26,1 juta pada 2013.
Pada 2018 memang ada peningkatan jumlah rumah tangga petani sebesar 6,1% menjadi 27,7 juta dibandingkan pada 2013. Namun dilihat dari proporsi umur makin sedikit kelompok usia muda yang menjadi petani. Rumah tangga pertanian, oleh BPS didefinisikan sebagai rumah tangga yang sekurangnya ada satu orang anggota melakukan kegiatan produksi pertanian.
Kenaikan jumlah rumah tangga pertanian pada 2018, hanya terjadi pada petani berusia di atas 45 tahun. Bahkan kenaikan tertinggi terjadi pada kelompok usia di atas 65 tahun sebesar 24% menjadi 4,1 juta rumah tangga. Begitu juga dengan kelompok usia 55-64 tahun yang meningkat 20% menjadi 6,3 juta rumah tangga.
Sementara kelompok usia 45-54 tahun hanya naik 7%. Namun kelompok usia produktif di bawah 45 tahun justru mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan petani sebagai profesi orang tua bukan kalangan muda. Tak hanya dalam skala rumah tangga, secara individual petani usia muda pun cenderung berkurang, seperti yang ditunjukkan dalam grafik di bawah ini.
Rendahnya minat anak muda menjadi petani disebabkan pendapatan yang rendah. Berdasarkan data BPS per Agustus 2020, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya sebesar Rp 1,92 juta per bulannya, terendah dari 17 sektor yang ada.
Pendapatan yang rendah bisa menjadi salah satu pendorong terjadinya pergeseran pekerjaan penduduk, sebagaimana yang ditunjukkan data Bank Dunia di awal tulisan ini. Rata-rata upah pekerja tertinggi berasal dari sektor pertambangan dan penggalian, yakni sebesar Rp 4,48 juta per bulan.
Khusus petani padi, pendapatan per hektare sawah setiap musim tanam hanya Rp 4,95 juta. Nominal tersebut didapatkan dari perhitungan nilai produksi dikurangi ongkos produksi. Berdasarkan “Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017”, nilai produksi budidaya padi sebesar Rp 18.5 juta per hektare per musim. Sedangkan, ongkos produksinya mencapai Rp 13,6 juta.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, jika dalam setahun ada tiga kali musim panen, maka pendapatan yang diterima petani padi setiap satu hektare sawah per bulannya hanya sekitar Rp 1,25 juta. Namun pendapatan riil mereka hanya berkisar Rp 800 ribu per bulan.
“Karena rata-rata petani padi di Indonesia hanya menguasai lahan seluas 0,66 hektare,” kata Hendra dalam konferensi virtual pada Rabu, 24 Maret 2021.
Di samping soal pendapatan, berkurangnya jumlah petani juga diperparah oleh makin susutnya lahan pertanian. Lahan baku sawah, misalnya, tercatat mencapai 8,1 juta hektare pada 2009. Sepuluh tahun berikutnya, luas lahan baku sawah berkurang hingga 604,3 ribu hektare menjadi 7,46 juta hektare.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, banyak lahan pertanian yang beralih menjadi industri dan jalan. Pada 2019, dia mengatakan peralihan lahan pertanian tersebut mencapai 150 ribu hektare. Jumlah itu meningkat dari alih fungsi lahan pada medio 1990 yang hanya sebesar 30 ribu hektare.
“Memang ada kenyataan alih fungsi lahan pertanian yang masih terus berlangsung saat ini, bahkan cenderung meningkat,” kata Syahrul dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Senin, 29 Maret 2021.
Pemerintah memang telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah untuk memperketat alih fungsi lahan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pun telah mengeluarkan Keputusan Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019.
Keduanya merupakan upaya mengendalikan alih fungsi lahan secara ketat. Namun, Dwi Andreas, guru besar Ilmu Pertanian IPB, menilai pelaksanaan aturan tersebut masih minim. Alhasil, alih fungsi lahan pertanian masih saja terjadi setiap tahunnya.
“Seharusnya kan tujuannya bisa meningkatkan luas lahan yang digarap, bukan semakin lama menyempit,” kata Andreas ketika dihubungi Katadata.co.id pada Senin, 29 Maret 2021.
Selain masalah lahan, Andreas meminta pemerintah meningkatkan pendapatan petani. Caranya dengan memberikan perlindungan harga di tingkat usaha tani. Menurutnya, pemerintah masih belum memberikan perlindungan harga yang layak kepada petani. Pasalnya, harga pokok penjualan (HPP) gabah yang ditetapkan pemerintah masih berada di bawah biaya produksi.
Merujuk Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020, HPP GKP sebesar Rp 4.200 per kilogram (kg). Sementara berdasarkan kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) pada 2019, biaya produksi gabah di dalam negeri mencapai Rp 4.523 per kg.
“India itu menetapkan harga di tingkat usaha tani sebesar 150% dari biaya produksi. Indonesia menetapkan itu masih lebih rendah dari biaya produksi,” kata Andreas.
Editor: Aria W. Yudhistira